1. Pengertian Arbitrase
Arbitrase merupakan salah satu
metode penyelesaian sengketa. Sengketa yang harus diselesaikan tersebut berasal
dari sengketa atas sebuah kontrak dalam bentuk sebagai berikut :[1]
a. Perbedaan
Penafsiran (disputes) mengenai pelaksanaan perjanjian,
berupa :
1). Kontraversi pendapat (controversy);
2). Kesalahan pengertian (misunderstanding);
3). Ketidaksepakatan (disagreement).
b. Pelanggaran perjanjian (breach of contract),
termasuk di dalamnya adalah :
1). Sah atau tidaknya kontrak;
2). Berlaku atau tidaknya kontrak.
c. Pengakhiran kontrak (termination of contract);
d. Klaim mengenai ganti rugi atas wanprestasi atau
perbuatan melawan hukum.
Sedangkan menurut Nomor 30 Tahun 1999, yang dimaksud dengan arbitrase
adalah, cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa .[2]
Dalam literatur lain
dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan “arbitrase” adalah “submission of controversies by agreement of the parties there to persons chosen by
themselves for determination.” [3]
Dari beberapa definisi tersebut di atas,
dapat ditarik beberapa karakteristik yurudis dari arbitrase, sebagai berikut :[4]
·
Adanya
kontroversi di antara para pihak;
·
Kontroversi
tersebut diajukan kepada arbiter;
·
Arbiter diajukan oleh para pihak atau ditunjuk
oleh badan tertentu;
·
Arbiter
adalah pihak di luar badan peradilan umum;
·
Dasar
pengajuan sengketa ke arbitrase adalah
perjanjian;
·
Arbiter
melakukan pemeriksaan perkara;
·
Setelah
memeriksa perkara, arbiter akan memberikan putusan arbitrase tersebut dan mengikat
para pihak.
2. Prinsip-prinsip Arbitrase
Agar dapat menjadi badan
penyelesaian yang ampuh, Arbitrase
seharusnya menganut beberapa prinsip sebagai berikut :[5]
a. Efisien
Dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui
badan-badang peradilan umum, penyelesaian sengketa lewat arbitrase lebih
efisien, yakni efisien dalam hubungannya dengan waktu dan biaya.
b. Accessibilitas
Arbitrase harus terjangkau dalam arti biaya, waktu dan tempat.
c. Proteksi Hak Para Pihak
Terutama pihak yang tidak mampu, misalnya untuk mendatangkan saksi ahli atau untuk menyewa pengacara
terkenal , harus mendapatkan perlindungan yang wajar.
d.
Final
and Binding
Keputusan arbitrase haruslah final and binding, kecuali memang para
pihak tidak menghendaki demikian atau
jika ada alasan-alasan yang berhubungan dengan “due proses”.
e.
Fair
and Just
Tepat dan adil untuk pihak bersengketa, sifat sengketa dan sebagainya.
f.
Sesuai Dengan
Sence Of Justice Dari Masyarakat.
Dengan demikian akan lebih terjamin unsur “deterrant” dari si
pelanggar, dan sengketa akan dapat dicegah.
g. Credibilitas
Para arbiter dan badan Arbitrase
yang bersangkutan haruslah orang-orang yang diakui kredibilitasnya, sehingga
keputusannya akan lebih dihormati.
3. Kelebihan – Kelebihan Arbitrase
Dibandingkan dengan pengadilan konvensional, maka arbitrase mempunyai kelebihan atau keuntungan, antara lain :
a. Prosedur tidak berbelit dan keputusan keputusan
dapat dicapai dalam waktu relatif singkat
b. Biaya lebih murah.
c. Dapat dihindari expose dari keputusan di depan
umum.
d. Hukum terhadap prosedur dan pembuktian lebih
relaks.
e. Para pihak dapat memilih hukum mana yang akan
diberlakukan oleh arbitrase.
f. Para pihak bisa memilih sendiri para arbiter.
g. Dapat memilih para arbiter dari kalangan ahli
dalam bidangnya.
h. Keputusan dapat lebih terkait dengan situasi dan
kondisi.
i.
Keputusannya
umumnya final dan binding (tanpa harus naik banding atau kasasi).
j.
