Kebijakan pemerintah dalam pembangunan
kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 menempatkan kesehatan ibu dan anak
sebagai prioritas penting karena anak adalah harapan bangsa di masa yang akan
datang. Kemajuan bangsa di masa mendatang akan sangat tergantung dari kondisi
kesehatan anak saat ini.
Dalam
rencana pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 terdapat beberapa
program unggulan yang berhubungan dengan kesehatan anak yaitu program perbaikan
gizi, penanggulangan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, peningkatan
kesehatan keluarga, kesehatan reproduksi dan keluarga berencana, kesehatan
lingkungan pemukiman, air dan udara sehat dan pencegahan kecelakaan.
Program-program tersebut dilakukan melalui upaya kesehatan seperti pemeriksaan
ibu hamil, imunisasi, pertolongan persalinan, penanggulangan penyakit-penyakit
penyebab kematian, deteksi dini dan stimulasi tumbuh kembang anak serta upaya
kesehatan sekolah.
|
Angka kematian bayi (AKB) atau Infant
Mortality Rate (IMR) adalah jumlah kematian bayi di bawah usia 1 tahun per 1000
kelahiran hidup. Angka ini merupakan indikator yang sensistif terhadap
ketersediaan, pemanfaatan dan kualitas pelayanan kesehatan terutama pelayanan
perinatal. AKB juga berhubungan dengan pendapatan keluarga, jumlah anggota keluarga, pendidikan
ibu dan keadaan gizi keluarga.
Angka
kematian bayi (AKB) pada tahun 2000 berdasarkan hasil Survei Penduduk Antar
Sensus (SUPAS) adalah 44 per 1000 kelahiran hidup. Sementara estimasi SUSENAS,
angka kematian bayi pada tahun 2001 adalah 50 per 1000 kelahiran hidup. Kematian bayi tersebut disebabkan oleh
penyakit-penyakit seperti yang tercantum pada tabel di bawah ini :
Tabel 1.1
Proporsi Penyakit Penyebab Kematian Bayi
di Indonesia Tahun 2001
No.
|
Jenis Penyakit
|
%
|
1.
|
Gangguan Perinatal
|
34,7 %
|
2.
|
Sistem Pernafasan
|
24,6 %
|
3.
|
Diare
|
9,4 %
|
4.
|
Sistem Pencernaan
|
4,3 %
|
5.
|
Gejala Tidak Jelas
|
4,1 %
|
6.
|
Tetanus
|
3,4 %
|
7.
|
Syaraf
|
3,2 %
|
Sumber :
SURKESNAS 2001
Indikator selanjutnya adalah angka
kematian balita (AKABA). Angka kematian balita adalah jumlah anak yang
meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun
per 1000 kelahiran hidup. Angka kematian balita ini menggambarkan keadaan lingkungan
yang berpengaruh terhadap kesehatan balita seperti gizi, sanitasi, penyakit
menular dan kecelakaan.
Angka
kematian balita pada tahun 2001 menurut SUSENAS adalah 64 per 1000 kelahiran
hidup. Penyebab kematian balita menurut
SUSENAS 2001 dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 1.2
Pola Penyakit Penyebab Kematian Balita di
Indonesia Tahun 2001
No.
|
Jenis Penyakit
|
%
|
1.
|
Sistem Pernafasan
|
22,8 %
|
2.
|
Diare
|
13,2 %
|
3.
|
Syaraf
|
11,8 %
|
4.
|
Tifus
|
11,1 %
|
5.
|
Sistem Pencernaan
|
5,9 %
|
6.
|
Infeksi Lain
|
5,1 %
|
Sumber :
SURKESNAS 2001
Berdasarkan
data di atas maka penyebab terbanyak kematian bayi dan balita adalah gangguan
perinatal dan penyakit-penyakit sistem pernafasan. Menurut Yunanto, dkk (2003)
upaya menurunkan angka kematian bayi dilakukan dengan mempercepat usaha rujukan
agar bayi resiko tinggi dapat segera mendapat pertolongan. Bayi-bayi yang
termasuk ke dalam kelompok resiko tinggi adalah bayi berat lahir rendah (BBLR),
asfiksia pada bayi baru lahir, kejang, sesak nafas, perut kembung, kuning pada
bayi dan perdarahan pada bayi.
