Pengertian Resusitasi
Resusitasi adalah tindakan untuk menghidupkan kembali atau
memulihkan kembali kesadaran seseorang yang tampaknya mati sebagai akibat
berhentinya fungsi jantung dan paru, yang berorientasi pada otak (Tjokronegoro,
1998).
Sedangkan
menurut Rilantono, dkk (1999) resusitasi mengandung arti harfiah
“menghidupkan kembali”, yaitu dimaksudkan usaha-usaha yang dapat dilakukan
untuk mencegah suatu episode henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis.
Resusitasi jantung paru terdiri atas dua komponen utama yakni: bantuan hidup
dasar (BHD) dan bantuan hidup lanjut (BHL). Selanjutnya adalah perawatan pasca
resusitasi.
Bantuan hidup dasar adalah
usaha yang dilakukan untuk menjaga jalan nafas (Airway) tetap terbuka,
menunjang pernafasan dan sirkulasi darah. Usaha ini harus dimulai dengan
mengenali secara tepat keadaan henti jantung atau henti nafas dan segera
memberikan bantuan ventilasi dan sirkulasi. Usaha BHD ini bertujuan dengan
cepat mempertahankan pasokan oksigen ke otak, jantung dan alat-alat vital
lainnya sambil menunggu pengobatan lanjutan (bantuan hidup lanjut).
Resusitasi dilakukan pada
keadaan henti nafas, misalnya pada korban tenggelam, stroke, obstruksi benda
asing di jalan nafas, inhalasi gas, keracunan obat, tersedak, tersengat
listrik, koma dan lain-lain. Sedangkan henti jantung terjadi karena fibrilasi
ventrikel, takhikardi ventrikel, asistol dan disosiasi elektromekanikal.
Tujuan Resusitasi
Tindakan resusitasi
merupakan tindakan yang harus dilakukan dengan segera sebagai upaya untuk
menyelamatkan hidup (Hudak dan Gallo, 1997). Tindakan resusitasi ini dimulai
dengan penilaian secara tepat keadaan dan kesadaran penderita kemudian
dilanjutkan dengan pemberian bantuan hidup dasar (basic life support) yang
bertujuan untuk oksigenasi darurat. (AHA, 2003).
Tujuan tahap II (advance life support) adalah untuk memulai
kembali sirkulasi yang spontan, sedangkan tujuan tahap III (prolonged life
support) adalah pengelolaan intensif pasca resusitasi. Hasil akhir dari
tindakan resusitasi akan sangat tergantung pada kecepatan dan ketepatan
penolong pada tahap I dalam memberikan bantuan hidup dasar.
Tujuan utama resusitasi kardiopulmoner yaitu melindungi otak secara
manual dari kekurangan oksigen, lebih baik terjadi sirkulasi walaupun dengan
darah hitam daripada tidak sama sekali. Sirkulasi untuk menjamin oksigenasi
yang adekwat sangat diperlukan dengan segera karena sel-sel otak menjadi lumpuh
apabila oksigen ke otak terhenti selama 8 – 20 detik dan akan mati apabila
oksigen terhenti selama 3 – 5 menit (Tjokronegoro, 1998). Kerusakan sel-sel
otak akan menimbulkan dampak negatif berupa kecacatan atau bahkan kematian.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Keberhasilan Resusitasi
Hipoksia
yang disebabkan kegawatan pernafasan akan mengaktifkan metabolisme anaerob.
Apabila keadaan hipoksia semakin berat
dan lama, metabolisme anaerob akan menghasilkan asam laktat. Dengan memburuknya
keadaan asidosis dan penurunan aliran darah ke otak maka akan terjadi kerusakan
otak dan organ lain (Yu dan Monintja, 1997).
Selanjutnya dapat terjadi depresi pernafasan yang dimanifestasikan
dengan apneu yang memanjang bahkan dapat menyebabkan kematian.
Depresi
nafas yang dimanifestasikan dengan apneu yang memanjang hanya dapat diatasi
dengan pemberian oksigen dengan tekanan positif, massase jantung eksternal dan
koreksi keadaan asidosis. Hanya setelah oksigenasi dan perfusi jaringan
diperbaiki maka aktivitas respirasi dimulai (Yu dan Monintja, 1997).
Pendapat
tersebut menekankan pentingnya tindakan resusitasi dengan segera. Makin lambat
dimulainya tindakan resusitasi yang efektif maka akan makin lambat pula
timbulnya usaha nafas dan makin tinggi pula resiko kematian dan kecacatan. Hal
ini diperkuat dengan pendapat Nelson (1999) yang menyatakan bahwa peluang
keberhasilan tata laksana penderita dengan henti nafas menitikberatkan pada
pentingnya kemampuan tata laksana karena peningkatan hasil akhir pasca henti
pernafasan dihubungkan dengan kecepatan dilakukannya resusitasi jantung paru.
Resusitasi akan berhasil
apabila dilakukan segera setelah kejadian henti jantung atau henti nafas pada
saat kerusakan otak yang menetap (irreversible) belum terjadi. Kerusakan
otak yang menetap akan terjadi apabila kekurangan O2 dalam darah
tidak segera dikoreksi atau apabila sirkulasi terhenti lebih dari 3 – 5 menit
(Tjokronegoro, 1998)
Keberhasilan resusitasi tergantung kepada :
1)
Keadaan miokardium
2)
Penyebab terjadinya henti
jantung
3)
Kecepatan dan ketepatan
tindakan
4)
Mempertahankan penderita di
perjalanan ke rumah sakit
5)
Perawatan khusus di rumah sakit
6)
Umur (tetapi tidak terlalu
menentukan)
No comments:
Post a Comment