Saturday, June 18, 2016

Etika Kerja Islam

Klik Disini untuk Download SKRIPSI LENGKAP

 Dalam Ekonomi Islam (Januari 2008, h. 12), syariah (Islam) sebagai ad-din adalah agama yang universal dan komprehensif. Universal berarti bahwa Islam diperuntukkan bagi seluruh umat manusia di muka bumi dan dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat sampai akhir jaman. Komprehensif artinya bahwa Islam mempunyai ajaran yang lengkap dan sempurna (syummul).
 Sebagai ajaran yang komprehensif, Islam memiliki 3 pilar utama ajaran, yaitu aqidah, syariah dan akhlak. Hubungan antara aqidah, syariah dan akhlak dalam sistem Islam terjalin sedemikian rupa sehingga merupakan sebuah sistem yang komprehensif.
            Tiga pilar utama ajaran Islam : 
1.      Aqidah (Faith) : berbicara masalah kepercayaan terhadap eksistensi Tuhan, yang meliputi kafir, munafik, murtad, musyrik.
2.      Syariah (Law) : berbicara mengenai masalah hukum-hukum yang dibebankan ke umat manusia : wajib, sunnah, halal/mubah dan haram. 
3.      Akhlak (Ethic) : berbicara mengenai tata cara dalam melakukan sesuatu yang meliputi ihsan (baik), ahsan (lebih baik), dan ihtisan (dipandang baik).
 Syariah Islam terbagi dua macam, yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah diperlukan untuk menjaga ketaatan dan keharmonisan hubungan manusia dengan penciptanya. Sedangkan muamalah diturunkan untuk menjadi rule of the game atau aturan main manusia dalam kehidupan sosial, ekonomi & bisnis, politik dan sebagainya (Mimbar Jumat Dewan Mubaligh Indonesia, 2005).
Menurut Triyuwono (2000) syariah pada dasarnya mempunyai dimensi batin (inner dimension) dan dimensi luar (outer dimension). Dimensi luar tersebut bukan hanya meliputi prinsip moral Islam secara universal, tetapi juga berisi perincian tentang bagaimana individu harus bersikap dalam hidupnya, serta bagaimana seharusnya ia beribadah. Dengan demikian konsep etika kerja Islam bersumber dari syariah yang terdiri dari Al-Quran, Sunnah Hadist, Ijma, dan Qiyas. Etika syariah bagi umat Islam berfungsi sebagai sumber serangkaian kriteria-kriteria untuk membedakan mana yang benar (haq) dan mana yang buruk (batil). Dengan menggunakan syariah, bukan hanya membawa individu lebih dekat dengan Tuhan, tetapi juga memfasilitasi terbentuknya masyarakat secara adil yang di dalamnya mencakup individu yang mampu merealisasikan potensinya dan kesejahteraan yang diperuntukkan bagi semua umat (Januarti dan Bunyaanudin, 2006).
Syariah, sebagaimana ditegaskan Sufi (1990) dalam Triyuwono (2000), bukan sekedar hukum, tetapi lebih merupakan sistem hukum dan moralitas, sekaligus yang mencakup seluruh wilayah pengalaman manusia dan bermaksud mengatur seluruh aspek kegiatan manusia. Syariah mengantarkan manusia menjadi “masyarakat yang superior dalam moral dan kualitas materialnya dibanding masyarakat yang gagal menyadari kehendak yang diwahyukan Tuhan” (Sufi, 1990 dalam Triyuwono, 2000). Dengan cara ini syariah tidak hanya mendekatkan manusia pada Tuhannya, tetapi juga memfasilitasi perkembangan sebuah masyarakat yang adil dimana individu dapat merealisasikan potensinya secara maksimal sehingga dapat dicapai kesejahteraan bersama (Sufi, 1990 dalam Triyuwono, 2000).
