PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Dalam menjalankan
sebuah perusahaan, kinerja perusahaan sangat penting untuk diukur dan diketahui
bagaimana perkembangannya dari tahun ke tahun. Informasi tentang kinerja
perusahaan ini berguna salah satunya untuk menetapkan kebijakan selanjutnya
yang akan diambil oleh pihak manajemen. Kinerja perusahaan juga mempengaruhi
minat para calon pembeli saham perusahaan di pasar modal. Kinerja perusahaan
yang tercermin dalam laporan keuangannya merupakan patokan suatu saham dapat
dikatakan profitable atau tidak profitable. Sehingga ukuran kinerja dan
faktor–faktor yang dapat memperbaiki kinerja perusahaan sangat penting untuk
diketahui oleh perusahaan. Dengan terukurnya kinerja perusahaan maka nilai
perusahaan itu juga dapat diketahui secara jelas oleh pihak-pihak yang
berkepentingan. Dengan tata kelola yang lebih baik pula, perusahaan akan
mempunyai daya saing yang lebih baik.
Dalam beberapa wacana
tentang kinerja perusahaan, intellectual
capital dan corporate governance sebagai
unsur-unsur yang perlu diungkapkan dan diterapkan untuk menilai suatu
perusahaan menjadi hal yang makin dipertimbangkan. Purwantini (2008) menyatakan bahwa dalam kurun waktu 10
tahun terakhir corporate governance menjadi sebuah isu penting dikalangan para
eksekutif, organisasi-organisasi non
government organization (NGO), para konsultan korporasi, akademisi, dan regulator (pemerintah) di berbagai
belahan dunia. Munculnya “new
economy” yang secara prinsip didorong oleh perkembangan teknologi informasi
dan ilmu pengetahuan, juga telah memicu tumbuhnya minat dalam pengungkapan intellectual capital (Petty dan Guthrie,
2000; Bontis, 2001) dalam Ulum (2007).
Intellectual
capital merupakan aset tidak berwujud yang terdapat di dalam laporan
keuangan. Selama ini pengungkapan intellectual
capital sudah banyak dilakukan dalam menentukan value perusahaan. Masuknya perusahaanperusahaan asing ke pasar
Indonesia menuntut perusahaan dalam negeri untuk semakin memperbaiki nilai (value) dan kinerja (performance) perusahaannya guna menghadapi persaingan yang semakin
ketat. Dalam proses perbaikan tersebut, perusahaan membutuhkan informasi yang
lebih relevan tentang elemen yang diukur tidak hanya aset berwujud (tangiable asset) namun juga aset tidak
berwujud (intangiable asset) guna
mengungkapkan nilai dan kinerja perusahaan.
Nilai pasar (market value)
dari beberapa perusahaan dapat beberapa kali lipat lebih besar dari nilai buku
aset perusahaan (Roos, 1997 seperti dikutip oleh Sawarjuwono dan Kadir, 2003).
Perbedaan keduanya tersebut disebut sebagai “hidden
value” yang tergambar dari persentasi dari nilai pasar. Dengan diketahui
adanya hidden value tersebut dapat
diindikasikan bahwa perusahaan memiliki
intellectual capital. Selain itu Commisionner Steven M. H. Wallman (dikutip
dari Sawarjuwono dan Kadir, 2003) menyarankan perusahaan untuk mulai
mengungkapkan “hidden assets” yang
dimiliki dengan menerbitkan pernyataan tambahan (suplemen) dalam laporan tahunan
yang dipublikasikan. Hal ini sependapat dengan Rupert (dalam Sawarjuwono dan
Kadir, 2003) yang menyatakan bahwa banyak perusahaan yang memiliki aktiva
berwujud yang tidak signifikan dalam laporan keuangan namun penghargaan pasar
atau nilai perusahaan tersebut sangat tinggi. Beberapa penulis (Bontis 2000;
Sveiby 1998; Mouritsen 2000; Roos (1997) dalam Sawarjuwono dan Kadir (2003)
juga menyatakan bahwa:
Adding a flow perspective to the stock
perspective is a kind to adding a profit
and loss statement to a balance sheet in accounting. The two perspectives combined (or the two reporting
tools, in the case of accounting)
provide much more information than any single one alone. At the same time, intellectual capital flow
reporting presents some additional
challenges in terms of complexity.
Dalam kutipan
tersebut Roos menyatakan bahwa dua perspektif yang dikombinasikan dalam
pelaporan tersebut akan menghasilkan lebih banyak informasi daripada 1
perspektif saja. Abdolmohammadi (dalam Yuniasih, 2010) menyatakan jika modal
intelektual merupakan sumber daya yang terukur untuk peningkatan competitive advantages, maka modal
intelektual akan memberikan kontribusi terhadap kinerja perusahaan. Salah satu
masalah yang dihadapi adalah bagaimana mengukur intellectual capital. Beberapa konsep pengukuran intellectual capital telah dikembangkan
oleh para peneliti, salah satunya adalah model yang dikembangkan oleh Pulic.
