Dalam Ekonomi Islam (Januari 2008, h. 12),
syariah (Islam) sebagai ad-din adalah
agama yang universal dan komprehensif. Universal berarti bahwa Islam
diperuntukkan bagi seluruh umat manusia di muka bumi dan dapat diterapkan dalam
setiap waktu dan tempat sampai akhir jaman. Komprehensif artinya bahwa Islam
mempunyai ajaran yang lengkap dan sempurna (syummul).
Sebagai ajaran yang komprehensif, Islam
memiliki 3 pilar utama ajaran, yaitu aqidah, syariah dan akhlak. Hubungan
antara aqidah, syariah dan akhlak dalam sistem Islam terjalin sedemikian rupa
sehingga merupakan sebuah sistem yang komprehensif.
Tiga
pilar utama ajaran Islam :
1.
Aqidah (Faith)
: berbicara masalah kepercayaan terhadap eksistensi Tuhan, yang meliputi kafir,
munafik, murtad, musyrik.
2.
Syariah (Law) : berbicara mengenai masalah
hukum-hukum yang dibebankan ke umat manusia : wajib, sunnah, halal/mubah dan
haram.
3.
Akhlak (Ethic) : berbicara mengenai tata cara
dalam melakukan sesuatu yang meliputi ihsan (baik), ahsan (lebih baik), dan
ihtisan (dipandang baik).
Syariah Islam
terbagi dua macam, yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah diperlukan untuk menjaga
ketaatan dan keharmonisan hubungan manusia dengan penciptanya. Sedangkan
muamalah diturunkan untuk menjadi rule of
the game atau aturan main manusia dalam kehidupan sosial, ekonomi &
bisnis, politik dan sebagainya (Mimbar Jumat Dewan Mubaligh Indonesia, 2005).
Menurut Triyuwono (2000) syariah pada
dasarnya mempunyai dimensi batin (inner
dimension) dan dimensi luar (outer dimension). Dimensi luar tersebut bukan
hanya meliputi prinsip moral Islam secara universal, tetapi juga berisi
perincian tentang bagaimana individu harus bersikap dalam hidupnya, serta
bagaimana seharusnya ia beribadah. Dengan demikian konsep etika kerja Islam
bersumber dari syariah yang terdiri dari Al-Quran, Sunnah Hadist, Ijma, dan
Qiyas. Etika syariah bagi umat Islam berfungsi sebagai sumber serangkaian
kriteria-kriteria untuk membedakan mana yang benar (haq) dan mana yang buruk (batil).
Dengan menggunakan syariah, bukan hanya membawa individu lebih dekat dengan
Tuhan, tetapi juga memfasilitasi terbentuknya masyarakat secara adil yang di
dalamnya mencakup individu yang mampu merealisasikan potensinya dan
kesejahteraan yang diperuntukkan bagi semua umat (Januarti dan Bunyaanudin,
2006).
Syariah, sebagaimana ditegaskan Sufi
(1990) dalam Triyuwono (2000), bukan sekedar hukum, tetapi lebih merupakan
sistem hukum dan moralitas, sekaligus yang mencakup seluruh wilayah pengalaman
manusia dan bermaksud mengatur seluruh aspek kegiatan manusia. Syariah
mengantarkan manusia menjadi “masyarakat yang superior dalam moral dan kualitas
materialnya dibanding masyarakat yang gagal menyadari kehendak yang diwahyukan
Tuhan” (Sufi, 1990 dalam Triyuwono, 2000). Dengan cara ini syariah tidak hanya
mendekatkan manusia pada Tuhannya, tetapi juga memfasilitasi perkembangan
sebuah masyarakat yang adil dimana individu dapat merealisasikan potensinya
secara maksimal sehingga dapat dicapai kesejahteraan bersama (Sufi, 1990 dalam
Triyuwono, 2000).
Dalam Islam
pengertian kerja dapat dibagi dalam dua bagian. Pertama, kerja dalam arti umum
yaitu semua bentuk usaha yang dilakukan manusia baik dalam hal materi atau non
materi, intelektual atau fisik maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah
keduniaan dan keakhiratan. Kedua, kerja dalam arti sempit ialah kerja untuk
memenuhi tuntutan hidup manusia berupa sandang, pangan dan papan yang merupakan
kebutuhan bagi setiap manusia dan muaranya adalah ibadah (Sufi, 1990 dalam
Triyuwono, 2000).
