Thursday, June 28, 2012

Pengetahuan Perawat Tentang Kegawatan Nafas dan Tindakan Resusitasi Pada Neonatus Yang Mengalami Kegawatan Pernafasan di Ruang NICU, Ruang Perinatologi dan Ruang Anak RSUD Gunung Jati Cirebon.


Kebijakan pemerintah dalam pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 menempatkan kesehatan ibu dan anak sebagai prioritas penting karena anak adalah harapan bangsa di masa yang akan datang. Kemajuan bangsa di masa mendatang akan sangat tergantung dari kondisi kesehatan anak saat ini.
            Dalam rencana pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 terdapat beberapa program unggulan yang berhubungan dengan kesehatan anak yaitu program perbaikan gizi, penanggulangan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, peningkatan kesehatan keluarga, kesehatan reproduksi dan keluarga berencana, kesehatan lingkungan pemukiman, air dan udara sehat dan pencegahan kecelakaan. Program-program tersebut dilakukan melalui upaya kesehatan seperti pemeriksaan ibu hamil, imunisasi, pertolongan persalinan, penanggulangan penyakit-penyakit penyebab kematian, deteksi dini dan stimulasi tumbuh kembang anak serta upaya kesehatan sekolah.
1
 
            Beberapa indikator terkait dengan kesejahteraan anak menjadi indikator penting dalam menentukan derajat kesehatan masyarakat secara keseluruhan terutama dalam menilai keberhasilan pelayanan kesehatan dan pembangunan di bidang kesehatan. Indikator tersebut adalah angka kematian bayi (AKB) dan angka kematian balita (AKABA).
 Angka kematian bayi (AKB) atau Infant Mortality Rate (IMR) adalah jumlah kematian   bayi di bawah usia 1 tahun per 1000 kelahiran hidup. Angka ini merupakan indikator yang sensistif terhadap ketersediaan, pemanfaatan dan kualitas pelayanan kesehatan terutama pelayanan perinatal. AKB juga berhubungan dengan pendapatan  keluarga, jumlah anggota keluarga, pendidikan ibu dan keadaan gizi keluarga. 
            Angka kematian bayi (AKB) pada tahun 2000 berdasarkan hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) adalah 44 per 1000 kelahiran hidup. Sementara estimasi SUSENAS, angka kematian bayi pada tahun 2001 adalah 50 per 1000 kelahiran hidup.  Kematian bayi tersebut disebabkan oleh penyakit-penyakit seperti yang tercantum pada tabel di bawah ini :

Tabel 1.1
Proporsi Penyakit Penyebab Kematian Bayi di Indonesia Tahun 2001

No.
Jenis Penyakit
%
1.
Gangguan Perinatal
34,7 %
2.
Sistem Pernafasan
24,6 %
3.
Diare
9,4 %
4.
Sistem Pencernaan
4,3 %
5.
Gejala Tidak Jelas
4,1 %
6.
Tetanus
3,4 %
7.
Syaraf
3,2 %

Sumber : SURKESNAS 2001


            Indikator selanjutnya adalah angka kematian balita (AKABA). Angka kematian balita adalah jumlah anak yang meninggal  sebelum mencapai usia 5 tahun per 1000 kelahiran hidup. Angka kematian balita ini menggambarkan keadaan lingkungan yang berpengaruh terhadap kesehatan balita seperti gizi, sanitasi, penyakit menular dan kecelakaan.
            Angka kematian balita pada tahun 2001 menurut SUSENAS adalah 64 per 1000 kelahiran hidup.  Penyebab kematian balita menurut SUSENAS 2001 dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 1.2
Pola Penyakit Penyebab Kematian Balita di Indonesia Tahun 2001

No.
Jenis Penyakit

%


1.

