Tuesday, July 16, 2013

Obyek Hak Tanggungan

Obyek hak tanggungan adalah sesuatu yang dapat dibebani dengan hak tanggungan. Untuk dapat dibebani hak jaminan atas tanah, maka obyek hak tanggungan harus memenuhi empat (4) syarat, yaitu:
1) Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang. Maksudnya adalah jika debitor cidera janji maka obyek hak tanggungan itu dapat dijual dengan cara lelang;
2) Mempunyai sifat dapat dipindahkan, karena apabila debitor cidera janji, maka benda yang dijadikan jaminan akan dijual. Sehingga apabila diperlukan dapat segera direalisasikan untuk membayar utang yang dijamin pelunasannya;
3) Termasuk hak yang didaftar menurut peraturan pendaftaran tanah yang berlaku, karena harus dipenuhi "syarat publisitas". Maksudnya adalah adanya kewajiban untuk mendaftarkan obyek hak tanggungan dalam daftar umum, dalam hal ini adalah Kantor Pertanahan. Unsur ini berkaitan dengan kedudukan diutamakan atau preferen yang diberikan kepada kreditor pemegang hak tanggungan terhadap kreditor lainnya. Untuk itu harus ada catatan mengenai hak tanggungan tersebut pada buku tanah dan sertipikat hak atas tanah yang dibebaninya, sehingga setiap orang dapat mengetahuinya;
4) Memerlukan penunjukkan khusus oleh undang-undang. 

Menurut ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Hak Tanggungan disebutkan bahwa yang dapat dibebani dengan hak tanggungan adalah : 
1. Hak Milik (Pasal 25 UUPA);
2. Hak Guna Usaha (Pasal 33 UUPA);
3. Hak Guna Bangunan (Pasal 39 UUPA);
4. Hak Pakai Atas Tanah Negara (Pasal 4 ayat (D), yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Maksud dari hak pakai atas tanah Negara di atas adalah Hak Pakai yang diberikan oleh Negara kepada orang perseorangan dan badan-badan hukum perdata dengan jangka waktu terbatas, untuk keperluan pribadi atau usaha. Sedangkan Hak Pakai yang diberikan kepada Instansiinstansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan-badan Keagamaan dan Sosial serta Perwakilan Negara Asing yang peruntukkannya tertentu dan telah didaftar bukan merupakan hak pakai yang dapat dibebani dengan hak tanggungan karena sifatnya tidak dapat dipindahtangankan. Selain itu, Hak Pakai yang diberikan oleh pemilik tanah juga bukan merupakan obyek hak tanggungan;
5. Bangunan Rumah Susun dan Hak Milik Atas satuan Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara. (Pasal 27 jo UU No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun.

Sebagaimana dikemukakan di atas, pada dasarnya hak atas tanah yang dapat menjadi objek Hak Tanggungan haruslah hak atas tanah (tanah) menurut Undang-Undang Pokok Agraria yang (sudah) terdaftar dan sifatnya dapat dipindahtangankan. Namun persyaratan tersebut dapat dikecualikan, di mana hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama dan belum didaftar dimungkinkan dijadikan sebagai jaminan pelunasan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (3) UUHT,
dimungkinkan pemberian Hak Tanggungan terhadap hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang sudah memenuhi persyaratan untuk didaftarkan, tetapi belum selesai didaftarkan. Jadi, tanah-tanah hak adat yang sudah dikonversi menjadi hak atas tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria, sementara proses administrasinya belum selesai dilaksanakan, dapat dimungkinkan dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.

Menurut Penjelasan atas Pasal 10 ayat (3) UUHT dinyatakan antara lain, bahwa kemungkinan untuk pemberian Hak Tanggungan pada hak atas tanah milik adat dimaksudkan untuk: 
1) memberi kesempatan kepada pemegang hak atas tanah yang belum bersertifikat untuk memperoleh kredit, karena tanah dengan hak milik adat pada waktu ini masih banyak; 
2) mendorong pensertifikatan hak atas tanah pada umumnya, mengingat tanah yang belum bersertifikat pada waktu ini masih banyak.

Adanya ketentuan Pasal 10 ayat (3) UUHT, berarti penggunaan tanah-tanah hak adat yang belum bersertifikat dan bukti kepemilikannya berupa girik, petuk, dan lain-lain yang sejenis masih dimungkinkan sebagai agunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Dalam Penjelasan atas Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dikemukakan: tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adat, yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk. dan lain-lain yang sejenis dapat digunakan sebagai agunan. Berlakunya UUHT, maka kemungkinan untuk menjadikan tanahtanah hak adat sebagai agunan hanya tinggal sejarah hukum saja, hal ini menurut Penjelasannya dikarenakan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 10 ayat (3) UUHT tersebut, menunjukkan bagaimana caranya untuk meningkatkan pemberian agunan tersebut menjadi Hak Tanggungan.

UUHT bukan saja bermaksud untuk memperlancar arus perkreditan, yang berarti juga menunjang misi perbankan, akan tetapi juga lebih menekankan aspek kepastian hukum, yaitu keharusan untuk didaftar dan dengan sendiri juga mempunyai pengaruh untuk lebih mendorong kegiatan pendaftaran tanah di Indonesia 

No comments:

Post a Comment