Islam menempatkan
kerja sebagai kewajiban setiap muslim. Kerja bukan sekedar upaya mendapatkan
rezeki yang halal guna memenuhi kebutuhan hidup, tetapi mengandung makna ibadah
seorang hamba kepada Allah, menuju sukses di akhirat kelak. Oleh sebab itu,
seorang muslim menjadikan kerja sebagai kesadaran spiritualnya yang transenden
(agama Allah). Dengan semangat ini, setiap muslim akan berupaya maksimal dalam
melakukan pekerjaannya. la berusaha menyelesaikan setiap tugas dan pekerjaan
yang menjadi tanggungjawabnya dan berusaha pula agar setiap hasil kerjanya
menghasilkan kualitas yang baik dan memuaskan. Dengan kata lain, ia akan
menjadi orang yang terbaik dalam setiap bidang yang ditekuninya. “Dan
katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min
akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang
Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa
yang telah kamu kerjakan“. (QS. At – Taubah [9]: 105).
Dalam mengerjakan
sesuatu, seorang muslim selalu melandasinya dengan mengharap ridha Allah. Ini
berimplikasi bahwa ia tidak boleh melakukan sesuatu dengan sikap semena-mena,
dan secara acuh tak acuh. Sehubungan dengan ini, optimalisasi nilai hasil kerja
berkaitan erat dengan konsep ihsan. Ihsan berkaitan dengan etika kerja,
yaitu melakukan pekerjaan dengan sebaik mungkin, sesempurna mungkin atau
seoptimal mungkin. Allah mewajibkan atas segala sesuatu, sebagaimana firman –
Nya, “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya“. (QS. As –
Sajdah [32]: 7). Tegasnya, perintah ihsan
merupakan perintah kepada umat Islam untuk melakukan pekerjaan dengan sebaik
mungkin. Semangat ini akan melahirkan etika kerja umat Islam yang tinggi dalam
setiap profesi yang mereka tekuni. Semangat ini pula yang akan melahirkan sebuah
budaya dalam melihat pekerjaan sebagai manifestasi pengabdian kepada Allah SWT.
Selain itu muslim pun diminta itqan
dalam mengerjakan sesuatu. Itqan
berarti membuat atau mengerjakan sesuatu secara sungguh – sungguh dan teliti
sehingga rapi, indah, tertib dan bersesuaian dengan yang lain dari
bagian-bagiannya. Allah SWT berfirman, “Seni ciptaan Allah yang membuat dengan
teliti (atqana) segala sesuatu” (QS.
An – Naml [27]: 88) (Sufi, 1990 dalam Triyuwono, 2000).
Dalam mewujudkan
nilai-nilai ibadah dalam bekerja yang dilakukan oleh setiap insan, diperlukan
adab dan etika yang membingkainya, sehingga nilai-nilai luhur tersebut tidak
hilang. Diantara adab dan etika bekerja dalam Islam menurut
Muhammad (2004) dan Bisri (2008) adalah
:
1. Bekerja
dengan ikhlas karena Allah SWT.
Ini merupakan hal
dan landasan terpenting bagi seorang yang bekerja. Artinya ketika bekerja,
niatan utamanya adalah karena Allah SWT. Ia sadar, bahwa bekerja adalah
kewajiban dari Allah yang harus dilakukan oleh setiap umat manusia. Ia faham
bahwa memberikan nafkah kepada diri dan keluarga adalah kewajiban dari Allah.
Ia pun mengetahui, bahwa hanya dengan bekerjalah ia dapat menunaikan
kewajiban-kewajiban Islam yang lainnya, seperti zakat, infak dan shodaqah.
Sehingga ia selalu memulai aktivitas
pekerjaannya dengan dzikir kepada Allah.
2. Itqon, tekun dan sungguh-sungguh dalam
bekerja.
