Wednesday, May 18, 2016

FAKTOR–FAKTOR YANG MEMPENGARUHI VOLUNTARY AUDITOR SWITCHING

BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang 
Pihak manajemen berkepentingan untuk menyajikan laporan keuangan sebagai suatu gambaran prestasi kerja mereka. Laporan ini berpotensi dipengaruhi kepentingan pribadi, sementara pihak ketiga, yaitu pihak ekstern selaku pemakai laporan keuangan sangat berkepentingan untuk mendapatkan laporan keuangan yang dapat dipercaya. Di sinilah peran akuntan publik sebagai pihak yang independen untuk menengahi kedua pihak (agent dan principal) dengan kepentingan berbeda tersebut, yaitu untuk memberikan penilaian dan pernyataan pendapat (opini) terhadap kewajaran laporan keuangan yang disajikan (Lee, 1993 dalam Damayanti dan Sudarma, 2008).
Independensi dan kompetensi merupakan dasar bagi profesi auditor untuk memberikan penilaian dan pernyataan opini terhadap kewajaran laporan keuangan. Porter et al. (2003) dalam Nasser et al. (2006) menyatakan bahwa pada umumnya, independensi dapat dibagi menjadi dua yaitu independence in fact dan independence in appearance. Independence in fact berarti auditor berlaku jujur dalam melihat fakta – fakta yang ada dan tidak memihak pihak manapun dalam menyatakan pendapat. Independence in appearance berarti auditor harus memberikan kesan pada orang lain bahwa auditor bekerja secara independen dalam mengaudit laporan keuangan perusahaan.
1

