BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pihak manajemen berkepentingan untuk menyajikan laporan
keuangan sebagai suatu gambaran prestasi kerja mereka. Laporan ini berpotensi
dipengaruhi kepentingan pribadi, sementara pihak ketiga, yaitu pihak ekstern
selaku pemakai laporan keuangan sangat berkepentingan untuk mendapatkan laporan
keuangan yang dapat dipercaya. Di sinilah peran akuntan publik sebagai pihak
yang independen untuk menengahi kedua pihak (agent dan principal)
dengan kepentingan berbeda tersebut, yaitu untuk memberikan penilaian dan
pernyataan pendapat (opini) terhadap kewajaran laporan keuangan yang disajikan
(Lee, 1993 dalam Damayanti dan Sudarma, 2008).
Independensi dan kompetensi merupakan dasar bagi profesi
auditor untuk memberikan penilaian dan pernyataan opini terhadap kewajaran
laporan keuangan. Porter et al.
(2003) dalam Nasser et al. (2006)
menyatakan bahwa pada umumnya,
independensi dapat dibagi menjadi dua yaitu independence
in fact dan independence in
appearance. Independence in fact
berarti auditor berlaku jujur dalam melihat fakta – fakta yang ada dan tidak
memihak pihak manapun dalam menyatakan pendapat. Independence in appearance berarti auditor harus memberikan kesan
pada orang lain bahwa auditor bekerja secara independen dalam mengaudit laporan
keuangan perusahaan.
1
Flint (1998) dalam Nasser et al. (2006) menyatakan bahwa independensi auditor akan hilang
jika auditor mempunyai hubungan pribadi dengan kliennya karena dapat
mempengaruhi sikap mental dan opini mereka. Salah satu ancaman yang dapat
menghilangkan independensi auditor adalah masa perikatan audit (audit tenure) yang panjang antara
auditor dan klien. Masa perikatan audit yang terlalu panjang dapat menyebabkan
“hubungan nyaman” serta kesetiaan yang kuat atau hubungan emosi antara auditor
dan klien sehingga indepensi auditor bisa terancam.
Guide to Professional Ethics Statement (GPES) 1.201
(paragraf 2,5) dari Institute of Charted Accountants in England and Wales
(ICAEW) (2001) dalam Nasser et al.
(2006) mengakui bahwa masalah ini mungkin dianggap sebagai ancaman terhadap
independensi auditor dan merekomendasikan auditor untuk menghindari situasi
yang dapat menyebabkan mereka untuk menjadi terlalu dipengaruhi atau terlalu
percaya kepada direksi klien dan personel kunci yang mengakibatkan staf audit
terlalu bersimpati terhadap kepentingan klien. Hubungan antara auditor dan
kliennya dapat menjadi dekat dapat dipengaruhi oleh seberapa lama mereka di
kantor (Dunn, 1996 dalam Nasser et al.,
2006). Dalam hal lain, profesi auditor tidak keberatan untuk melayani klien
mereka dalam waktu yang panjang, tetapi tampaknya ada keberatan atas
kekhawatiran bahwa lama pelayanan dapat menyebabkan “hubungan nyaman” yang
mungkin mengancam independensi auditor.
Oleh karena itu, untuk menjaga obyektivitas
dan independensi auditor, sebaiknya dilakukan auditor switching. American Institute of Certified Public
Accounting (AICPA), (1978a); AICPA (1978b) dalam Nasser et al. (2006) menganjurkan adanya rotasi wajib auditor karena dapat
meningkatkan kemampuan auditor dalam melindungi publik melalui peningkatan
kewaspadaan untuk setiap kemungkinan ketidaklayakan, peningkatan kualitas
pelayanan dan mencegah hubungan lebih dekat dengan klien (Mautz, 1974; Winters,
1976; Hoyle, 1978; Brody dan Moscove, 1998 dalam Nasser et al., 2006).
Akan tetapi, ada pendapat yang menentang adanya rotasi wajib
auditor. AICPA (1992) dalam Nasser et al.,
(2006) menyatakan bahwa adanya rotasi wajib auditor dianggap akan meningkatkan fee audit karena selalu diperlukan biaya
yang tinggi untuk auditor pada awal masa kerjanya untuk memahami lingkungan
bisnis klien. Namun demikian, terdapat kesulitan untuk meneliti apakah fee audit berpengaruh terhadap adanya
penggantian auditor karena perusahaan di Indonesia jarang mengungkapkan jumlah fee audit dalam laporan keuangan. Hal
tersebut dikarenakan di Indonesia, fee audit
bersifat rahasia di mana hanya perusahaan dan auditor yang mengetahuinya
(Lestari, 2012).