Keputusan
arbitrase pada umumnya dapat
diberlakukan dan dieksekusi oleh
pengadilan dengan sedikit atau tanpa review sama sekali.
k. Proses/prosedur arbitrase lebih mudah dimengerti
oleh masyarakat luas.
l.
Menutup
kemungkinan untuk dilakukan “Forum Shopping”.
4.
Kekurangan-kekurangan
Arbitrase
Bila dibandingkan dengan pengadilan konvensional kelebihan-kelebihan,
kelemahan dan kritikan terhadap arbitrase sering diajukan, antara lain sebagai
beikut :
a.
Hanya baik
dan tersedia dengan baik terhadap perusahaan-perusahaan bonafide.
b.
Due prosess kurang terpenuhi.
c.
Kurangnya
unsur finality.
d.
Kurangnya power
untuk menggiring para pihak ke settlement.
e.
Kurangnya power
untuk menghadirkan barang bukti, saksi dan lain-lain.
f.
Kurangnya power
untuk hak law enforcement dan eksekusi keputusan.
g.
Dapat
menyembunyikan dispute dari “Public Scrutiny”.
h.
Tidak dapat
menghasikan solusi yang bersifat preventif.
i.
Kemungkinan
timbulnya keputusan yang saling bertentangan satu sama lain karena tidak ada
sistem “presedent” terhadap keputusan sebelumnya, dan juga karena unsur
fleksibelitas dari arbiter. Karena itu keputusan arbitrase tidak predektif.
j.
Kualitas
keputusannya sangat bergantung pada kualitas para arbiter itu sendiri, tanpa
ada norma yang cukup untuk menjaga
standar mutu keputusan arbitrase. Oleh karena itu sering dikatakan “An
arbitration is as good as arbitrators”.[6]
k.
Berakibat
kurangnya upaya untuk mengubah sistem pengadilan konvensional yang ada.
l.
Berakibat
semakin tinggi rasa permusuhan kepada pengadilan.
Penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase sesungguhnya
telah diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase,
dimana dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan kemungkinan diselesaikannya
suatu sengketa melalui badan
arbitrase.
Meskipun Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
telah diundangkan dan karenanya mulai berlaku mulai pada tanggal 12 Agustus
1999, namun dibeberapa Pengadilan Negeri masih saja ada
Hakim yang kurang memahaminya. Pasal 3 Undang-Undang tersebut dengan
tegas menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili
sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Bahkan
menurut pasal 11 Undang-Undang tersebut, adanya suatu perjanjian arbitrase
tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau
beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu
penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam
hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
5. Upaya Hukum Putusan Arbitrase
Terhadap suatu putusan
arbitrase, para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan
tersebut mengandung unsur-unsur sebagaimana yang tertera pada pasal 70 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999. Meskipun dalam paal 70 tersebut tertera permohonan
pembatalan, namun oleh karena suatu putusan arbitrase mengikat baik Pemohon
maupun Termohon Arbitrase, maka permohonan pembatalan putusan tersebut harus
dalam bentuk gugatan yang pihak-pihaknya
adalah pihak-pihak dalam putusan
arbitrase. Selain dari permohonan pembatalan putusan arbitrase, Undang-Undang
juga menentukan bahwa tuntutan ingkar terhadap Arbiter yang diangkat oleh KETUA
Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud oleh Pasal 23 ayat (1) dan dalam hal
yang seperti tertera dalam pasal 25 ayat (1) harus diajukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri dan upaya ini dilakukan sebelum adanya putusan arbitrase.
Ketentuan dalam Undang-Undang
Arbitrase tersebut jelas, tetapi masih saja ada Hakim yang dalam memeriksa
gugatan perbuatan melawan hukum antara para pihak dalam putusan arbitrase
mengabulkan tuntutan provisi dengan "Menangguhkan berlakunya putusan
arbitrase". Bahkan Arbiter Tunggal yang memutus arbitrase juga digugat
telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Pasal
21 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa arbiter atau majelis
arbitrase tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun atas segala
tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan
fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbitrase, kecuali dapat dibuktikan
adanya iktikad tidak baik dari tindakan tersebut.[7]
6. Beberapa
Hal Yang Berkaitan Dengan Acara Arbitrase
Berikut ini penjelasan dari masing-masing
masalah dalam acara bagi arbitrase sesuai dengan Undang-Undang Arbitrase Nomor
30 Tahun 1999, yaitu sebagai berikut:
a.
