Mengapa mesti ke
Pengadilan Agama ?
Hal ini didasarkan
atas beberapa alasan sebagai berikut :
Pasal 24
ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan
:
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”
Pasal 2
jo Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
Bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan pelaku
kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi
rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf,
zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.
Dalam Penjelasan Pasal 49
dinyatakan :
“Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam”
adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri
dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan
Peradilan Agama sesuai ketentuan pasal
ini.”
Dari penjelasan Pasal
49 tersebut, maka seluruh nasabah lembaga
keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah, atau bank konvensional
yang membuka unit usaha syari’ah (seperti Bank Syari’ah Mandiri, BNI Syari’ah,
dan lain-lain) dengan sendirinya terikat dengan ketentuan ekonomi syari’ah,
baik dalam pelaksanaan akad maupun dalam penyelesaian perselisihan.
Setelah diuraikan secukupnya tentang
penyelesaian sengketa ekonomi syari'ah secara non-litigasi sebagaimana telah
dijelaskan di atas, berikut ini adalah sebuah tawaran penyelesaian sengketa
ekonomi syari'ah secara litigasi yang
dalam hal ini adalah melalui Badan Peradilan Agama.
Apa dan
bagaimana penyelesaian sengketa ekonomi syari'ah melalui Pengadilan Agama itu ?
Sebelum sampai kepada jawaban
atas pertanyaan diatas ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu sekilas tentang kedudukan Peradilan Agama
sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama.
1.
Kedudukan
Peradilan Agama Sebelum Berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Perbedaan
yang sangat mendasar pada kedudukan Peradilan Agama sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006, adalah terletak pada kewenangan absolutnya. Ketika masih
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 sebagai payung hukum terakhir
bagi tugas-tugas Peradilan Agama, kewenangan Pengadilan Agama hanya sebatas menyelesaian
perkara-perkara sebagai berikut:
a.
Perkara di
bidang perkawinan; yang meliputi :
1). Izin beristeri lebih dari
seorang;
2). Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua
puluh satu) tahun, dalam hal orang tua
wali atau keluarga dalam garis lurus ada
perbedaan pendapat;
3). Dispensasi kawin;
4). Pencegahan perkawinan;
5). Penolakan Perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6). Pembatalan perkawinan;
7). Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri;
8). Perceraian karena talak;
9). Gugatan perceraian;
10).
Penyelesaian harta bersama;
11). Mengenai penguasaan anak-anak;
12). Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana
bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya;
13). Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas
isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri;
14). Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
15). Putusan tentang pencabutan
kekuasaan orang tua;
16). Pencabutan kekuasaan wali;
17). Penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal kekuasaan
seorang wali dicabut;
18). Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18
(delapan delas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak adanya
penunjukan wali oleh orang tuanya;
19). Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah
menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada dibawah kekuasaannya;
20). Penetapan asal usul seorang
anak;
21).
Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan campuran;
22). Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang
lain.
b. Perkara dibidang kewarisan,
wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.
Sebagaimana dimaksud dalam
pasal 49 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, yang dimaksud dengan
perkara dibidang kewarisan adalah meliputi penentuan siapa-siapa yang menjadi
ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian
masing-masing ahli waris, dan melakanakan pembagian harta peninggalan tersebut.
c. Perkara dibidang wakaf dan shadaqah.
2. Kedudukan Peradilan Agama Setelah Berlakunya
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 kedudukan Badan Peradilan Agama semakin eksis. Hal ini seiring
bertambahnya kewenangan absolut peradilan agama dalam menangani perkara-perkara
tertentu. Lebih jelasnya, perbedaan mendasar tersebut adalah peradilan agama
semakin mendapatkan kepercayaan masyarakat dan negara Indonesia untuk mengadili
dan menyelesaikan perkara-perkara selain yang telah diuraikan di atas juga
terhadap perkara-perkara sebagai berikut :
a.
Perkara zakat;
b.
Perkara infaq;
c.
Perkara
dibidang ekonomi syari’ah; dan
d.
Perkara
Penetapan Pengangkatan Anak berdasarkan Hukum Islam.
Selain
perkara-perkara tersebut dengan
berlakunya Undang-Undang tentang peradilan agama yang terbaru tersebut,
pengadian agama juga diberi tugas khusus terkait dengan penetapan kesaksian
rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah. Pengadilan Agama
juga dapat memberikan keterangan atau nasehat mengenai perbedaan penentuan arah
kiblat dan penentuan waktu shalat.
Kewenangan untuk
melaksanakan tugas pokok pengadilan tersebut dibagi dua yaitu:[1]
1.
Kewenangan relatif.