Rujukan
pelayanan kesehatan ini terutama ditujukan kepada bayi baru lahir beresiko
tinggi yang mengalami kegawatan perinatal atau perinatal distress.
Kegawatan perinatal disebabkan oleh berbagai gangguan yang berpotensi
meningkatkan kematian atau kesakitan pada neonatus. Akibat gangguan tersebut
bayi akan sakit sehingga pertumbuhannya terhambat atau kemampuan adaptasinya
terganggu atau bahkan menimbulkan kematian.
Kegawatan
perinatal ini bisa terjadi pada bayi aterm maupun preterm, bayi dengan berat
lahir cukup maupun dengan berat lahir rendah (BBLR). Bayi dengan BBLR yang
pretrem berpotensi mengalami kegawatan lebih besar. Berbagai jenis kegawatan
yang sering dijumpai di lapangan dan mempunyai angka morbiditas dan mortalitas
cukup tinggi serta penanganan segera yaitu trauma kelahiran, asfiksia
neonatorum, sindroma gawat nafas neonatus, hiperbilirubinemia, infeksi, kejang
dan renjatan atau syok (Yunanto, dkk, 2003).
Kegawatan pernafasan juga dapat
terjadi pada bayi dengan penyakit pernafasan dapat menimbulkan dampak yang
cukup berat bagi berupa terjadinya henti nafas atau bahkan kematian. Akibat
dari gangguan pada sistem pernafasan adalah terjadinya kekurangan oksigen
(hipoksia) pada tubuh.
bayi akan beradapatasi terhadap
kekurangan oksigen dengan mengaktifkan metabolisme anaerob. Apabila keadaan hipoksia semakin berat dan lama,
metabolisme anaerob akan menghasilkan asam laktat. Dengan memburuknya keadaan
asidosis dan penurunan aliran darah ke otak maka akan terjadi kerusakan otak
dan organ lain (Yu dan Monintja, 1997).
Selanjutnya dapat terjadi depresi pernafasan yang dimanifestasikan
dengan apneu yang memanjang bahkan dapat menyebabkan kematian.
Depresi nafas yang dimanifestasikan
dengan apneu yang memanjang hanya dapat diatasi dengan pemberian oksigen dengan
tekanan positif, massase jantung eksternal dan koreksi keadaan asidosis. Hanya
setelah oksigenasi dan perfusi jaringan diperbaiki maka aktivitas respirasi
dimulai (Yu dan Monintja, 1997).
Pendapat tersebut menekankan
pentingnya tindakan resusitasi dengan segera. Makin lambat dimulainya tindakan
resusitasi yang efektif maka akan makin lambat pula timbulnya usaha nafas dan
makin tinggi pula resiko kematian dan kecacatan. Hal ini diperkuat dengan
pendapat Nelson (1999) yang menyatakan bahwa peluang keberhasilan tata laksana
penderita dengan henti nafas menitikberatkan pada pentingnya kemampuan tata
laksana karena peningkatan hasil akhir pasca henti pernafasan dihubungkan
dengan kecepatan dilakukannya resusitasi jantung paru.
Resusitasi merupakan sebuah upaya menyediakan oksigen ke otak, jantung dan
organ-organ vital lainnya melalui sebuah tindakan yang meliputi pemijatan
jantung dan menjamin ventilasi yang adekwat (Rilantono, 1999). Tindakan ini
merupakan tindakan kritis yang dilakukan pada saat terjadi kegawatdaruratan terutama pada sistem
pernafasan dan sistem kardiovaskuler.
kegawatdaruratan pada kedua sistem tubuh ini dapat menimbulkan kematian
dalam waktu yang singkat (sekitar 4 – 6 menit).
Tindakan resusitasi merupakan
tindakan yang harus dilakukan dengan segera sebagai upaya untuk menyelamatkan
hidup (Hudak dan Gallo, 1997).
Resusitasi pada anak yang mengalami gawat nafas merupakan tindakan kritis yang harus dilakukan oleh perawat yang
kompeten. Perawat harus dapat membuat keputusan yang tepat pada saat kritis.