Flint (1998) dalam Nasser et al. (2006) menyatakan bahwa independensi auditor akan hilang jika auditor mempunyai hubungan pribadi dengan kliennya karena dapat mempengaruhi sikap mental dan opini mereka. Salah satu ancaman yang dapat menghilangkan independensi auditor adalah masa perikatan audit (audit tenure) yang panjang antara auditor dan klien. Masa perikatan audit yang terlalu panjang dapat menyebabkan “hubungan nyaman” serta kesetiaan yang kuat atau hubungan emosi antara auditor dan klien sehingga indepensi auditor bisa terancam.
Guide to Professional Ethics Statement (GPES) 1.201 (paragraf 2,5) dari Institute of Charted Accountants in England and Wales (ICAEW) (2001) dalam Nasser et al. (2006) mengakui bahwa masalah ini mungkin dianggap sebagai ancaman terhadap independensi auditor dan merekomendasikan auditor untuk menghindari situasi yang dapat menyebabkan mereka untuk menjadi terlalu dipengaruhi atau terlalu percaya kepada direksi klien dan personel kunci yang mengakibatkan staf audit terlalu bersimpati terhadap kepentingan klien. Hubungan antara auditor dan kliennya dapat menjadi dekat dapat dipengaruhi oleh seberapa lama mereka di kantor (Dunn, 1996 dalam Nasser et al., 2006). Dalam hal lain, profesi auditor tidak keberatan untuk melayani klien mereka dalam waktu yang panjang, tetapi tampaknya ada keberatan atas kekhawatiran bahwa lama pelayanan dapat menyebabkan “hubungan nyaman” yang mungkin mengancam independensi auditor.
Oleh karena itu, untuk menjaga obyektivitas dan independensi auditor, sebaiknya dilakukan auditor switching. American Institute of Certified Public Accounting (AICPA), (1978a); AICPA (1978b) dalam Nasser et al. (2006) menganjurkan adanya rotasi wajib auditor karena dapat meningkatkan kemampuan auditor dalam melindungi publik melalui peningkatan kewaspadaan untuk setiap kemungkinan ketidaklayakan, peningkatan kualitas pelayanan dan mencegah hubungan lebih dekat dengan klien (Mautz, 1974; Winters, 1976; Hoyle, 1978; Brody dan Moscove, 1998 dalam Nasser et al., 2006). 
Akan tetapi, ada pendapat yang menentang adanya rotasi wajib auditor. AICPA (1992) dalam Nasser et al., (2006) menyatakan bahwa adanya rotasi wajib auditor dianggap akan meningkatkan fee audit karena selalu diperlukan biaya yang tinggi untuk auditor pada awal masa kerjanya untuk memahami lingkungan bisnis klien. Namun demikian, terdapat kesulitan untuk meneliti apakah fee audit berpengaruh terhadap adanya penggantian auditor karena perusahaan di Indonesia jarang mengungkapkan jumlah fee audit dalam laporan keuangan. Hal tersebut dikarenakan di Indonesia, fee audit bersifat rahasia di mana hanya perusahaan dan auditor yang mengetahuinya (Lestari, 2012).
Di Indonesia sendiri auditor switching telah diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 359/KMK.06/2003 pasal 2. Peraturan ini mengatur bahwa pemberian jasa audit umum oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) atas laporan keuangan dari suatu entitas dapat dilakukan paling lama lima tahun berturut-turut dan pemberian jasa audit umum oleh seorang akuntan publik paling lama tiga tahun berturut-turut.
Kemudian peraturan tersebut diperbarui dengan Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 17/PMK.01/2008 Pasal 3. Perubahan dalam peraturan ini yaitu lamanya pemberian jasa audit umum dapat dilakukan oleh KAP yang menjadi enam tahun buku berturut – turut dan oleh seorang akuntan publik tiga tahun berturut-turut (Pasal 3 ayat 1). Kemudian KAP dan akuntan publik dapat mengaudit kembali laporan keuangan perusahaan klien setelah satu tahun buku tidak memberikan jasa audit atas laporan keuangan klien yang sama (Pasal 3 ayat 2 dan 3).
Adanya peraturan yang mengatur mengenai auditor switching tersebut menyebabkan terdapat batasan lamanya masa perikatan audit sehingga akan terjadi auditor switching secara mandatory. Selain auditor switching secara mandatory, auditor switching juga dapat terjadi secara voluntary. Auditor switching secara sukarela dilakukan apabila klien mengganti auditornya ketika tidak ada peraturan yang mewajibkannya melakukan auditor switching (Susan dan Trisnawati, 2011). Auditor switching secara voluntary ini menimbulkan pertanyaan mengenai faktor apa yang menyebabkan perusahaan melakukan penggantian auditor sebelum batas waktu yang telah ditetapkan oleh peraturan. 
Faktor pertama yang kemungkinan mempengaruhi perusahaan mengganti auditornya adalah ukuran KAP. Timbul dan berkembangnya profesi akuntan publik sangat dipengaruhi oleh perkembangan perusahaan pada umumnya. Semakin banyak perusahaan publik, semakin banyak pula jasa akuntan publik yang dibutuhkan. Oleh karena itu, KAP saling bersaing untuk mendapatkan klien
(perusahaan) dengan berusaha memberikan jasa audit sebaik mungkin (Divianto, 2011). KAP dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu KAP besar adalah KAP yang tergabung dalam big 4 sedangkan KAP yang kecil adalah KAP yang tidak tergabung dalam big 4. Perusahaan akan mencari KAP yang kredibilitasnya tinggi untuk meningkatkan kredibilitas laporan keuangan di mata pemakai laporan keuangan itu (Halim 1997, dalam Damayanti dan Sudarma, 2008).
