Peran pemerintah sangat besar dan mencangkup
seluruh dimensi kehidupan masyarakat. Meskipun pemerintah memiliki berbagai
sumber daya untuk menunaikan kewajibannya, tetap saja tuntutan masyarakat
selalu lebih tinggi tuntutannya dibanding dengan kemampuan pemerintah untuk
memenuhinya.
Adanya kesenjangan antara tuntutan dengan
kemampuan pemerintah inilah yang pada gilirannya menyebabkan munculnya berbagai
gagasan untuk memberi energi baru kepada pemerintah. Barzelay (1992), misalnya
memandang bahwa ditengah-tengah fenomena perubahan dunia, birokrasi membutuhkan
inovasi baru yang bersifat strategis. Demikian pula
Osborne (1996) mengemukakan lima strategis sebagai instrumen implementasi lebih
lanjut dari prinsip Reinventing Government yang diajukan Osborne dan Gaebler,
yaitu (1) creating clarity of purpose, (2) creating consequences form
performance, (3) putting the custumer in the driver’s seat, (4) shifting
control away from the top and the center, (5) creating entrepreneural culture.
Pada intinya pandangan baru yang berkembang tentang peran pemerintah
adalah bahwa pemerintah harus mampu menciptakan nilai-nilai baru (value
creating) dalam rangka meningkat pelayanan kepada masyarakat.
Istilah governance secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu
kegiatan pengarahan, pembinaan atau dalam bahasa inggrisnya adalah Guiding. Gevernance adalah suatu proses dimana
suatu sistem sosial ekonomi atau sistem organisasi yang kompleks lainnya
dikendalikan. Pinto dalam (Karhi: 1997) mendefinisikan Governance sebagai ’’
praktek penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam
pengelolaan urusan pemerintahan secara umum, dan pembangunan ekonomi pada
khususnya’’. Pengertian governance dalam hal ini adalah proses pengaturan,
pembinaan dan pengendalian kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Secara bebas
good governance dapat diterjemahkan menjadi pemerintahan yang bersih dan
berwibawa atau pemerintahan yang amanah.
Secara umum governance mengandung unsur-unsur
utama yang terdiri dari: (1) akuntability, (2) transparansi, (3) openness, (4)
rule of law (Bhatta: 1996) dalam (Karhi: 1997).
Akuntabilitas adalah kewajiban bagi aparatur
pemerintahan untuk bertindak selaku penanggung gugat atas segala tindakan dan
kebijaksanaan yang ditetapkannya. Unsur ini merupakan inti dari pemerintahan
yang baik (good governance) Akuntabilitas aparatur pemerintah terdiri dari tiga
jenis yaitu akuntabilitas politik, akuntabilitas keuangan dan akuntabilitas
hukum (Brautigam, 1991). Sedangkan menurut LAN (1998) akuntabilitas pemerintah
di bagi atas Akuntabilitas manajerial, akuntabilitas keuangan, dan
akuntabilitas operasional.
Akuntabilitas politik berkaitan dengan
pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat berkaitan dengan mekanisme sistem
pemilu dan mekanisme ceck and blances kekuasaan yang ada pada masyarakat.
Akuntabilitas keuangan yaitu kewajiban aparat mempertanggungjawabkan penggunaan
keuangan negara kepada rakyat. Sedangkan akuntabilitas hukum berkaitan dengan
semua unit-unit pemerintahan dapat bertanggung jawab secara hukum atas segala
tindakannya, termasuk organisasi pemerintahan yang pada prakteknya telah
merugikan kepentingan rakyat harus mampu mempertanggungjawabkan dan menerima
tuntutan hukum atas tindakannya.
Transparansi merupakan instrumen penting untuk mewujudkan
pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Rakyat harus mengetahui secara terbuka
atas segala proses perumusan kebijaksanaan publik dan implementasinya. Dengan
demikian segala tindakan dan kebijaksanaan pemerintah harus dilaksanakan secara
terbuka dan diketahui umum. Seiring dengan hal tersebut, pemerintah pula harus
terbuka dan memberikan kesempatan bagi rakyat untuk mengajukan kritikan dan
tanggapan terhadap pemerintah yang dinilai tidak transparan. Pemerintah yang
baik dan terbuka akan memberikan informasi dan data yang memadai bagi
masyarakat sebagai bahan untuk melakukan penilaian atas jalannya pemerintahan.
Sementara itu menurut Toha (1997) pemerintahan
yang bersih dan berwibawa sangat tergantung pada : (1) pelaku-pelaku pemerintah
(kualitas sumber daya manusia aparaturnya), (2) kelembagaan yang dipergunakan
untuk pelaku-pelaku pemerintahan untuk mengaktualisasikan kinerjanya, (3)
perimbangan kekuasaan yang mencerminkan seberapa jauh sistem pemerintah itu
harus diberlakukan, dan (4) kepemimpinan dalam birokrasi publik.
Senada dengan hal tersebut Rasyid (1997) bahwa
pembangunan pemerintahan diarahkan pada dimensi administrasi, yaitu
administrasi yang baik, organisasi yang efisien, serta aparatur yang
berkompeten dan jujur. Kultur administrasi yang melayani, memberdayakan dan
membangun berlandaskan semangat entrepreneurship perlu dibina secara
berkesinambungan. Berkaitan dengan itu peranan motivasi dan efisien mekanisme
dan prosedur kerja birokrasi terutama dalam proses pelayanan dan pengambilan keputusan
harus lebih disederhanakan.
Determinan utama untuk menciptakan pemerintahan
yang berwibawa adalah kualitas sumber daya manusia aparatur yang berkualitas.
Hal ini penting karena SDM aparatus dapat berfungsi sebagai perencana,
implementasi, pengendali dan evaluasi seluruh program-program pembangunan. Oleh
karena itu, hal penting yang harus diperhatikan adalah aparatur harus (1)
bermoral dan berakhlak yang tinggi yang ditandai oleh kebersihan akidah,
kebersihan akhlak, kebersihan tujuan hidup, bersih harta dan bersih pergaulan
sosial; (2) berpengetahuan dan berkemampuan untuk melaksanakan tugas yang
diembannya secara profesional.
Aspek kelembagaan pemerintah ke depan akan berubah
sesuai dengan perubahan peran pemerintah yaitu dari ”rowing” kearah steering.
Oleh karena itu desain kelembagaan pemerintah harus disesuaikan dengan platform more steering the rowing, yaitu
organisasi yang bersifat flat, efisien, fleksibel, matrikial, kaya fungsi,
miskin struktur dan yang lebih penting lagi adalah organisasi yang dapat
menumbuhkan semangat pemberdayaan masyarakat.
Perimbangan kekuasaan menandaskan adanya mekanisme
check and balances antara beberapa pemegang kekuasaan, baik kekuasaan yang ada
di birokrasi maupun kekuasaan yang ada di masyarakat. Faktor kepemimpinan birokrasi
terutama mensyaratkan akhlak mulya, bersih dan tidak cacat moral. Hal ini
penting dipenuhi karena faktor kepemimpinan sangat menentukan dalam memberikan
pelayanan yang adil, transparan, terbuka dan tidak berpihak kepada kepentingan
individu atau golongan. Syarat intelektualitas dan wawasan kepemimpinan
mengharuskan pemimpin birokrasi memiliki visi yang jauh kedepan, demokratis,
responsif, mendahulukan kepentingan umum dan kemampuan menggunakan sumber daya
organisasi untuk mecapai tujuan yang diinginkan.
No comments:
Post a Comment