Friday, September 12, 2014

Konsep dan Pengertian Shared Knowledge



Sebelum masuk ke pembahasan, ada baiknya Anda jawab pertanyaan berikut ini. Pernahkah Anda mendengarkan orang lain bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia dan Anda tidak mengerti apa yang mereka bicarakan? Dalam situasi ini, bisakah Anda ‘nimbrung’ ikut-ikutan terlibat dalam percakapan tersebut? Nah, kedua orang yang bercakap tadi sedang berkomunikasi, sedang meciptakan teks dan teks yang mereka ciptakan adalah rekaman dari konteks yang mereka ketahui. Dengan bermodalkan bahasa yang sama, pengetahuan tentang konteks yang sama mereka berhasil berwacana. Mengapa Anda tidak bisa ‘nimbrung’? Karena Anda hanya tahu bahasa mereka tanpa mengetahui konteks yang melingkupi pikiran mereka yang direalisasikan dalam bahasa. Seandainya saja Anda nekat dan memaksa memberi komentar tentang apa yang mereka bicarakan bisa jadi ujaran Anda tidak ‘nyambung’ sehingga jika percakapan itu direkam dan dianalisis, ujaran Anda akan terlihat seperti ‘barang aneh’ yang ‘nyelonong’ tidak harmonis.
Contoh di atas, yang menggambarkan bahwa orang tidak dapat begitu saja berpartisipasi dalam pembicaraan orang lain, menunjukkan betapa pentingnya memahami konteks dan sekaligus menunjukkan bahwa bahasa adalah rekaman dari konteks. Pada saat yang sama bahasa atau teks yang kita ciptakan juga membentuk konteks sehingga bagian-bagian teks yang tergelar (unfold) harus dimaknai berdasarkan teks yang muncul sebelumnya. Jika ini yang terjadi maka teks yang kita ciptakan bukan hanya merupakan sekumpulan kata yang dihasilkan manusia melainkan juga disebut wacana.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa untuk mampu berwacana diperlukan konteks dan konteks ini adalah pengetahuan yang dimiliki bersama oleh pihak-pihak yang berkomunikasi atau yang lazim disebut shared knowledge. Jika kita berkomunikasi dalam bahasa kita, yang kita perlukan adalah shared knowldge dan biasanya sebelum kita ‘masuk’ ke tujuan komunikasi utama, kita membuat semacam pengantar untuk menjajagi apakan lawan bicara siap untuk memasuki topik utama. Begitu kita tahu bahwa informasi yang akan mendukung pembicaraan dimiliki bersama maka kita siap memasuki tahap komunikasi transaksional apapun. Bagaimana dengan komunikasi dalam bahasa asing?
Untuk berkomunikasi dalam bahasa asing dengan orang asing kita terpaksa bekerja lebih keras karena perbedaan budaya menyebabkan apa yang kita ketahui bukan jaminan akan diketahui orang asing. Untuk memastikan adanya shared knowledge kita perlu proses yang lebih panjang yang ada kalanya diwarnai dengan ketidakfahaman.
Dalam proses pengajaran bahasa siswa juga perlu memiliki pengetahuan tentang apa yang akan dilakukan guru. Maka tahap penting yang tidak boleh dilewatkan oleh guru adalah tahap building knowledge of the field atau membangun konteks seperti pengenalan kosa kata, pola kalimat dan sebagainya. Mengapa demikian? Proses pengajaran adalah proses komunikasi juga sebagaimana yang terjadi dalam peristiwa komunikasi lainnya. Oleh karenanya berkomunikasi atau membangun wacana tidak dimungkinkan tanpa adanya shared knowledge. Bagi orang yang berasal dari budaya yang sama shared knowledge ini menjadi asumsi-asumsi atau konvensi tidak tertulis tetapi diketahui oleh umum; bagi pelajar bahasa asing semua asumsi dan konvensi ini harus dipelajari.

Di dalam kelas, guru dan siswa membentuk satu komunitas juga. Untuk membangun sebuah kompetensi komunikatif tertentu (yang ada di standar kompetensi) diperlukan pengetahuan tentang kosa kata, idiom-idiom, dan pengatahuan lainnya. Pelajaran tidak mungkin berjalan dengan lancar sesuai harapan jika guru ‘melompat’ langsung menuju ke tahap yang lebih tinggi dengan jalan pintas. Misalnya untuk membuat siswa bercakap-cakap, mereka langsung diminta menghafalkan conversations, dan setelah itu diuji untuk dilihat apakah siswa sudah bisa mendemonstrasikannya dengan baik. Jika ini yang terjadi, barangkali siswa yang pandai menghafal akan mendapat nilai tinggi sementara siswa yang sebenarnya lebih mampu berkomunikasi secara alamiah justru mendapat nilai kurang karena mereka bukan tipe penghafal. Menghafal bukan kegiatan yang salah, tetapi tujuan pengajaran adalah mengembangan kompetensi berkomunikasi dalam konteks yang ada. Menghafalkan frasa-frasa atau ungkapan-ungkapan yang merupakan ungkapan rutin sehari-hari atau fixed expressions sangat dianjurkan bukan hanya bagi siswa, tetapi juga bagi guru. Ungkapan-ungkapan inilah yang nantinya digunakan dalam komunikasi nyata sesuai konteksnya. Kemampuan menggunakan ungkapan-ungkapan yang benar sesuai konteks inilah yang menjadi indikator berkembangnya kompetensi.

No comments:

Post a Comment