Kemampuan ini memerlukan penguasaan pengetahuan dan keterampilan keperawatan
yang unik pada situasi kritis dan mampu menerapkannya untuk memenuhi kebutuhan
pasien kritis (Hudak dan Gallo, 1997).
Pengetahuan
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.
Apabila perilaku didasari pengetahuan dan kesadaran, maka perilaku bersifat
langgeng (Notoatmodjo, 2003). Perilaku manusia sangat kompleks dan mempunyai
ruang lingkup yang luas. Terbentuknya suatu perilaku baru terutama pada orang
dewasa dimulai dari domain kognitif, dalam arti subjek terlebih dahulu
mengetahui terhadap stimulus yang berupa materi atau obyek luarnya sehingga
menimbulkan pengetahuan baru pada subyek tersebut.
Pengetahuan perawat
tentang resusitasi merupakan modal yang sangat penting untuk pelaksanaan
tindakan resusitasi pada situasi kritis. Pengetahuan ini menentukan
keberhasilan tindakan resusitasi. Pengetahuan tentang resusitasi didapat melalui pendidikan, pelatihan atau
pengalaman selama bekerja.
Pengetahuan tentang
kegawatan nafas dan tindakan resusitasi di Ruang NICU, Ruang Perinatologi dan Ruang Anak RSUD Gunung Jati Cirebon harus
dikuasai dengan baik oleh perawat karena RSUD Gunung Jati Cirebon adalah rumah
sakit pendidikan tipe B yang menerima rujukan dari Wilayah III Cirebon yang
meliputi Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan.
Tabel
1.3
Data
Pasien Rawat Inap Ruang NICU
Bulan
Desember 2004 – Februari 2005
No.
|
Bulan
|
Jenis
Penyakit
|
Kasus
|
Kematian
|
||
∑
|
%
|
∑
total
|
%
|
|||
1.
|
Desember
2004
|
Prematur RDS
Asfiksia Neonatorum
Ikterik Neonatorum
Hirschprung
|
6
7
4
1
|
33.3
38.9
22.2
5.6
|
8
|
44.4
|
Jumlah
|
18
|
100
|
8
|
44.4
|
||
2.
|
Januari
2005
|
Prematur RDS
Asfiksia Neonatorum
Icterik Neonatorum
|
8
15
2
2
|
29.6
55.6
7.4
7.4
|
13
|
48.1
|
Jumlah
|
27
|
100
|
13
|
48.1
|
||
3.
|
Februari
2005
|
Prematur RDS
Asfiksia Neonatorum
Omphalokel
Kelainan Jantung Kongenital
Palatoskizis
|
10
8
1
1
1
|
47.6
38.1
4.8
4.8
4.8
|
4
|
19
|
Jumlah
|
21
|
100
|
4
|
19
|
Sumber : Sub Bagian Rekam Medik RSUD Gunung Jati Cirebon
Sebagai rumah sakit rujukan, RSUD Gunung Jati Cirebon
menerima rujukan pelayanan kesehatan dari beberapa rumah sakit di Wilayah III
Cirebon, termasuk masalah-masalah kegawatan pada neonatus, bayi dan anak yang
memerlukan perawatan lebih lanjut dan seringkali pasien-pasien yang dirujuk
adalah pasien-pasien dalam keadaan kritis dengan prognosa yang buruk.
Data pasien rawat
inap di Ruang NICU (tabel 1.3)
menunjukkan jumlah pasien dan jenis-jenis penyakit serta kematian neonatus yang
terjadi selama Bulan Desember 2004 sampai dengan bulan Februari 2005. Data
tersebut menggambarkan prosentase kasus kegawatan pernafasan yaitu RDS
dan asfiksia neonatorum sebesar 72,2 % pada bulan Desember 2004, pada
bulan Januari 2005 sebesar 81,5 % dan 85,7 % pada bulan Februari 2005.