 Dalam Islam pengertian kerja dapat dibagi dalam dua bagian. Pertama, kerja dalam arti umum yaitu semua bentuk usaha yang dilakukan manusia baik dalam hal materi atau non materi, intelektual atau fisik maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah keduniaan dan keakhiratan. Kedua, kerja dalam arti sempit ialah kerja untuk memenuhi tuntutan hidup manusia berupa sandang, pangan dan papan yang merupakan kebutuhan bagi setiap manusia dan muaranya adalah ibadah (Sufi, 1990 dalam Triyuwono, 2000).
 Islam menempatkan kerja sebagai kewajiban setiap muslim. Kerja bukan sekedar upaya mendapatkan rezeki yang halal guna memenuhi kebutuhan hidup, tetapi mengandung makna ibadah seorang hamba kepada Allah, menuju sukses di akhirat kelak. Oleh sebab itu, seorang muslim menjadikan kerja sebagai kesadaran spiritualnya yang transenden (agama Allah). Dengan semangat ini, setiap muslim akan berupaya maksimal dalam melakukan pekerjaannya. la berusaha menyelesaikan setiap tugas dan pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya dan berusaha pula agar setiap hasil kerjanya menghasilkan kualitas yang baik dan memuaskan. Dengan kata lain, ia akan menjadi orang yang terbaik dalam setiap bidang yang ditekuninya. “Dan katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan“. (QS. At – Taubah [9]: 105).
 Dalam mengerjakan sesuatu, seorang muslim selalu melandasinya dengan mengharap ridha Allah. Ini berimplikasi bahwa ia tidak boleh melakukan sesuatu dengan sikap semena-mena, dan secara acuh tak acuh. Sehubungan dengan ini, optimalisasi nilai hasil kerja berkaitan erat dengan konsep ihsan. Ihsan berkaitan dengan etika kerja, yaitu melakukan pekerjaan dengan sebaik mungkin, sesempurna mungkin atau seoptimal mungkin. Allah mewajibkan atas segala sesuatu, sebagaimana firman – Nya, “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya“. (QS. As – Sajdah [32]: 7). Tegasnya, perintah ihsan merupakan perintah kepada umat Islam untuk melakukan pekerjaan dengan sebaik mungkin. Semangat ini akan melahirkan etika kerja umat Islam yang tinggi dalam setiap profesi yang mereka tekuni. Semangat ini pula yang akan melahirkan sebuah budaya dalam melihat pekerjaan sebagai manifestasi pengabdian kepada Allah SWT. Selain itu muslim pun diminta itqan dalam mengerjakan sesuatu. Itqan berarti membuat atau mengerjakan sesuatu secara sungguh – sungguh dan teliti sehingga rapi, indah, tertib dan bersesuaian dengan yang lain dari bagian-bagiannya. Allah SWT berfirman, “Seni ciptaan Allah yang membuat dengan teliti (atqana) segala sesuatu” (QS. An – Naml [27]: 88) (Sufi, 1990 dalam Triyuwono, 2000).
 Dalam mewujudkan nilai-nilai ibadah dalam bekerja yang dilakukan oleh setiap insan, diperlukan adab dan etika yang membingkainya, sehingga nilai-nilai luhur tersebut tidak hilang. Diantara adab dan etika bekerja dalam Islam menurut
Muhammad (2004) dan Bisri (2008) adalah : 
1.  Bekerja dengan ikhlas karena Allah SWT. 
 Ini merupakan hal dan landasan terpenting bagi seorang yang bekerja. Artinya ketika bekerja, niatan utamanya adalah karena Allah SWT. Ia sadar, bahwa bekerja adalah kewajiban dari Allah yang harus dilakukan oleh setiap umat manusia. Ia faham bahwa memberikan nafkah kepada diri dan keluarga adalah kewajiban dari Allah. Ia pun mengetahui, bahwa hanya dengan bekerjalah ia dapat menunaikan kewajiban-kewajiban Islam yang lainnya, seperti zakat, infak dan shodaqah.
Sehingga ia selalu memulai aktivitas pekerjaannya dengan dzikir kepada Allah. 
2.  Itqon, tekun dan sungguh-sungguh dalam bekerja. 