Implementasi
dari keikhlasan dalam bekerja adalah itqon
(profesional) dalam pekerjaannya. Ia sadar bahwa kehadiran tepat pada waktunya,
menyelesaikan apa yang sudah menjadi kewajibannya secara tuntas, tidak
menunda-nunda pekerjaan, tidak mengabaikan pekerjaan, adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari esensi bekerja itu sendiri yang merupakan ibadah kepada Allah
SWT. Dalam sebuah hadits, riwayat Aisyah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda,
"Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang hamba yang apabila ia bekerja,
dia itqan (menyempurnakan)
pekerjaannya." (HR. Thabrani).
3. Jujur
dan amanah.
Etika lain dari
bekerja dalam Islam adalah jujur dan amanah. Karena pada hakekatnya pekerjaan
yang dilakukannya tersebut merupakan amanah, baik secara duniawi dari atasannya
atau pemilik usaha, maupun secara duniawi dari Allah SWT yang akan dimintai
pertanggung jawaban atas pekerjaan yang dilakukannya. Implementasi jujur dan
amanah dalam bekerja diantaranya adalah dengan tidak mengambil sesuatu yang
bukan menjadi haknya, tidak curang, obyektif dalam menilai, dan sebagainya.
Rasulullah SAW memberikan janji bagi orang yang jujur dan amanah akan masuk ke dalam
surga bersama para shiddiqin dan syuhada'. Dalam hadits riwayat Imam
Turmudzi : Dari Abu Said Al-Khudri ra, beliau berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda, “Pebisnis yang jujur lagi dipercaya (anamah) akan bersama para nabi, shiddiqin dan syuhada”.
4. Menjaga
etika sebagai seorang muslim.
Bekerja juga
harus memperhatikan adab dan etika sebagai seroang muslim, seperti etika dalam
berbicara, menegur, berpakaian, bergaul, makan, minum, berhadapan dengan customer, rapat, dan sebagainya. Bahkan
akhlak atau etika ini merupakan ciri kesempurnaan iman seorang mu'min. Dalam sebuah hadits Rasulullah
SAW mengatakan, "Orang mu'min
yang paling sempurna imannya adalah mereka yang paling baik akhlaknya."
(HR. Turmudzi). Dalam bekerja, seorang mu'min
dituntut untuk bertutur kata yang sopan, bersikap yang bijak, sesuai dengan
tuntunan Islam, yang menunjukkan jatidirinya sebagai seorang yang beriman.
Bahkan dalam hadits yang lain Rasulullah SAW menggambarkan bahwa terdapat dua
sifat yang tidak mungkin terkumpul dalam diri seorang mu'min, yaitu bakhil dan
akhlak yang buruk. (HR. Turmudzi)
5. Tidak
melanggar prinsip-prinsip syariah.
Aspek lain
dalam etika bekerja dalam Islam adalah tidak boleh melanggar prinsip-prinsip
syariah dalam pekerjaan yang dilakukannya. Tidak melanggar prinsip syariah ini
dapat dibagi menjadi beberapa hal, Pertama dari sisi dzat atau substansi dari
pekerjaannya, seperti memporduksi barang yang haram, menyebarluaskan kefasadan, riba, risywah, dan sebagainya. Kedua dari sisi penunjang yang tidak terkait
langsung dengan pekerjaan, seperti tidak menutup aurat, ikhtilat antara lakilaki dengan perempuan, membuat fitnah dalam
persaingan, dan sebagainya. Pelanggaran-pelanggaran terhadap prinsip syariah,
selain mengakibatkan dosa dan menjadi tidak berkahnya harta, juga dapat
menghilangkan pahala amal shaleh kita dalam bekerja. Allah SWT berfirman,
"Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada
Rasul-Nya dan janganlah kalian membatalkan amal perbuatan/pekerjaan
kalian.." (QS. 47 : 33).