Begitu pula data
pasien rawat inap Ruang Perinatologi (tabel 1.4) menggambarkan bahwa sebagian besar neonatus
yang dirawat berpotensi mengalami kegawatan pernafasan. Sementara neonatus yang
dirawat di ruang anak sebagian besar juga mengalami gangguan pernafasan dan
yang paling sering adalah bronkhopeumoni
(BP) dan Ruang Anak juga merupakan ruang perawatan untuk neonatus dengan
kegawatan pernafasan apabila Ruang NICU penuh.
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar
neonatus yang dirawat terutama di Ruang NICU dan Ruang Perinatologi adalah
penderita gangguan pernafasan yang berpotensi mengalami kegawatan pernafasan
sehingga perawat harus selalu siap melaksanakan tindakan resusitasi terutama pada
saat pasien jatuh ke dalam kondisi kritis untuk mencegah kecacatan atau bahkan
kematian.
Tabel
1.4
Data
Pasien Rawat Inap Ruang Perinatologi
Bulan
Desember 2004 – Februari 2005
No.
|
Bulan
|
Jenis
Penyakit
|
Kasus
|
Kematian
|
||
∑
|
%
|
∑
total
|
%
|
|||
1.
|
Desember
2004
|
Normal
Asfiksia Ringan
Asfiksia Sedang
Asfiksia Berat
BBLR
|
23
62
24
29
29
|
13,8
37,2
14,4
17,4
17,4
|
3
|
1,8
|
Jumlah
|
167
|
100
|
3
|
1,8
|
||
2.
|
Januari
2005
|
Normal
Asfiksia Ringan
Asfiksia Sedang
Asfiksia Berat
|
23
39
21
33
31
|
15,6
26,5
14,3
22,4
21,2
|
4
|
2,7
|
Jumlah
|
147
|
100
|
4
|
2,7
|
||
3.
|
Februari
2005
|
Normal
Asfiksia Ringan
Asfiksia Sedang
Asfiksia Berat
BBLR
|
23
37
20
18
17
|
20,0
32,2
17,4
15,6
14,8
|
1
|
0,9
|
Jumlah
|
115
|
100
|
1
|
0,9
|
Sumber : Sub Bagian Rekam Medik RSUD Gunung Jati Cirebon
Tindakan resusitasi di Ruang NICU, Ruang Perinatologi
dan Ruang Anak hampir selalu dilakukan oleh perawat karena terbatasnya tenaga
dokter terutama pada saat-saat tertentu seperti pada saat sore atau malam. Kewenangan perawat ini telah diatur dalam
kebijakan rumah sakit mengenai standar prosedur serta operasional dalam
penanganan pasien neonatus, bayi dan anak yang mengalami kondisi kritis. Oleh
karena itu perawat harus menguasai pengetahuan dan keterampilan resusitasi
dengan baik agar dapat melakukan tindakan resusitasi secara efektif untuk
mencegah kecacatan atau kematian.
Data tenaga keperawatan di Ruang NICU, Ruang
Perinatologi dan Ruang Anak menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan perawat
sebagian besar DIII yaitu sebanyak 28 orang, SPK sebanyak 8 orang dan bidan
sebanyak 1 orang. Perawat yang telah mengikuti pelatihan resusitasi adalah 5 orang dari 37 perawat dari tiga
ruangan tersebut. Perawat yang belum mengikuti pelatihan mendapatkan
pengetahuan dan keterampilan melakukan resusitasi dari contoh yang diberikan
oleh kepala ruangan atau perawat yang telah mengikuti pelatihan.
Tabel
1.5
Latar
Belakang Pendidikan Perawat Pelaksana
Di
Ruang NICU, Ruang Perinatologi dan Ruang Anak
RSUD
Gunung Jati Cirebon Tahun 2005
No.
|
Ruang
|
Pendidikan
|
Jumlah
|
|||
Bidan
|
SPK
|
D3
|
S1
|
|||
1.
|
|
-
|
3
|
9
|
-
|
12
|
2.
|
|
1
|
3
|
7
|
-
|
11
|
3.
|
|
-
|
2
|
11
|
-
|
13
|
|
Jumlah
|
1
|
8
|
27
|
-
|
36
|
Sumber
: Sub Bagian Kepegawaian RSUD Gunung Jati Cirebon
Berdasarkan
uraian di atas, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai
No comments:
Post a Comment