Di Indonesia sendiri auditor
switching telah diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor
359/KMK.06/2003 pasal 2. Peraturan ini mengatur bahwa pemberian jasa audit umum
oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) atas laporan keuangan dari suatu entitas dapat
dilakukan paling lama lima tahun berturut-turut dan pemberian jasa audit umum
oleh seorang akuntan publik paling lama tiga tahun berturut-turut.
Kemudian
peraturan tersebut diperbarui dengan Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 17/PMK.01/2008 Pasal 3.
Perubahan dalam peraturan ini yaitu lamanya pemberian jasa audit umum dapat
dilakukan oleh KAP yang menjadi enam tahun buku berturut – turut dan oleh
seorang akuntan publik tiga tahun berturut-turut (Pasal 3 ayat 1). Kemudian KAP
dan akuntan publik dapat mengaudit kembali laporan keuangan perusahaan klien
setelah satu tahun buku tidak memberikan jasa audit atas laporan keuangan klien
yang sama (Pasal 3 ayat 2 dan 3).
Adanya peraturan yang mengatur mengenai auditor switching tersebut menyebabkan terdapat batasan lamanya
masa perikatan audit sehingga akan terjadi auditor
switching secara mandatory.
Selain auditor switching secara mandatory, auditor switching juga dapat terjadi secara voluntary. Auditor switching
secara sukarela dilakukan apabila klien mengganti auditornya ketika tidak ada
peraturan yang mewajibkannya melakukan auditor
switching (Susan dan Trisnawati, 2011). Auditor
switching secara voluntary ini
menimbulkan pertanyaan mengenai faktor apa yang menyebabkan perusahaan
melakukan penggantian auditor sebelum batas waktu yang telah ditetapkan oleh
peraturan.
Faktor pertama yang kemungkinan mempengaruhi perusahaan
mengganti auditornya adalah ukuran KAP. Timbul dan berkembangnya profesi
akuntan publik sangat dipengaruhi oleh perkembangan perusahaan pada umumnya.
Semakin banyak perusahaan publik, semakin banyak pula jasa akuntan publik yang
dibutuhkan. Oleh karena itu, KAP saling bersaing untuk mendapatkan klien
(perusahaan) dengan berusaha memberikan jasa audit sebaik
mungkin (Divianto, 2011). KAP dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu KAP besar
adalah KAP yang tergabung dalam big 4 sedangkan KAP yang kecil adalah KAP
yang tidak tergabung dalam big 4.
Perusahaan akan mencari KAP yang kredibilitasnya tinggi untuk meningkatkan
kredibilitas laporan keuangan di mata pemakai laporan keuangan itu (Halim 1997,
dalam Damayanti dan Sudarma, 2008).
Klien yang diaudit
oleh KAP yang tergabung dalam big 4
cenderung akan mempertahankan auditornya untuk menjaga kualitas audit. KAP yang
lebih besar umumnya dianggap sebagai penyedia kualitas audit yang tinggi dan
mempertahankan reputasi tinggi dalam lingkungan bisnis. Oleh karena itu, KAP
besar akan berusaha untuk mempertahankan independensi mereka untuk menjaga
reputasi mereka (DeAngelo, 1981;
Dopuch, 1984; Wilson dan Grimlund, 1990 dalam Nasser et al., 2006).
Faktor kedua adalah ukuran klien. Perusahaan yang besar
cenderung akan mempertahankan seorang auditor untuk mengurangi biaya agensi.
Perusahaan yang besar melakukan aktivitas yang kompleks dan membutuhkan
pemisahan antara manajemen dan pemilik yang jelas sehingga jika terlalu sering
mengganti auditor akan menimbulkan biaya agensi yang cukup besar (Watts dan
Zimmerman,1986 dalam Nasser et al.,
2006).
