Kondisi
keuangan perusahaan adalah suatu tampilan secara utuh atas
keuangan
perusahaan selama periode atau kurun waktu tertentu. Media yang dapat
dipakai
untuk menilai kondisi keuangan perusahaan adalah laporan keuangan
yang
terdiri atas neraca, perhitungan laba rugi, ikhtisar laba yang ditahan, dan
laporan
posisi keuangan. Kondisi keuangan perusahaan menggambarkan
kesehatan
perusahaan sesungguhnya (Ramadhany, 2004). Menurut Mc Keown
(1991)
semakin memburuk atau terganggunya kondisi keuangan suatu perusahaan
maka
semakin besar kemungkinan perusahaan menerima opini audit going
concern.
Sebaliknya perusahaan yang tidak pernah mengalami kesulitan
keuangan,
auditor tidak pernah memberikan opini audit going concern.
Penelitian
mengenai kebangkrutan perusahaan diawali dari analisis rasio
keuangan,
karena laporan keuangan lazimnya memiliki informasi-informasi
penting
mengenai kondisi dan prospek perusahaan dimasa yang akan datang
(Freser
dalam Fanny dan Saputra, 2005). Beaver (1996) dalam Fanny dan Saputra
(2005)
telah melakukan studi tentang kerentanan perusahaan terhadap kegagalan,
lima
tahun sebelum perusahaan dinyatakan mengalami kesulitan keuangan.
Altman
(1968) dalam Fanny dan Saputra (2005) juga telah melakukan studi
serupa
untuk menemukan suatu model prediksi kebangkrutan dalam beberapa
periode
sebelum kebangkrutan benar-benar terjadi.
Altman
dan McGough (1974) menemukan bahwa prediksi dengan tingkat
kebangkrutan
dengan menggunakan suatu modal prediksi mencapai tingkat
keakuratan
82% dan menyarankan penggunaan model prediksi kebangkrutan
22
sebagai
alat bantu auditor untuk memutuskan kemampuan perusahaan
mempertahankan
kelangsungan hidupnya. Fanny dan Saputra (2005) menemukan
bahwa
penggunaan model prediksi kebangkrutan yang dikembangkan oleh
Altman
mempengaruhi ketetapan pemberian opini audit. Penelitian yang
dilakukan
oleh Setyarno dkk (2007) juga berhasil membuktikan bahwa model
prediksi
kebangkrutan Altman berpengaruh terhadap penerimaan opini audit
going
concern. Hal ini menunjukan bahwa perusahaan yang terancam bangkrut
berpeluang
mendapatkan opini audit going concern dari auditor.
Mutchler
(1985) yang dikutip oleh santosa (2007) mengungkapkan beberapa
karakteristik
dari suatu perusahaan bermasalah, antara lain perusahaan memiliki
modal
total negatif, arus kas negatif, pendapat operasi negatif, modal kerja
negatif,
kerugian pada tahun berjalan dan defisit saldo laba tahun berjalan.
Carcello
dan Neal (2000) dalam Setyarno dkk (2007) menyatakan bahwa semakin
buruk
kondisi keuangan perusahaan maka semakin besar probabilitas perusahaan
menerima
opini going concern. Dengan menggunakan model prediksi Z Score
Altman,
hasil penelitian Ramadhany (2004) selaras dengan penelitian Fanny dan
Saputra
(2007) menemukan bahwa penggunaan model prediksi kebangkrutan
yang
dikembangkan oleh Altman mempengaruhi ketepatan pemberian opini audit.
Penelitian
yang dilakukan Setyarno dkk (2007) juga membuktikan bahwa model
prediksi
kebangkrutan Altman berpengaruh terhadap penerimaan opini audit
going
concern.
Sampai
dengan saat ini, Z Score model ini masih lebih banyak digunakan
oleh
para peneliti, praktisi, serta para akademis di bidang akuntansi dibandingkan
23
model
prediksi kebangkrutan lainnya Altman (dalam Fanny dan Saputra, 2005).
Hasil
penelitian yang dikembangkan Altman, yaitu:
Keterangan:
Z=
1.2 + 1.4 + 3.3 + 0.6 + 0.999
Z1 =
working capital/total asset
Z2 =
retained earnings/total asset
Z3 =
earnings before interest and taxes/total asset
Z4 =
market capitalization/book value of debt
Z5 =
sales/total asset
Model
yang telah dikembangkan oleh Altman ini mengalami suatu revisi.
Revisi
yang dilakukan oleh Altman merupakan penyesuaian yang dilakukan agar
model
prediksi kebangkrutan ini tidak hanya untuk perusahaan-perusahaan
manufaktur
yang go public melainkan juga dapat diaplikasikan untuk
perusahaanperusahaan
di
sektor swasta.