Sistem Pernafasan

22,8 %
2.
Diare
13,2 %
3.
Syaraf
11,8 %
4.
Tifus
11,1 %
5.
Sistem Pencernaan
5,9 %
6.
Infeksi Lain
5,1 %

Sumber : SURKESNAS 2001


            Berdasarkan data di atas maka penyebab terbanyak kematian bayi dan balita adalah gangguan perinatal dan penyakit-penyakit sistem pernafasan. Menurut Yunanto, dkk (2003) upaya menurunkan angka kematian bayi dilakukan dengan mempercepat usaha rujukan agar bayi resiko tinggi dapat segera mendapat pertolongan. Bayi-bayi yang termasuk ke dalam kelompok resiko tinggi adalah bayi berat lahir rendah (BBLR), asfiksia pada bayi baru lahir, kejang, sesak nafas, perut kembung, kuning pada bayi dan perdarahan pada bayi.
Rujukan pelayanan kesehatan ini terutama ditujukan kepada bayi baru lahir beresiko tinggi yang mengalami kegawatan perinatal atau perinatal distress. Kegawatan perinatal disebabkan oleh berbagai gangguan yang berpotensi meningkatkan kematian atau kesakitan pada neonatus. Akibat gangguan tersebut bayi akan sakit sehingga pertumbuhannya terhambat atau kemampuan adaptasinya terganggu atau bahkan menimbulkan kematian.
Kegawatan perinatal ini bisa terjadi pada bayi aterm maupun preterm, bayi dengan berat lahir cukup maupun dengan berat lahir rendah (BBLR). Bayi dengan BBLR yang pretrem berpotensi mengalami kegawatan lebih besar. Berbagai jenis kegawatan yang sering dijumpai di lapangan dan mempunyai angka morbiditas dan mortalitas cukup tinggi serta penanganan segera yaitu trauma kelahiran, asfiksia neonatorum, sindroma gawat nafas neonatus, hiperbilirubinemia, infeksi, kejang dan renjatan atau syok (Yunanto, dkk, 2003).
Kegawatan pernafasan juga dapat terjadi pada bayi dengan penyakit pernafasan dapat menimbulkan dampak yang cukup berat bagi berupa terjadinya henti nafas atau bahkan kematian. Akibat dari gangguan pada sistem pernafasan adalah terjadinya kekurangan oksigen (hipoksia) pada tubuh.
bayi akan beradapatasi terhadap kekurangan oksigen dengan mengaktifkan metabolisme anaerob. Apabila  keadaan hipoksia semakin berat dan lama, metabolisme anaerob akan menghasilkan asam laktat. Dengan memburuknya keadaan asidosis dan penurunan aliran darah ke otak maka akan terjadi kerusakan otak dan organ lain (Yu dan Monintja, 1997).  Selanjutnya dapat terjadi depresi pernafasan yang dimanifestasikan dengan apneu yang memanjang bahkan dapat menyebabkan kematian.
Depresi nafas yang dimanifestasikan dengan apneu yang memanjang hanya dapat diatasi dengan pemberian oksigen dengan tekanan positif, massase jantung eksternal dan koreksi keadaan asidosis. Hanya setelah oksigenasi dan perfusi jaringan diperbaiki maka aktivitas respirasi dimulai (Yu dan Monintja, 1997).