 Klien yang diaudit oleh KAP yang tergabung dalam big 4 cenderung akan mempertahankan auditornya untuk menjaga kualitas audit. KAP yang lebih besar umumnya dianggap sebagai penyedia kualitas audit yang tinggi dan mempertahankan reputasi tinggi dalam lingkungan bisnis. Oleh karena itu, KAP besar akan berusaha untuk mempertahankan independensi mereka untuk menjaga reputasi mereka (DeAngelo, 1981; Dopuch, 1984; Wilson dan Grimlund, 1990 dalam Nasser et al., 2006).
Faktor kedua adalah ukuran klien. Perusahaan yang besar cenderung akan mempertahankan seorang auditor untuk mengurangi biaya agensi. Perusahaan yang besar melakukan aktivitas yang kompleks dan membutuhkan pemisahan antara manajemen dan pemilik yang jelas sehingga jika terlalu sering mengganti auditor akan menimbulkan biaya agensi yang cukup besar (Watts dan Zimmerman,1986 dalam Nasser et al., 2006).  
Faktor ketiga adalah pertumbuhan perusahaan. Pertumbuhan perusahaan ini dilihat dari seberapa baik perusahaan dapat mempertahankan kondisi perekonomiannya dalam suatu industri (Weston dan Copeland, 1992 dalam Nabila, 2011). Ketika bisnis sedang tumbuh, dibutuhkan audit dengan kualitas dan independensi yang tinggi untuk mengurangi biaya agensi (Nasser et al., 2006). Oleh karena itu, perusahaan yang sedang tumbuh cenderung mempertahankan auditornya untuk menjaga kualitas audit.
Faktor keempat adalah financial distress. Perusahaan yang sedang mengalami financial distress dimana kondisi keuangan perusahaan tersebut sedang tidak sehat cenderung akan mengganti auditornya ke auditor yang lebih berkualitas. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan dari pemegang saham serta untuk mengurangi rasio litigasi (Francis & Wilson, 1988).
Faktor kelima yang dapat mempengaruhi penggatian auditor adalah opini audit. Jika auditor tidak dapat memberikan opini wajar tanpa pengecualian (tidak sesuai dengan harapan perusahaan), perusahaan akan berpindah KAP yang mungkin dapat memberikan opini sesuai dengan yang diharapkan perusahaan (Tandirerung, 2006 dalam Damayanti dan Sudarma, 2008). Manajer dapat menekan auditor untuk memberikan clean opinion dengan mengancam untuk berpindah auditor jika auditor tidak memberikan opini yang sesuai keinginan manajer. Manajer berusaha mendapatkan clean opinion karena opini audit dianggap dapat mempengaruhi harga saham perusahaan dan kompensasi manajer (Chow dan Rice, 1982).
Beberapa penelitian mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi auditor switching menunjukkan hasil yang berbeda. Kecenderungan untuk berganti auditor telah ditemukan dipengaruhi secara signifikan oleh opini audit (Lubis, 2000; Hudaibe dan Cooke, 2005; Sheng dan Wang, 2006), ukuran klien (Sinason et al., 2001; Mardiyah, 2002; Nasser et al., 2006), pertumbuhan klien (Sinason et al., 2001; Mardiyah, 2002), pergantian manajemen (Hudaibe dan Cook, 2005;
Sinarwati 2010), ukuran KAP (Nasser et al., 2006; Damayanti dan Sudarma, 2008), dan financial distress (Hudaibe dan Cooke, 2005; Nasser et al., 2006; Sinarwati, 2010).
Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Nasser et al., (2006). Variabel yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan variabel – variabel yang digunakan oleh Nassert et al. (2006) yaitu ukuran KAP, ukuran klien, tingkat pertumbuhan perusahaan, dan financial distress. Akan tetapi, peneliti tidak menggunakan variabel audit tenure yang digunakan dalam penelitian Nasser et al. (2006) karena dalam penelitian ini peneliti menguji variabel dependen voluntary auditor switching yang berarti tidak mempertimbangkan tenure sebagai alasan perusahaan melakukan voluntary auditor switching. Audit tenure tidak dipertimbangkan sebagai alasan melakukan voluntary auditor switching karena terdapat aturan yang membatasinya sehingga jika lamanya audit tenure telah mencapai batas maksimal yang ditetapkan peraturan maka perusahaan secara otomatis akan melakukan auditor switching secara mandatory. Selain itu, peneliti menambah variabel yang menjadi keterbatasan dalam penelitian Nasser et al. (2006) yaitu opini audit. Variabel opini audit dipilih karena opini audit dianggap penting sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi voluntary auditor switching. Auditor yang tidak memberikan pendapat sesuai harapan manajer perusahaan kemungkinan dapat menyebabkan perusahaan melakukan penggantian auditor (Tandirerung, 2006 dalam Damayanti dan Sudarma, 2008).

Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan maufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dari tahun 2009-2011. Peneliti menggunakan perusahaan yang terdaftar di BEI karena perusahaan tersebut telah go public sehingga laporan keuangannya dapat diakses oleh pihak eksternal. Peneliti menggunakan periode penelitian 2009-2011 dengan alasan untuk mendapatkan gambaran kondisi keuangan perusahaan terkini. 

No comments:

Post a Comment