Model VAICTM yang diciptakan Pulic terbukti dapat menunjukkan adanya
hubungan positif diantara pada penelitian Chen (2005) dan Tan (2007). Komponen
utama dari VAIC™ adalah physical capital (VACA
- Value Added Capital Employed), human capital (VAHU - Value
Added Human
Capital), dan structural
capital (STVA - Structural Capital
Value
Added).
Selain
memperbaiki pengungkapan laporan keuangan berupa
pengungkapan IC (intellectual
capital), sebuah perusahaan juga dirasa perlu melakukan penerapan dan
pengelolaan corporate governance yang
baik. Newel dan Wilson (dalam Purwantini, 2008) menyatakan bahwa secara
teoritis praktik corporate governance yang
baik dapat meningkatkan nilai perusahaan dengan cara meningkatkan kinerja
keuangan dan mengurangi risiko yang diakibatkan oleh tindakan manajemen yang
cenderung menguntungkan diri mereka sendiri. Husain dan Malin (dalam
Purwantini, 2008) menyatakan bahwa penyebab utama berkembangnya kebutuhan akan
praktik-praktik corporate governance
yang baik adalah sebagai akibat dari kebangkrutan perusahaan-perusahaan
ternama, baik di sektor keuangan maupun non keuangan seperti WordCom di Amerika
Serikat dan HIH dan One-tel di Australia. Menurut Tjager (dalam Purwantini, 2008), corporate governance
dilatar belakangi beberapa permasalahan antara lain adanya tuntutan akan
transparansi dan independensi yang memicu perusahaan agar memiliki lebih banyak
komisaris independen yang mengawasi tindakan–tindakan para eksekutif.
Konsep corporate governance sebenarnya dapat
didefinisikan sebagai serangkaian mekanisme dalam mengendalikan suatu
perusahaan agar kegiatan operasinya berjalan sesuai apa yang diharapkan oleh stakeholders atau pihak yang
berkepentingan. Corporate governance
menekankan pada pentingnya hak pemegang saham atau stockholder untuk memperoleh informasi yang andal, akurat, dan
tepat waktu. Selain itu juga menunjukkan kewajiban manajemen perusahaan untuk
mengungkapkan seluruh informasi kinerja keuangan secara independen, akurat,
tepat waktu, dan transparan. Keseimbangan kepentingan dari dua belah pihak
yaitu pemegang saham selaku pemilik dengan manajemen adalah tujuan yang
diharapkan dari penerapan corporate
governance. Oleh karena itu, baik perusahaan publik maupun non-publik harus
memandang corporate governance bukan
sebagai aksesoris semata tetapi sebagai upaya peningkatan kinerja dan nilai
perusahaan Tjager (dalam Darmawati, 2004).
Corporate governance diproksikan
antara lain dengan kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, proporsi
komisaris independen, jumlah anggota komite audit, ukuran dewan komisaris, dan
jumlah rapat dewan komisaris.
Penelitian Cornett (dalam Bangun, 2008), menggunakan indikator mekanisme corporate governance yang diproksikan
dengan kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dan proporsi
komisaris independen. Dipilihnya proksi-proksi tersebut berdasarkan beberapa
pendapat antara lain: Roos (1959) dalam Bangun (2008) menyatakan bahwa semakin
besar kepemilikan manajerial dalam suatu perusahaan maka manajemen akan
cenderung berupaya meningkatkan kinerja perusahaan, Vafeas (2000) dalam Bangun
(2008) menyatakan bahwa dewan komisaris diharapkan dapat meningkatkan kualitas
laba dan kualitas laba yang meningkat menunjukkan adanya peningkatan kinerja
perusahaan dan Arif (2006) dalam Bangun (2008) menyatakan bahwa perusahaan
dengan kepemilikan institusional yang besar mengindikasikan kemampuannya untuk
memonitor manajemen yang besar pula sehingga secara tidak langsung meningkatkan
kinerjanya. Sedangkan sebagai indikator kinerja keuangan perusahaan
digunakan proksi return on assets (ROA). ROA merupakan perbandingan dari return (laba) perusahaan dibanding aset
yang dimilikinya. Laba merupakan indikator yang dapat digunakan untuk mengukur
dan mengevaluasi kinerja perusahaan (Siallagan dan Machfoedz, 2006). Semakin
besar laba yang dihasilkan berarti kinerja
perusahaan semakin baik.
Berdasarkan latar
belakang tersebut peneliti termotivasi melakukan penelitian kembali mengenai
No comments:
Post a Comment