Kewenangan relatif atau kompetensi relatif
yaitu kewenangan untuk menerima,
memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan suatu perkara yang diajukan
kepadanya, didasarkan kepada wilayah hukum pengadilan mana tergugat bertempat
tinggal. Kewenangan relatif ini mengatur pembagian kekuasaan pengadilan yang
sama, misalnya antara Pengadilan Agama Banjarnegara dengan Pengadilan Agama Purbalingga,
sehingga untuk menjawab apakah perkara ini menjadi kewenangan Pengadilan Agama Banjarnegara
ataukah Pengadilan Agama Purbalingga, didasarkan kepada wilayah hukum mana
Tergugat bertempat tinggal. Dalam bahasa Belanda kewenangan relatif ini disebut
dengan “distributie van rechtsmacht” . Atas dasar ini maka berlakulah
asas “actor sequitur forum rei”.[2]
Berdasarkan ketentuan pasal 4 Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 yang diperbaharui dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006, menyatakan bahwa wilayah hukum Pengadilan Agama adalah
meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, sedangkan untuk Pengadilan Tinggi
Agama wilayah hukumnya meliputi wilayah Propinsi.
Namun demikian ada penyimpangan
dari asas tersebut di atas, yaitu khusus perkara gugat cerai bagi yang beragama
Islam, maka gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama di mana Penggugat
bertempat tinggal. Hal ini adalah hukum acara khusus yang diatur dalam Pasal 73
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sehingga berlaku asas “lex specialis
derogat legi generalis” artinya aturan yang khusus dapat mengalahkan aturan
yang umum.
2. Kewenangan
mutlak
Kewenangan mutlak atau kompensasi absolut
adalah wewenang badan peradilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang
mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lain. Kewenangan mutlak ini
untuk menjawab pertanyaan, apakah perkara tertentu, misalnya sengketa ekonomi
syari’ah, menjadi kewenangan Pengadilan Negeri ataukah Pengadilan Agama. Dalam
bahasa Belanda kewenangan mutlak disebut “atribute van rechtsmacht” atau atribut kekuasaan kehakiman.
Setelah reformasi bergulir dan dilakukan
amandemen Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 24 yang mengukuhkan Badan
Peradilan Agama masuk dalam dalam sistem hukum nasional, maka politik hukum
Indonesia mulai merespon kepentingan dan kebutuhan hukum umat Islam dalam
menjalankan syariatnya., kemudian lahirlah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.
Perubahan yang terpenting dalam Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 adalah sebagimana telah diuraikan di atas.
Kegiatan-kegiatan usaha ekonomi syari’ah
sebagaiman tersebut di atas, pada dasarnya lahir karena adanya akad atau
perjanjian yang didasarkan kepada prinsip syari’ah. Sedangkan makna prinsip
syari’ah adalah sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Dalam kaitannya menyelesaikan sengketa
ekonomi syari’ah, Pengadilan Agama berwenang pula mengadili tentang tuntutan
ganti rugi (ta’wid, .daman) baik yang
disebabkan oleh adanya wanprestasi ataupun karena adanya perbuatan melawan
hukum. Acuan untuk mengadili ganti rugi
ini adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 19 jo Peraturan Bank
Indonesia Nomor7/46/PBI/2005 dan Fatwa DSN Nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004. Dalam
Pasal 19 Peraturan Bank Indonesia tersebut ditentukan hal-hal sebagai berikut:
a.
Pada dasarnya pihak bank dapat mengenakan ganti kerugian (ta’wid) hanya
atas kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas kepada
nasabah yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang
menyimpang dari ketentuan akad dan mengakibatkan kerugian pada pihak bank.
b.
Besarnya ganti rugi yang dapat diakui sebagai pendapatan
bank adalah sesuai dengan nilai kerugian riil yang berkaitan dengan upaya bank
untuk memperoleh pembayaran dari nasabah dan bukan kerugian yang diperkirakan
akan terjadi karena adanya peluang yang hilang.;
c.
Ganti rugi hanya boleh dikenakan pada akad ijarah dan
akad yang menimbulkan utang-piutang seperti: salam, istishna’, serta murabahah
yang pembayarannya tidak dilakukan secara tunai;
d.
Ganti rugi dalam akad mudharabah dan musyarakah, hanya
boleh dikenakan bank sebagai shahibul mal apabila bagian keuntungan bank yang sudah
jelas tidak dibayarkan oleh nasabah sebagai mudharib;
e.
Mengenai ganti rugi atas sesuatu kerugian harus
ditetapkan secara jelas dalam klausula akad yang dipahami secara jelas pula
oleh nasabah;
f.
Besarnya
ganti rugi atas suatu kerugian riil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara
bank dan nasabah.
No comments:
Post a Comment