Pemeriksaan
Tertutup
Pemeriksaan perkara
arbitrase dilakukan secara tertutup. Hal ini berbeda dengan perkara perdata
biasa di Pengadilan Negeri yang dilakukan dalam sidang yang dinyatakan terbuka
untuk umum. Keharusan sidang pemeriksaan perkara arbitrase yang tertutup ini
merupakan salah satu ciri dari prosedur arbitrase. Dengan demikian kerahasiaan
perkara dari para pihak tetap terjamin. Hal ini disebabkan anggapan masyarakat
bernada miring terhadap suatu sengketa hukum, sehingga menyebabkan cukup banyak
pihak yang merasa tidak enak jika ada orang lain mengetahui bahwa dia sedang
terlibat dalam suatu sengketa.
Pasal 27 dari Undang-Undang
Arbitrase Nomor30 Tahun 1999 tidak memberikan kekecualian terhadap sifat
tertutupnya sidang pemeriksaan dalam proses arbitrase. Bahkan, para pihak juga
tidak boleh mengenyampingkan ketentuan ketertutupan ini. Hal ini disebabkan
formulasi dari Pasal 27 tersebut memberikan indikasi akan sifat memaksa dari
ketentuan ketertutupan tersebut, dengan menyatakan bahwa “semua” pemeriksaan
sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup. Jadi,
menutup kemungkinan adanya penyimpangan. Artinya, jika para pihak menghendaki
agar putusan tersebut dipublikasikan, maka kewajiban para pihak sendirilah
untuk mempublikasikan.
b.
Bahasa
Yang Digunakan
Bahasa yang digunakan dalam proses pemeriksaan oleh arbiter adalah bahasa
Indonesia. Penggunaan bahasa lain selain bahasa Indonesia dapat dilakukan jika:
1). Para pihak bersengketa menghendaki penggunaan bahasa lain dan hal tersebut disetujui oleh para arbiter,
atau
2). Terhadap arbitrase yang tidak berlaku Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999, misalnya terhadap arbitrase Internasional, di mana bahasa Inggris sering
digunakan.
c. Keterlibatan Para Pihak
Pihak-pihak yang bersengketa
mempunyai hak untuk diperlakukan secara sama satu sama lain. Mereka diberi
kesempatan yang sama untuk didengar oleh para arbiter. Di samping itu, mereka
juga dapat diwakili oleh pihak pengacaranya ( dengan kuasa khusus) jika hal
tersebut diinginkannya.[8]
d. Keterlibatan Pihak Ketiga.
Selain dari
keterlibatan para pihak kuasanya, pihak ketiga diluar perjanjian arbitrase juga
dapat ikut serta dan menggabungkan diri
dalam suatu proses arbitrase. Keterlibatan pihak ketiga dalam suatu perkara
perdata sebenarnya juga merupakan hal yang lazim dalam proses peradilan umum di
Pengadilan Negeri. Undang-Undang Arbitrase Nomor30 Tahun 1999 memberikan
beberapa syarat agar pihak ketiga dapat ikut serta dan menggabungkan diri dalam
suatu proses arbitrase. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1). Terdapat unsur kepentingan yang terkait dengan perkara yang
bersangkutan;
2). Keikutsertaannya disepakati oleh para pihak
yang bersengketa;
3). Keikutsertaannya disetujui oleh arbiter atau
majelis arbitrase yang bersangkutan.[9]
e. Penggunaan Acara Arbitrase
Sesuai dengan
praktek arbitrase dan ketentuan dalam Undang-Undang tentang Arbitrase Nomor30
Tahun 1999, maka pemilihan acara untuk arbitrase adalah sebagai berikut;
1). Dengan suatu perjanjian yang tegas dan tertulis, para pihak bebas
menentukan sendiri secara arbitrase yang digunakan dalam proses penyelesaian
sengketa yang bersangkutan.