 Implementasi dari keikhlasan dalam bekerja adalah itqon (profesional) dalam pekerjaannya. Ia sadar bahwa kehadiran tepat pada waktunya, menyelesaikan apa yang sudah menjadi kewajibannya secara tuntas, tidak menunda-nunda pekerjaan, tidak mengabaikan pekerjaan, adalah bagian yang tidak terpisahkan dari esensi bekerja itu sendiri yang merupakan ibadah kepada Allah SWT. Dalam sebuah hadits, riwayat Aisyah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang hamba yang apabila ia bekerja, dia itqan (menyempurnakan) pekerjaannya." (HR. Thabrani). 
3.  Jujur dan amanah. 
 Etika lain dari bekerja dalam Islam adalah jujur dan amanah. Karena pada hakekatnya pekerjaan yang dilakukannya tersebut merupakan amanah, baik secara duniawi dari atasannya atau pemilik usaha, maupun secara duniawi dari Allah SWT yang akan dimintai pertanggung jawaban atas pekerjaan yang dilakukannya. Implementasi jujur dan amanah dalam bekerja diantaranya adalah dengan tidak mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya, tidak curang, obyektif dalam menilai, dan sebagainya. Rasulullah SAW memberikan janji bagi orang yang jujur dan amanah akan masuk ke dalam surga bersama para shiddiqin dan syuhada'. Dalam hadits riwayat Imam Turmudzi : Dari Abu Said Al-Khudri ra, beliau berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Pebisnis yang jujur lagi dipercaya (anamah) akan bersama para nabi, shiddiqin dan syuhada”. 
4.  Menjaga etika sebagai seorang muslim. 
 Bekerja juga harus memperhatikan adab dan etika sebagai seroang muslim, seperti etika dalam berbicara, menegur, berpakaian, bergaul, makan, minum, berhadapan dengan customer, rapat, dan sebagainya. Bahkan akhlak atau etika ini merupakan ciri kesempurnaan iman seorang mu'min. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengatakan, "Orang mu'min yang paling sempurna imannya adalah mereka yang paling baik akhlaknya." (HR. Turmudzi). Dalam bekerja, seorang mu'min dituntut untuk bertutur kata yang sopan, bersikap yang bijak, sesuai dengan tuntunan Islam, yang menunjukkan jatidirinya sebagai seorang yang beriman. Bahkan dalam hadits yang lain Rasulullah SAW menggambarkan bahwa terdapat dua sifat yang tidak mungkin terkumpul dalam diri seorang mu'min, yaitu bakhil dan akhlak yang buruk. (HR. Turmudzi) 
5.  Tidak melanggar prinsip-prinsip syariah. 
 Aspek lain dalam etika bekerja dalam Islam adalah tidak boleh melanggar prinsip-prinsip syariah dalam pekerjaan yang dilakukannya. Tidak melanggar prinsip syariah ini dapat dibagi menjadi beberapa hal, Pertama dari sisi dzat atau substansi dari pekerjaannya, seperti memporduksi barang yang haram, menyebarluaskan kefasadan, riba, risywah, dan sebagainya. Kedua dari sisi penunjang yang tidak terkait langsung dengan pekerjaan, seperti tidak menutup aurat, ikhtilat antara lakilaki dengan perempuan, membuat fitnah dalam persaingan, dan sebagainya. Pelanggaran-pelanggaran terhadap prinsip syariah, selain mengakibatkan dosa dan menjadi tidak berkahnya harta, juga dapat menghilangkan pahala amal shaleh kita dalam bekerja. Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya dan janganlah kalian membatalkan amal perbuatan/pekerjaan kalian.." (QS. 47 : 33). 
6.  Menghindari syubhat  
 Dalam bekerja terkadang seseorang dihadapkan dengan adanya syubhat atau sesuatu yang meragukan dan samar antara kehalalan dengan keharamannya. Seperti unsur-unsur pemberian dari pihak luar, yang terdapat indikasi adanya satu kepentingan tertentu. Atau seperti bekerja sama dengan pihak-pihak yang secara umum diketahui kedzaliman atau pelanggarannya terhadap syariah. Dan syubhat semacam ini dapat berasal dari internal maupun eksternal. Oleh karena itulah, kita diminta hati-hati dalam kesyubhatan ini. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda, "Halal itu jelas dan haram itu jelas, dan diantara keduanya ada perkaraperkara yang syubhat. Maka barang siapa yang terjerumus dalam perkara yang syubhat, maka ia terjerumus pada yang diharamkan..." (HR. Muslim) 
