Apa sesungguhnya yang dimaksudkan dengan
sengketa ekonomi syari’ah itu ?
Dalam kosa kata Inggris terdapat 2
(dua) istilah, yakni “conflict”dan “dispute”yang kedua-duanya
mengandung pengertian tentang adanya perbedaan kepentingan di antara kedua pihak atau lebih,
tetapi keduanya dapat dibedakan. Kosa kata conflict sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia
menjadi “konflik”, sedangkan kosa kata dispute”dapat
diterjemahkan dengan kosa kata “sengketa.”
Sebuah konflik, yakni sebuah situasi di mana
2 (dua) pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan kepentingan, tidak akan
berkembang menjadi sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya
memendam perasaan tidak puas atau keprihatiannya. Sebuah konflik berubah atau
berkembang menjadi sebuah sengketa bilamana pihak yang merasa dirugikan telah
menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada
pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak lain. [1]
Ini berarti sengketa merupakan
kelanjutan dari konflik. Sebuah konflik akan berubah menjadi sengketa bila
tidak dapat terselesaikan. Konflik akan diartikan “pertentangan” di antara
para pihak untuk menyelesaikan masalah
yang kalau tidak terselesaikan dengan baik dapat mengganggu hubungan di antara
mereka. Sepanjang para pihak tersebut dapat menyelesaikan masalahnya dengan
baik, maka sengketa tidak akan terjadi. Namun, bila terjadi sebaliknya, para
pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai solusi pemecahan masalahnya,
maka sengketalah yang timbul. Penyelesaian sengkata dapat dilakukan melalui
beberapa cara, yakni melalui badan Peradilan (Litigasi) dan di luar badan
Peradilan (Non Litigasi).
Pada dasarnya keberadaan cara
penyelesaian sengketa setua keberadaan manusia itu sendiri. Dengan segala
kelebihan dan kekurangan yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia, membawa
manusia itu ke dalam bermacam-macam konflik, baik dengan manusia lain, alam
lingkungannya, bahkan dengan dirinya sendiri. Namun, karena kodrat manusia
juga,maka manusia selalu berusaha mencari cara penyelesaian konflik dalam
rangka untuk selalu mencapai posisi keseimbangan dan agar tetap dapat berusaha
hidup. Sejarah menunjukkan bahwa peradaban manusia berkembang sesuai dengan
alam lingkungannya, kebutuhannya, serta nilai-nilai baru yang berkembang
kemudian. Demikian pula konflik dan cara-cara penyelesaiannya pun berkembang
sejajar dengan perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Pada saat posisi
individualitas manusia masih tenggelam dalam kepentingan kelompok, konflik
individu, baik ia dengan individu dalam kelompok yang sama maupun antara ia
dengan individu lain dari kelompok yang berbeda, akan ditransformasi manjadi
konflik kelompok dan penyelesaiannya pun menjadi penyelesaian kelompok.
Peradaban manusia yang berkembang semakin komplek membawa serta perubahan
posisi manusia dari ketertenggelamannya dalam kepentingan kelompok menjadi
individu-individu yang mandiri, yang memiliki kepentingan-kepentingan yang
tidak dapat begitu saja ia korbankan pada kepentingan kelompok, maka konflik,
cara penyelesaiannya, serta nilai yang ingin dicapai dengan penyelesaian itu
pun ikut mengalami perkembangan.[2]
Pada saat kepentingan manusia masih
bertumpu pada kekuasaan atau kekuatan fisik, nilai yang ingin dicapai dengan
penyelesaian itu menang atau kalah, jaya atau hancur, tanpa kompromi. Setelah
kekuasaan atau kekuatan fisik itu mulai ditransformasiakan ka dalam hukum,
nilai menang atau kalah masih kuat melekat pada tujuan menyelesaikan konflik
tersebut, meskipun cara penyelesaiannya tidak lagi mengandalkan pada kekuatan
atau kekuasaan fisik, tetapi dengan mengadu pembuktian di depan hukum. Ekses
perkembangan hukum yang semakin memberikan perlindungan atas hak-hak yang
dimiliki oleh seseorang dari perbuatan
orang lain yang merugikannya, tata pergaulan dunia baru pasca Perang Dunia 11,
semakin langkanya sumber daya alam, pandangan sustainable business
relationship, telah memberikan sumbangan bagi munculnya cara-cara
penyelesaian sengketa yang tidak melulu bertumpu pada nilai-nilai menang atau
kalah, jaya atau hancur sama sekali.[3]
Penyelesain sengketa dapat dilakukan
melalui 2 (dua) proses. Proses penyelesaian sengketa tertua melalui proses
litigasi di dalam pengadilan, kemudian berkembang proses penyelesaian sengketa
melalui kerja sama (kooperatif) di luar pengadilan. Proses litigasi
menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversarial yang belum mampu merangkul
kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam
penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif, dan menimbulkan
permusuhan di antara pihak yang bersengketa. Sebaliknya, melalui proses di luar
pengadilan menghasilkan kesepakatan yang bersifat “ win-win solution” , dijamin
kerahasiaan sengketa para pihak, dihindari kelambatan yang diakibatkan karena
hal proseduraldan administratif, menyelesaikan masalah secara komprehensif
dalam kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik. Akan tetapi, di
negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat. Satu-satunya
kelebihan proses nonlitigasi ini sifat kerahasiaannya, karena proses
persidangan dan bahkan hasil keputusannya pun tidak dipublikasikan.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini umumnya dinamakan dengan
Alternative Dispute Resolution (ADR).
Sengketa
berarti terjadinya perbedaan kepentingan antara dua pihak atau lebih yang
saling terkait. Baik antara pihak Bank dengan Nasabah atau antara mudharib
dengan baitul mal maupun antara rahin dengan murtahin. Hal ini dikarenakan
tidak terpenuhinya hak dan kewajiban secara wajar dan semestinya oleh
pihak-pihak yang terkait. Sungguh pun
aktivitas ekonomi syari’ah telah dilaksanakan dengan mempertimbangkan
prinsip-prinsip syari’ah, namun dalam proses perjalanannya tidak menutup
kemungkinan terjadinya sengketa antara pihak-pihak yang bersangkutan. Jadi yang
dimaksudkan dengan sengketa dalam bidang ekonomi syari’ah adalah sengketa didalam
pemenuhan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang terikat dalam akad aktivitas
ekonomi syari’ah.
Menurut Hakim
Agung Habiburrahman, sengketa di bidang ekonomi syariah yang menjadi kewenangan
Pengadilan Agama adalah meliputi :
1.
Sengketa di bidang ekonomi
syariah antara lembaga keuangan dan lembaga
pembiayaan syariah dengan nasabahnya;
2.
Sengketa di bidang ekonomi
syari’ah antara sesama lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah;
3.
Sengketa di bidang ekonomi
syariah antara orang-orang yang beragama Islam, yang dalam akad perjanjiannya
disebutkan dengan tegas bahwa perbuatan/kegiatan usaha yang dilakukan adalah
berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah.
Oleh karena itulah dalam hal ini diperlukan
suatu konsep penyelesaian sengketa yang menjamin rasa keadilan bagi pihak-pihak
yang bersengketa. Uraian berikut ini dicoba untuk memaparkan beberapa
alternatif penyelesaian sengketa dalam
bidang perekonomian syari’ah.
No comments:
Post a Comment