2). Para pihak dapat juga memilih acara yang berlaku dari suatu lembaga
arbitrase yang ada untuk menjadi acara arbitrase dalam penyelesaian
sengketanya.
3). Jika para pihak tidak menentukan sendiri acara arbitrase maka berlaku
ketentuan sebagai berikut:
(a).Berlaku ketentuan dari lembaga arbitrase
(nasional atau internasional) yang dipilih oleh para
pihak;
(b).Jika tidak dipilih arbitrase lembaga (seperti
BANI), maka para arbiter sendiri yang akan menentukan acara arbiter tersebut
dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang Arbitrase Nomor30
Tahun 1999dan peraturan yang berlaku lainnya. Lihat Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang
Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999.[10]
4). Khusus tentang jangka dan tempat arbitrase juga ditentukan sendiri oleh
para pihak yang bersengketa..
5). Apabila para pihak tidak menentukan sendiri jangka waktu dan tempat arbitrase,
maka arbiter atau majelis arbitrase yang akan menentukan tempat dan waktunya,
dengan ketentuan bahwa pemeriksaan atas sengketa tersebut harus sudah selesai
dalam waktu maksimal 180 (seratus delapan puluh) hari.
Namun demikian,
jangka waktu tugas dari arbitrase dapat diperpanjang jika memenuhi salah satu
dari syarat-syarat sebagaimana disebut dalam Pasal 33 Undang-Undang Arbitrase Nomor30
Tahun 1999, yaitu sebagai berikut:
(a). Apabila diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal
khusus tertentu. Hal khusus tertentu
ini, misalnya karena adanya gugatan atau gugatan insidentil di luar pokok
sengketa, seperti permohonan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara
Perdata.[11]
(b).Sebagai akibat ditetapkannya putusan provisional atau putusan selainnya.
(c)Untuk kepentingan pemeriksaan, apabila
dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase.
.f. Putusan Provisi
Seperti juga badan pengadilan
(konvensional), maka arbitrase di samping dapat menjatuhkan putusan final,
dapat juga menjatuhkan putusan provisional atau putusan sela untuk mengatur
ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa. Termasuk ke dalam putusan sela
tersebut adalah perintah penitipan barang kepada pihak ketiga, menjual barang
yang mudah rusak dan lain-lain. Karena pelaksanaan putusan sela memerlukan
jangka waktu tertentu, maka jangka waktu pelaksanaan putusan sela ini di luar
dari jangka waktu arbitrase sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 Undang-Undang Arbitrase Nomor30 Tahun 1999.
g. Terjemahan Alat Bukti
Apabila terdapat kesulitan masalah bahasa,
maka arbiter atau majelis arbitrase dapat menginstruksikan agar terhadap setiap
dokumen alat bukti dibuat juga terjemahan ke dalam bahasa yang ditetapkan oleh
arbiter atau majelis arbitrase.
h. Pemeriksaan Lisan / Tertulis
Pada
prinsipnya, suatu pemeriksaan arbitrase haruslah dilakukan secara tertulis.
Maksudnya adalah bahwa pihak pemohon harus mengajukan permohonan pemeriksaan
arbitrase secara tertulis. Demikian pula pihak termohon harus mengajukan
bantahannya secara tertulis pula.
Keterangan saksi ahli pun dilakukan secara tertulis (Pasal 50 ayat (1)),
kecuali dianggap perlu oleh arbiter untuk didengar saksi ahli secara lisan.
Sedangkan pemeriksaan saksi lainnya dapat dilakukan secara tertulis, tetapi
dapat juga secara lisan, bila dianggap perlu oleh arbiter atau bila disetujui
oleh para pihak.
Pemeriksaan seluruh acara
arbitrase secara lisan ( tanpa perlu surat permohonan atau surat tuntutan
tertulis misalnya) dapat saja dilakukan jika memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1)
Jika
disetujui oleh para pihak yang bersengketa, atau
i. Penentuan Tempat Arbitrase
Mengenai tempat dilangsungkannya
pemeriksaan arbitrase, berlaku ketentuan sebagai berikut:
1). Tempat yang ditentukan oleh para pihak, jika para pihak ada yang
menentukannya , atau jika para pihak tidak menentukannya.