6. Menghindari
syubhat
Dalam bekerja
terkadang seseorang dihadapkan dengan adanya syubhat atau sesuatu yang meragukan dan samar antara kehalalan
dengan keharamannya. Seperti unsur-unsur pemberian dari pihak luar, yang
terdapat indikasi adanya satu kepentingan tertentu. Atau seperti bekerja sama
dengan pihak-pihak yang secara umum diketahui kedzaliman atau pelanggarannya
terhadap syariah. Dan syubhat semacam
ini dapat berasal dari internal maupun eksternal. Oleh karena itulah, kita
diminta hati-hati dalam kesyubhatan ini. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW
bersabda, "Halal itu jelas dan haram itu jelas, dan diantara keduanya ada
perkaraperkara yang syubhat. Maka
barang siapa yang terjerumus dalam perkara yang syubhat, maka ia terjerumus
pada yang diharamkan..." (HR. Muslim)
7. Menjaga
ukhuwah Islamiyah.
Aspek lain yang
juga sangat penting diperhatikan adalah masalah ukhuwah islamiyah antara sesama muslim. Jangan sampai dalam bekerja
atau berusaha melahirkan perpecahan di tengah-tengah kaum muslimin. Rasulullah
SAW sendiri mengemukakan tentang hal yang bersifat preventif agar tidak merusak ukhuwah
Islamiyah di kalangan kaum muslimin.
Selain sebagai satu kewajiban, Islam
juga memberikan penghargaan yang sangat mulia bagi para pemeluknya yang dengan
ikhlas bekerja mengharapkan keridhaan Allah SWT. Penghargaan tersebut adalah
sebagaimana dalam riwayat-
riwayat hadits berikut :
1. Akan
diampuni dosa-dosanya oleh Allah SWT
Dari Ibnu Abbas
ra berkata, Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, 'Barang siapa yang merasakan
keletihan pada sore hari, karena pekerjaan yang dilakukan oleh kedua tangannya,
maka ia dapatkan dosanya diampuni oleh Allah
SWT pada sore hari tersebut."
(HR. Imam Tabrani, dalam Al-Mu'jam Al-Ausath VII/
289)
2. Dihapuskan
dosa-dosa tertentu yang tidak dapat dihapuskan dengan shalat, puasa dan
shadaqah
Dari Abu Hurairah
berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, 'Sesungguhnya diantara dosa-dosa itu
terdapat suatu dosa yang tidak dapat diampuni dengan shalat, puasa, haji dan
juga umrah." Sahabat bertanya, "Apa yang bisa menghapuskannya wahai
Rasulullah?". Beliau menjawab, "Semangat dalam mencari rizki".
(HR.
Thabrani, dalam Al-Mu'jam Al-Ausath
I/38)
3. Mendapatkan
cinta Allah SWT
Dari Ibnu Umar ra
bersabda, 'Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang mu'min yang bekerja dengan
giat". (HR. Imam Tabrani, dalam Al-Mu'jam Al-Aushth
VII/380)
4. Terhindar
dari azab neraka
Dalam sebuah
riwayat dikemukakan, "Pada suatu saat, Saad bin Muadz AlAnshari berkisah
bahwa ketika Nabi Muhammad SAW baru kembali dari Perang Tabuk, beliau melihat
tangan Sa'ad yang melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman karena diterpa
sengatan matahari. Rasulullah bertanya, 'Kenapa tanganmu?' Saad menjawab,
'Karena aku mengolah tanah dengan cangkul ini untuk mencari nafkah keluarga
yang menjadi tanggunganku." Kemudian Rasulullah SAW mengambil tangan Saad
dan menciumnya seraya berkata, 'Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh
oleh api neraka'" (HR. Tabrani)
5. Bekerja
mencari nafkah digolongkan dalam fi
sabililah
Dari Ka'ab bin
Umrah berkata, "Ada seseorang yang berjalan melalui tempat Rasulullah SAW.
Orang itu sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para sahabat lalu
berkata, 'Ya Rasulullah, andaikata bekerja seperti dia dapat digolongkan fi sabilillah, alangkah baiknya.' Lalu
Rasulullah bersabda, 'Jika ia bekerja untuk mengidupi anak-anaknya yang masih
kecil, itu adalah fi sabilillah; Jika
ia bekerja untuk membela kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia, itu adalah fi sabilillah; dan jika ia bekerja untuk
kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, maka itu adalah fi sabilillah. (HR. Thabrani)
No comments:
Post a Comment