Pendapat tersebut menekankan pentingnya tindakan resusitasi dengan segera. Makin lambat dimulainya tindakan resusitasi yang efektif maka akan makin lambat pula timbulnya usaha nafas dan makin tinggi pula resiko kematian dan kecacatan. Hal ini diperkuat dengan pendapat Nelson (1999) yang menyatakan bahwa peluang keberhasilan tata laksana penderita dengan henti nafas menitikberatkan pada pentingnya kemampuan tata laksana karena peningkatan hasil akhir pasca henti pernafasan dihubungkan dengan kecepatan dilakukannya resusitasi jantung paru.
            Resusitasi merupakan sebuah upaya  menyediakan oksigen ke otak, jantung dan organ-organ vital lainnya melalui sebuah tindakan yang meliputi pemijatan jantung dan menjamin ventilasi yang adekwat (Rilantono, 1999). Tindakan ini merupakan tindakan kritis yang dilakukan pada saat terjadi  kegawatdaruratan terutama pada sistem pernafasan dan sistem kardiovaskuler.  kegawatdaruratan pada kedua sistem tubuh ini dapat menimbulkan kematian dalam waktu yang singkat (sekitar 4 – 6 menit).
Tindakan resusitasi merupakan tindakan yang harus dilakukan dengan segera sebagai upaya untuk menyelamatkan hidup (Hudak dan Gallo, 1997).  Resusitasi pada anak yang mengalami gawat nafas merupakan tindakan  kritis yang harus dilakukan oleh perawat yang kompeten. Perawat harus dapat membuat keputusan yang tepat pada saat kritis. Kemampuan ini memerlukan penguasaan pengetahuan dan keterampilan keperawatan yang unik pada situasi kritis dan mampu menerapkannya untuk memenuhi kebutuhan pasien kritis (Hudak dan Gallo, 1997).
            Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Apabila perilaku didasari pengetahuan dan kesadaran, maka perilaku bersifat langgeng (Notoatmodjo, 2003). Perilaku manusia sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang luas. Terbentuknya suatu perilaku baru terutama pada orang dewasa dimulai dari domain kognitif, dalam arti subjek terlebih dahulu mengetahui terhadap stimulus yang berupa materi atau obyek luarnya sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada subyek tersebut.
            Pengetahuan perawat tentang resusitasi merupakan modal yang sangat penting untuk pelaksanaan tindakan resusitasi pada situasi kritis. Pengetahuan ini menentukan keberhasilan tindakan resusitasi. Pengetahuan tentang resusitasi  didapat melalui pendidikan, pelatihan atau pengalaman selama bekerja.
            Pengetahuan tentang kegawatan nafas dan tindakan resusitasi di Ruang NICU, Ruang Perinatologi  dan Ruang Anak RSUD Gunung Jati Cirebon harus dikuasai dengan baik oleh perawat karena RSUD Gunung Jati Cirebon adalah rumah sakit pendidikan tipe B yang menerima rujukan dari Wilayah III Cirebon yang meliputi Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan.