Keterangan:
Z1= working
capital/ total assets
Z2= retained
earnings/ total assets
Z3= earnings
before interest and taxes/ total assets
Z4= book
value of equity / book value of debt
Z5= sales/
total assets
Z
score yang dikembangkan Altman ini dapat digunakan untuk menentukan
kecenderungan
kebangkrutan dan juga dapat digunakan sebagai ukuran dari
Z=
1.2 Z1 + 1.4 Z2 + 3.3 Z3 +
0.6Z4 + 0.999Z5
Z’ =
0.717 Z1 + 0.847 Z2 + 3.107 Z3 +
0.420 Z4 + 0.998 Z5
24
keseluruhan
kinerja keuangan perusahaan. Z score ini menjadi menarik
dikarenakan
keandalanya sebagai alat analisi tanpa memperhatikan bagaimana
ukuran
perusahaan. Meskipun bila sebuah perusahaan sangat makmur, namun jika
Z
score mulai turun dengan tajam, maka mengindikasikan adanya bahaya
kebangkrutan.
Atau, bila perusahaan baru saja survive, Z score bisa digunakan
sebagai
alat bantu dalam melihat dampak yang telah diperhitungkan dari
perubahan
upaya-upaya manajemen perusahaan.
Definisi
dari kelima rasio yang dikembangkan Altman tersebut adalah
sebagai
berikut :
1.
Z1 = Net Working Capital to Total Assets
Rasio
ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk
menghasilkan
modal kerja bersih dari keseluruhan total aktiva yang
dimilikinya.
Rasio ini dihitung dengan membagi modal kerja bersih
dengan
total aktiva. Modal kerja bersih diperoleh dengan cara aktiva
lancar
dikurangi dengan kewajiban lancar. Modal kerja bersih yang
negatif
kemungkinan besar akan menghadapi masalah dalam menutupi
kewajiban
jangka pendeknya karena tidak tersedianya aktiva lancar
yang
cukup untuk menutupi kewajiban tersebut. Sebaliknya, perusahaan
dengan
modal kerja bersih yang bernilai positif jarang sekali
menghadapi
kesulitan dalam melunasi kewajibannya.
2.
Z2 = Retained Earnings to Total Assets
Rasio
ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk
menghasilkan
laba ditahan dari total aktiva perusahaan. Laba ditahan
25
merupakan
laba yang tidak dibagikan kepada para pemegang saham.
Dengan
kata lain, laba ditahan menunjukkan berapa banyak pendapatan
perusahaan
yang tidak dibayarkan dalam bentuk dividen kepada para
pemegang
saham. Laba ditahan menunjukkan klaim terhadap aktiva,
bukan
aktiva per ekuitas pemegang saham. Laba ditahan terjadi karena
pemegang
saham biasa mengizinkan perusahaan untuk
menginvestasikan
kembali laba yang tidak didistribusikan sebagai
dividen.
Dengan demikian, laba ditahan yang dilaporkan dalam neraca
bukan
merupakan kas dan “tidak tersedia” untuk pembayaran dividen
atau
yang lain.
3.
Z3 = Earning Before Interest and Tax to Total Assets
Rasio
ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk
menghasilkan
laba dari aktiva perusahaan, sebelum pembayaran bunga
dan
pajak.
4. Z4 =
Market Value of Equity to Book Value of Debt
Rasio
ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi
kewajiban-kewajiban
dari nilai pasar modal sendiri (saham biasa). Nilai
pasar
ekuitas sendiri diperoleh dengan mengalikan jumlah lembar
saham
biasa yang beredar dengan harga pasar per lembar saham biasa.
Nilai
buku hutang diperoleh dengan menjumlahkan kewajiban lancar
dengan
kewajiban jangka panjang.
26
5.
Z5 = Sales to Total Assets
Rasio
ini menunjukkan apakah perusahaan menghasilkan volume
bisnis
yang cukup dibandingkan investasi dalam total aktivanya. Rasio
ini
mencerminkan efisiensi manajemen dalam menggunakan
keseluruhan
aktiva perusahaan untuk menghasilkan penjualan dan
mendapatkan
laba.
Penelitian
yang dilakukan Altman untuk perusahaan yang bangkrut
dan
tidak bangkrut menunjukkan nilai tertentu. Kriteria yang digunakan
untuk
memprediksi kebangkrutan perusahaan dengan model
diskriminan
adalah dengan melihat zone of ignorance yaitu daerah nilai
Z,
dimana dikategorikan sebagai berikut:
Tabel
2.1
Berdasarkan
analisis diatas apabila Z dari perusahaan yang diteliti lebih
besar
dari > 2,99 maka perusahaan tersebut dikategorikan tidak mempunyai
masalah
dengan kebangkrutan (non bankrupt company) dan jika lebih kecil dari
Kriteria
titik cut off
Model
Z Score Kriteria
Nilai
Z
Tidak
bangkrut/ sehat jika
Z
lebih dari (>)
2,99
Bangkrut
jika Z kurang
dari
(<)
1,81
Daerah
rawan bangkrut
(grey
area)
1,81-2,99
27
1,80
maka perusahaan tersebut berisiko tinggi terhadap kebangkrutan. Sedangkan
bila
nilai Z berada diantara 1,81 sampai dengan 2,99 perusahaan tersebut
dikatakan
masih memiliki resiko kebangkrutan.
No comments:
Post a Comment