Faktor ketiga adalah pertumbuhan perusahaan. Pertumbuhan
perusahaan ini dilihat dari seberapa baik perusahaan dapat mempertahankan
kondisi perekonomiannya dalam suatu industri (Weston dan Copeland, 1992 dalam
Nabila, 2011). Ketika bisnis sedang tumbuh, dibutuhkan audit dengan kualitas
dan independensi yang tinggi untuk mengurangi biaya agensi (Nasser et al., 2006). Oleh karena itu,
perusahaan yang sedang tumbuh cenderung mempertahankan auditornya untuk menjaga
kualitas audit.
Faktor keempat adalah financial
distress. Perusahaan yang sedang mengalami financial distress dimana kondisi keuangan perusahaan tersebut
sedang tidak sehat cenderung akan mengganti auditornya ke auditor yang lebih
berkualitas. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan dari
pemegang saham serta untuk mengurangi rasio litigasi (Francis & Wilson,
1988).
Faktor kelima yang dapat mempengaruhi penggatian auditor
adalah opini audit. Jika auditor tidak dapat memberikan opini wajar tanpa
pengecualian (tidak sesuai dengan harapan perusahaan), perusahaan akan
berpindah KAP yang mungkin dapat memberikan opini sesuai dengan yang diharapkan
perusahaan (Tandirerung, 2006 dalam Damayanti dan Sudarma, 2008). Manajer dapat
menekan auditor untuk memberikan clean
opinion dengan mengancam untuk berpindah auditor jika auditor tidak
memberikan opini yang sesuai keinginan manajer. Manajer berusaha mendapatkan clean opinion karena opini audit
dianggap dapat mempengaruhi harga saham perusahaan dan kompensasi manajer (Chow
dan Rice, 1982).
Beberapa penelitian mengenai faktor – faktor yang
mempengaruhi auditor switching
menunjukkan hasil yang berbeda. Kecenderungan untuk berganti auditor telah
ditemukan dipengaruhi secara signifikan oleh opini audit (Lubis, 2000; Hudaibe
dan Cooke, 2005; Sheng dan Wang, 2006), ukuran klien (Sinason et al., 2001; Mardiyah, 2002; Nasser et al., 2006), pertumbuhan klien
(Sinason et al., 2001; Mardiyah,
2002), pergantian manajemen (Hudaibe dan Cook, 2005;
Sinarwati 2010), ukuran KAP (Nasser et al., 2006; Damayanti dan Sudarma, 2008), dan financial distress
(Hudaibe dan Cooke, 2005; Nasser et al.,
2006; Sinarwati, 2010).
Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh
Nasser et al., (2006). Variabel yang
digunakan dalam penelitian ini menggunakan variabel – variabel yang digunakan
oleh Nassert et al. (2006) yaitu
ukuran KAP, ukuran klien, tingkat pertumbuhan perusahaan, dan financial distress. Akan tetapi,
peneliti tidak menggunakan variabel audit
tenure yang digunakan dalam penelitian Nasser et al. (2006) karena dalam penelitian ini peneliti menguji variabel
dependen voluntary auditor switching
yang berarti tidak mempertimbangkan tenure
sebagai alasan perusahaan melakukan voluntary
auditor switching. Audit tenure tidak
dipertimbangkan sebagai alasan melakukan voluntary
auditor switching karena terdapat aturan yang membatasinya sehingga jika
lamanya audit tenure telah mencapai
batas maksimal yang ditetapkan peraturan maka perusahaan secara otomatis akan
melakukan auditor switching secara mandatory. Selain itu, peneliti menambah
variabel yang menjadi keterbatasan dalam penelitian Nasser et al. (2006) yaitu opini audit. Variabel opini audit dipilih
karena opini audit dianggap penting sebagai salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi voluntary auditor switching.
Auditor yang tidak memberikan pendapat sesuai harapan manajer perusahaan
kemungkinan dapat menyebabkan perusahaan melakukan penggantian auditor
(Tandirerung, 2006 dalam Damayanti dan Sudarma, 2008).
Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan maufaktur
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dari tahun 2009-2011. Peneliti menggunakan
perusahaan yang terdaftar di BEI karena perusahaan tersebut telah go public sehingga laporan keuangannya
dapat diakses oleh pihak eksternal. Peneliti menggunakan periode penelitian
2009-2011 dengan alasan untuk mendapatkan gambaran kondisi keuangan perusahaan
terkini.
No comments:
Post a Comment