2). Berlaku tempat yang dilakukan oleh para arbiter;
3). Atau jika yang dipilih adalah arbitrase kelembagaan, berlaku tempat
sebagaimana berlaku untuk lembaga arbiotrase yang bersangkutan.
4). Bila perlu, pemeriksaan saksi dan saksi ahli dapat dilakukan di tempat
tertentu di luar tempat arbitrase.
5). Bila perlu, pemeriksaan setempat dapat dilakukan, yakni di tempat
lokasi objek yang bersangkutan.
( vide Pasal 37 Undang-Undang
Arbitrase Nomor30 Tahun 1999)
j. Pemeriksaan Setempat
Seperti telah disebutkan bahwa pemeriksaan
setempat (site visit) dapat saja dilakukan jika dianggap perlu oleh arbiter dan
hal tersebut memang dimungkinkan oleh Pasal 37 ayat (4) Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999.
Dalam hal ini, bahkan bila dianggap perlu, para arbiter dapat juga memanggil
para pihak untuk datang dan hadir ke lokasi pemeriksaan. Yakni ke lokasi di
mana objek yang akan diperiksa terletak.
k. Surat Tuntutan oleh Pemohon.
Apabila
permohonan dari pihak pemohon untuk dilakukan pemeriksaan arbitrase disetujui oleh pihak arbiter dan
arbiter atau majelis arbitrase sudah dibentuk, pemeriksaan ditingkatkan ke fase
pengajuan surat tuntutan oleh pemohon. Surat tuntutan (Statement of claim)
tersebut diajukan kepada pihak arbiter dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
Syarat minimal dari
isi surat tuntutan tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Nama lengkap
dan tempat tinggal/kedudukan para pihak;
2.
Uraian
singkat tentang sengketa disertai dengan lampiran bukti-bukti pendukung.
l.
Jawaban dari
Termohon
Atas surat tuntutan yang diajukan oleh
pemohon, termohon dapat mengajukan bantahan tertulisnya. Bantahan tertulis ini
diajukan oleh termohon dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah termohon
menerima salinan Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999).tuntutan tersebut dari arbiter atau dari ketua
majelis arbitrase.[14]
m.
Penetapan
Hari Sidang
Setelah diterimanya jawaban atas tuntutan
dari pemohon arbitrase, maka satu salinan dari jawaban tersebut diserahkan kepada pemohon oleh
arbiter atau oleh ketua majelis arbitrase. Setelah itu pihak arbiter baru
menentukan hari sidang dan memerintahkan
agar para pihak atau kuasanya menghadap
di depan sidang. Hari sidang harus ditetapkan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak dikeluarkannya perintah itu.[15]
n.
Tuntutan
Balasan
Disamping memberikan jawaban atas tuntutan
dari pihak pemohon, pihak termohon dapat juga mengajukan tuntutan balasan
(counter claim, rekonvensi) jika memang ada sesuatu yang dituntut kepada pihak pemohon arbitrase. Pengajuan
tuntutan balasan oleh pihak termohon ini dapat dilakukan dengan dua cara
sebagai berikut :
1). Diajukan dalam
jawabannya, atau
2). Diajukan
selambat-lambatnya pada sidang arbitrase yang pertama.
Terhadap
tuntutan balasan ini , oleh pihak
pemohon arbitrase dapat mengajukan
tanggapan. Ditentukan juga, bahwa tuntutan balasan dari pihak termohon bersama dengan tanggapan pemohon atas tuntutan
balasan tersebut haruslah diperiksa dan diputus bersama-sama dengan pokok
sengketa.[16]
o.