 

Tabel 1.3

 

Data Pasien Rawat Inap Ruang NICU

Bulan Desember 2004 – Februari 2005



No.
Bulan

Jenis Penyakit

Kasus

Kematian

%

∑ total

%

1.

Desember
2004

Prematur RDS
Asfiksia Neonatorum
Ikterik Neonatorum
Hirschprung

6
7
4
1

33.3
38.9
22.2
5.6


8



44.4



Jumlah

18
100
8
44.4

2.

Januari
2005

Prematur RDS
Asfiksia Neonatorum
Icterik Neonatorum
Hirschprung

8
15
2
2

29.6
55.6
7.4
7.4


13


48.1



Jumlah

27
100
13
48.1

3.

Februari
2005

Prematur RDS
Asfiksia Neonatorum
Omphalokel
Kelainan Jantung Kongenital
Palatoskizis

10
8
1
1

1

47.6
38.1
4.8
4.8

4.8



4



19




Jumlah

21
100
4
19

Sumber : Sub Bagian Rekam Medik RSUD Gunung Jati Cirebon

Sebagai rumah sakit rujukan, RSUD Gunung Jati Cirebon menerima rujukan pelayanan kesehatan dari beberapa rumah sakit di Wilayah III Cirebon, termasuk masalah-masalah kegawatan pada neonatus, bayi dan anak yang memerlukan perawatan lebih lanjut dan seringkali pasien-pasien yang dirujuk adalah pasien-pasien dalam keadaan kritis dengan prognosa yang buruk.
            Data pasien rawat inap di Ruang NICU  (tabel 1.3) menunjukkan jumlah pasien dan jenis-jenis penyakit serta kematian neonatus yang terjadi selama Bulan Desember 2004 sampai dengan bulan Februari 2005. Data tersebut menggambarkan prosentase kasus kegawatan pernafasan yaitu RDS dan asfiksia neonatorum sebesar 72,2 % pada bulan Desember 2004, pada bulan Januari 2005 sebesar 81,5 % dan 85,7 % pada bulan Februari 2005.
 Begitu pula data pasien rawat inap Ruang Perinatologi (tabel 1.4)  menggambarkan bahwa sebagian besar neonatus yang dirawat berpotensi mengalami kegawatan pernafasan. Sementara neonatus yang dirawat di ruang anak sebagian besar juga mengalami gangguan pernafasan dan yang paling sering adalah  bronkhopeumoni (BP) dan Ruang Anak juga merupakan ruang perawatan untuk neonatus dengan kegawatan pernafasan apabila Ruang NICU penuh.
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar neonatus yang dirawat terutama di Ruang NICU dan Ruang Perinatologi adalah penderita gangguan pernafasan yang berpotensi mengalami kegawatan pernafasan sehingga perawat harus selalu siap melaksanakan tindakan resusitasi terutama pada saat pasien jatuh ke dalam kondisi kritis untuk mencegah kecacatan atau bahkan kematian.

Tabel 1.4

Data Pasien Rawat Inap Ruang Perinatologi

Bulan Desember 2004 – Februari 2005


No.
Bulan

Jenis Penyakit

Kasus

Kematian

%

∑ total

%

1.

Desember
2004

Normal
Asfiksia Ringan
Asfiksia Sedang
Asfiksia Berat
BBLR

23
62
24
29
29

13,8
37,2
14,4
17,4
17,4



3



1,8

Jumlah

167
100
3
1,8

2.

Januari
2005

Normal
Asfiksia Ringan
Asfiksia Sedang
Asfiksia Berat
BBLR

23
39
21
33
31

15,6
26,5
14,3
22,4
21,2



4



2,7

Jumlah

147
100
4
2,7

3.

Februari
2005

Normal
Asfiksia Ringan
Asfiksia Sedang
Asfiksia Berat
BBLR

23
37
20
18
17

20,0
32,2
17,4
15,6
14,8



1



0,9

Jumlah

115
100
1
0,9

Sumber : Sub Bagian Rekam Medik RSUD Gunung Jati Cirebon

Tindakan resusitasi di Ruang NICU, Ruang Perinatologi dan Ruang Anak hampir selalu dilakukan oleh perawat karena terbatasnya tenaga dokter terutama pada saat-saat tertentu seperti pada saat  sore atau malam.  Kewenangan perawat ini telah diatur dalam kebijakan rumah sakit mengenai standar prosedur serta operasional dalam penanganan pasien neonatus, bayi dan anak yang mengalami kondisi kritis. Oleh karena itu perawat harus menguasai pengetahuan dan keterampilan resusitasi dengan baik agar dapat melakukan tindakan resusitasi secara efektif untuk mencegah kecacatan atau kematian.
Data tenaga keperawatan di Ruang NICU, Ruang Perinatologi dan Ruang Anak menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan perawat sebagian besar DIII yaitu sebanyak 28 orang, SPK sebanyak 8 orang dan bidan sebanyak 1 orang. Perawat yang telah mengikuti pelatihan resusitasi  adalah 5 orang dari 37 perawat dari tiga ruangan tersebut. Perawat yang belum mengikuti pelatihan mendapatkan pengetahuan dan keterampilan melakukan resusitasi dari contoh yang diberikan oleh kepala ruangan atau perawat yang telah mengikuti pelatihan.

Tabel 1.5
Latar Belakang Pendidikan Perawat Pelaksana
Di Ruang NICU, Ruang Perinatologi dan Ruang Anak

RSUD Gunung Jati Cirebon Tahun 2005


No.
Ruang
Pendidikan
Jumlah
Bidan
SPK
D3
S1

1.

NICU

-

3

9

-

12

2.

Perinatologi

1

3

7

-

11

3.

Anak

-

2

11

-

13



Jumlah

1

8

27

-

36
           
Sumber : Sub Bagian Kepegawaian RSUD Gunung Jati Cirebon
            Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai 

No comments:

Post a Comment