Pengertian perjanjian kredit yang dimaksud disini merupakan perjanjian kredit yang berlaku dalam dunia perbankan yaitu antara nasabah (debitur) disatu pihak dan bank (kreditur) dipihak lain. Dari berbagai jenis perjanjian yang diatur dalam bab V sampai dengan bab XVIII buku III KUH Perdata tidak terdapat ketentuanketentuan tentang Perjanjian Kredit. Bahkan dalam undang-undang perbankan tahun 1998 sendiri tidak mengenal istilah Perjanjian Kredit Bank.
Menurut Muhamad Djumhana, bahwa perjanjian kredit pada hakikatnya adalah perjanjian pinjam meminjam sebagaimana yang diatur di dalam KUHPerdata Pasal 1754.12 Pasal 1754 KUHPerdata menyebutkan bahwa:
“Pinjam-meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memebrikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak-pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.
Berbeda halnya dengan Mariam Darus Badrulzaman yang berpendapat bahwa perjanjian kredit bank adalah “Perjanjian Pendahuluan” dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman menganei hubungan-hubungan hukum antara keduanya. Perjanjian ini bersifat konsesuil abligatair, yang dikuasai oleh Undang-undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 dan bagian umum KUHPerdata13:
“Penyerahan uangnya” sendiri adalah bersifat riil. Pada saat penyerahan uang dilakukan, barulah berlaku ketentuan yang dituangkan dalam model perjanjian kredit pada kedua belah pihak. Dengan demikian jelaslah kiranya untuk emngetahui sifat perjanjian kredit bank tidak cukup hanya melihat KUHPerdata dan Undang-undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 saja, tetapi juga harus emperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku atau dipakai dalam praktek perbankan.
Sedangkan bentuk perjanjian kredit, pengaturannya dapat ditemukan dalam penjelasan Pasal 8 ayat (2) huruf a Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 yang berbunyi: “Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis”.
Menurut Muhamad Djumhana, bahwa perjanjian kredit pada hakikatnya adalah perjanjian pinjam meminjam sebagaimana yang diatur di dalam KUHPerdata Pasal 1754.12 Pasal 1754 KUHPerdata menyebutkan bahwa:
“Pinjam-meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memebrikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak-pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.
Berbeda halnya dengan Mariam Darus Badrulzaman yang berpendapat bahwa perjanjian kredit bank adalah “Perjanjian Pendahuluan” dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman menganei hubungan-hubungan hukum antara keduanya. Perjanjian ini bersifat konsesuil abligatair, yang dikuasai oleh Undang-undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 dan bagian umum KUHPerdata13:
“Penyerahan uangnya” sendiri adalah bersifat riil. Pada saat penyerahan uang dilakukan, barulah berlaku ketentuan yang dituangkan dalam model perjanjian kredit pada kedua belah pihak. Dengan demikian jelaslah kiranya untuk emngetahui sifat perjanjian kredit bank tidak cukup hanya melihat KUHPerdata dan Undang-undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 saja, tetapi juga harus emperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku atau dipakai dalam praktek perbankan.
Sedangkan bentuk perjanjian kredit, pengaturannya dapat ditemukan dalam penjelasan Pasal 8 ayat (2) huruf a Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 yang berbunyi: “Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis”.
No comments:
Post a Comment