7.  Menjaga ukhuwah Islamiyah
 Aspek lain yang juga sangat penting diperhatikan adalah masalah ukhuwah islamiyah antara sesama muslim. Jangan sampai dalam bekerja atau berusaha melahirkan perpecahan di tengah-tengah kaum muslimin. Rasulullah SAW sendiri mengemukakan tentang hal yang bersifat preventif agar tidak merusak ukhuwah Islamiyah di kalangan kaum muslimin. 
 Selain sebagai satu kewajiban, Islam juga memberikan penghargaan yang sangat mulia bagi para pemeluknya yang dengan ikhlas bekerja mengharapkan keridhaan Allah SWT. Penghargaan tersebut adalah sebagaimana dalam riwayat-
riwayat hadits berikut : 
1.      Akan diampuni dosa-dosanya oleh Allah SWT   
 Dari Ibnu Abbas ra berkata, Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, 'Barang siapa yang merasakan keletihan pada sore hari, karena pekerjaan yang dilakukan oleh kedua tangannya, maka ia dapatkan dosanya diampuni oleh Allah
SWT pada sore hari tersebut." (HR. Imam Tabrani, dalam Al-Mu'jam Al-Ausath VII/
289)
2.      Dihapuskan dosa-dosa tertentu yang tidak dapat dihapuskan dengan shalat, puasa dan shadaqah
 Dari Abu Hurairah berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, 'Sesungguhnya diantara dosa-dosa itu terdapat suatu dosa yang tidak dapat diampuni dengan shalat, puasa, haji dan juga umrah." Sahabat bertanya, "Apa yang bisa menghapuskannya wahai Rasulullah?". Beliau menjawab, "Semangat dalam mencari rizki". (HR.
Thabrani, dalam Al-Mu'jam Al-Ausath I/38) 
3.      Mendapatkan cinta Allah SWT   
 Dari Ibnu Umar ra bersabda, 'Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang mu'min yang bekerja dengan giat". (HR. Imam Tabrani, dalam Al-Mu'jam Al-Aushth
VII/380)
4.      Terhindar dari azab neraka 
 Dalam sebuah riwayat dikemukakan, "Pada suatu saat, Saad bin Muadz AlAnshari berkisah bahwa ketika Nabi Muhammad SAW baru kembali dari Perang Tabuk, beliau melihat tangan Sa'ad yang melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman karena diterpa sengatan matahari. Rasulullah bertanya, 'Kenapa tanganmu?' Saad menjawab, 'Karena aku mengolah tanah dengan cangkul ini untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku." Kemudian Rasulullah SAW mengambil tangan Saad dan menciumnya seraya berkata, 'Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh oleh api neraka'" (HR. Tabrani) 
5.      Bekerja mencari nafkah digolongkan dalam fi sabililah 

 Dari Ka'ab bin Umrah berkata, "Ada seseorang yang berjalan melalui tempat Rasulullah SAW. Orang itu sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para sahabat lalu berkata, 'Ya Rasulullah, andaikata bekerja seperti dia dapat digolongkan fi sabilillah, alangkah baiknya.' Lalu Rasulullah bersabda, 'Jika ia bekerja untuk mengidupi anak-anaknya yang masih kecil, itu adalah fi sabilillah; Jika ia bekerja untuk membela kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia, itu adalah fi sabilillah; dan jika ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, maka itu adalah fi sabilillah. (HR. Thabrani) 

Klik Disini untuk Download SKRIPSI LENGKAP

No comments:

Post a Comment