Usaha
Perdamaian oleh Arbiter
Seperti
untuk proses peradilan biasa, maka pada sidang pertama dari Arbiter juga diusahakan dan ditawarkan
perdamaian kepada para pihak yang bersengketa oleh pihak arbiter. Apabila usaha
perdamaian tersebut tercapai, maka oleh pihak arbiter atau mahelis arbitrase
dibuat suatu akta perdamaian yang berkekuatan final dan mengikat (final and
bindang). Selanjutnya, pihak arbiter memerintahkan kepada para pihak yang
bersengketa untuk melaksanakan isi perdamaian tersebut.
p. Jika Perdamaian Tidak Tercapai
Bagaimana halnya jika perdamaian di muka
arbiter tidak tercapai. Untuk itu,
pemeriksaan terhadap pokok perkara dilanjutkan oleh arbiter Dalam hal ini mulailah dilakukan hal-halk
sebagai berikut :
1). Para pihak dalam suatu jangka waktu tertentu
diberikan kesempatan lagi untuk terakhir kalinya menjelaskan secara tertulis
pendirian masing-masing disertai dengan pengajuan bukti-bukti.
2). Arbiter atau majelis arbitrase berhak meminta
kepada para pihak dokumen tambahan, bukti lain atau penjelasan secara tertulis
dalam jangka waktu tertentu.[17]
q. Jika Pemohon Tidak Datang Menghadap
Bagaimana seandainya pada hari sidang pihak
pemohon tidak datang untuk menghadap sidang, padahal yang bersangkutan sudah
dipanggil secara patut. Dalam hal ini berlaku ketentuan dalam pasal 43 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999, dimana tuntutan dinyatakan gugur, dan tugas arbiter atau
majelis arbutrase dianggap seleai ampai disitu.
r. Jika Termohon Tidak Datang Menghadap
Bagaimana pula seandainya pihak termohon
yang tidak datang untuk menghadap pada sidang pertama padahal yang bersangkutan
sudah dipanggil secara patut. Dalam hal pihak termohon haruslah dipanggil
sekali lagi secara patut. Apabila 10 (sepuluh) hari setelah pemannggilan kedua pihak termohon belum juga datang
menghadap tanpa alasan yang jelas, maka pemeriksaan akan dilanjutkan tanpa
hadirnya pihak termohon (verstek) dan tuntutan akan diterima seluruhnya.
Tuntutan akan ditolak oleh arbiter atau majelis arbitrase jika tuntutannya tidak
beralasan atau tidak sesuai dengan hukum yang berlaku.[18]
s. Pencabutan surat Permohonan Arbitrase
Pada prinsipnya pemohon arbitrase dapat mencabut
surat permohonan, menambah atau mengubah surat tuntutan untuk penyelesaian
sengketa tersebut. Hanya saja, bagaimana tata cara pencabutan, penambahan atau
perubahan tersebut sangat bergantung pada waktunya dilakukan. Prosesnya adalah
sebagai berikut:
1). Jika diajukan sebelum ada jawaban dari
termohon, pemohon dapat mencabut surat permohonan arbitrase tanpa perlu
persetujuan dari pihak termohon.
2). Jika sudah ada jawaban dari pemohon, maka
perubahan atau penambahan atas urat tuntutan arbitrase hanya dapat dilakukan
jika a). Ada persetujuan dari termohon; dan
b). Perubahan atau penambahan tersebut hanya
bersangkutan dengan hal-hal yang bersifat fakta, tidak bersangkutan dengan
dasar-dasar hukum dari permohonan.[19]
t. Batas Waktu Penyelesaian Pemeriksaan Oleh Arbiter
Pemeriksaan sengketa di depan
arbitrase harus dituntaskan dalam waktu paling lama 180 hari sejak arbiter atau
majelis arbitrase dibentuk. Lihat Pasal 48 Undang-Undang Arbitrase Nomor 30
Tahun 1999. Namun demikian, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang jika
memenuhi ketentuan sebagai berikut :
1). Diajukan permohonan perpanjangan pemeriksaan
oleh salah satu pihak mengenai hal khusus tertentu.Contoh dari “hal khusus
tertentu” misalnya karena gugatan insidentil di luar pokok sengketa, seperti
permohonan jaminan sebagaimana dimaksud dalam hukum acara perdata. Lihat
penjelasan atas pasal 33 huruf (a) dari Undang-Undang arbitrase Nomor 30 Tahun
1999.
2). Apabila hal tersebut sebagai akibat
ditetapkannya putusan provisional atau
putusan sela lainnya.
3). Apabila hal tersebut dianggap perlu oleh
arbiter atau majelis arbitrase untuk kepentingan pemeriksaan.[20]
No comments:
Post a Comment