Friday, February 24, 2012

ENGUJIAN KAUSALITAS GRANGER ANTARA NILAI TUKAR, SUKU BUNGA DEPOSITO DAN HARGA SAHAM DI LIMA NEGARA ASEAN


1.1 Latar Belakang
Krisis keuangan di Asia sejak pertengahan tahun 1997 diyakini disebabkan oleh beberapa faktor. Pemicu awal krisis ini ditandai oleh penurunan nilai mata uang regional terhadap Dollar AS sejak tahun 1995. Hal ini ditambah dengan adanya guncangan ekternal seperti penurunan nilai ekspor sejak tahun 1996 di wilayah Asia yang membawa kecemasan terhadap pembiayaan neraca transaksi berjalan yang defisit yang mengarah pada akumulasi pinjaman jangka pendek dan penurunan nilai mata uang. Penambahan pinjaman jangka pendek oleh sektor swasta mulanya memang tidak mengkhawatirkan, mengingat nilai valas yang stabil dan kemampuan ekspor yang baik, akan mampu membayar pinjaman tersebut. Namun saat kegiatan perekonomian menurun dan krisis mata uang mulai tampak, terjadi penekanan kemampuan pembayaran pinjaman oleh sektor swasta domestik.
Sampai pada pertengahan dekade 1990, modal dan hutang internasional masuk dengan deras ke dalam negara-negara di Asia. Namun pengalokasian yang  lebih banyak pada sektor non-perdagangan dan beresiko tinggi, seperti properti dan pasar saham, membuat tingkat pengembalian oleh penghutang domestik lebih sulit untuk dilakukan saat terjadi penurunan kegiatan ekonomi dan melonjaknya suku bunga domestik.
Tertekannya tingkat kemampuan pengembalian oleh penghutang domestik terlihat dari menurunnya peringkat kredit oleh para pemeringkat kredit internasional. Tingkat krisis di kawasan Asean yang semakin memanas meningkatkan resiko dan merusak sentimen pasar maupun kepercayaan investor. Maka aliran modal yang masuk berubah menjadi penarikan modal besar-besaran (masive capital outflow) oleh para investor.
Serangan spekulatif terhadap sejumlah mata uang Asia, kerapuhan mekanisme pasar serta kerapuhan sistem perbankan merupakan pemicu dari krisis, namun mendalamnya efek penularan (contagion effect) sangat menentukan aliran arus balik modal yang menjadikan kerawanan pada pasar finansial di Asia. Tekanan yang berawal dari currency turmoil yang melanda Thailand segera menyebar ke Indonesia dan negara Asean lainnya sehubungan dengan karakteristik perekonomian yang mirip[1].
Pada awalnya upaya menstabilkan mata uang dan menahan tekanan spekulatif di pasar uang dan bursa saham di beberapa negara anggota Asean, seperti Indonesia dan Malaysia, dilakukan dengan melakukan intervensi langsung di pasar valas, menaikan suku bunga dan menerapkan beberapa pembatasan aliran uang serta kontrol devisa[2]. Namun intervensi di pasar valas telah menyebabkan cadangan devisa negara habis karena ekspor yang sedang melemah tidak dapat dijadikan andalan sebagai sumber pemasukan devisa. Melemahnya nilai tukar domestik telah memberikan dampak serius pada kegiatan ekonomi riil, khususnya usaha yang tergantung pada bahan baku impor dan pembiayaan non-rupiah. Sedangkan tindakan pemerintah untuk menaikkan tingkat suku bunga guna menopang nilai mata uang menyebabkan tekanan terhadap perekonomian khususnya di sektor riil dan akan dapat semakin menjatuhkan harga saham di bursa.
Akhirnya pihak yang berwenang pada masing-masing negara anggota Asean berupaya mencari jalan lain untuk bisa mengatasi krisis finansial yang terjadi. Reformasi dan restrukturisasi ekonomi dan sektor perbankan menjadi pilihan untuk mengatasi kelemahan di kedua sektor ini. Di Indonesia, Thailand, dan Malaysia tindakan ini diwujudkan dalam penutupan bank-bank dan lembaga keuangan yang insolven, sedangkan lembaga keuangan yang masih bisa bertahan diperbaiki melalui rekapitalisasi dan merger. Di Indonesia untuk mengamankan cadangan devisa yang terus berkurang maka terjadi perubahan sistem nilai tukar dengan menghapus rentang intervensi dan menganut sistem tukar mengambang bebas (flexible exchange rate).
Upaya pemerintah di tiap negara Asia yang terkena krisis moneter lebih difokuskan pada empat bidang utama dimana dua diantaranya yaitu, bidang moneter, dengan melakukan kebijakan moneter ketat untuk mengurangi penurunan atau depresiasi nilai mata uang domestik yang berlebihan, serta bidang perbankan yang ditempuh dengan kebijakan perbaikan kelemahan sistem perbankan untuk memperbaiki dampak krisis dan menghindari krisis di masa yang akan datang[3].
Krisis di Asia memperlihatkan fluktuasi pada nilai tukar domestik, suku bunga dan harga saham di tiap negara anggota Asean. Devaluasi Bath Thailand pada pertengahan tahun 1997 telah diikuti oleh beberapa negara anggota Asean lain. Fluktuasi ini terus terjadi saat upaya perbaikan krisis dilakukan. Hal ini tidak hanya terjadi sebagai dampak dari faktor fundamental ekonomi tapi juga didukung oleh aksi spekulan valas.
 Tabel 1.1 memperlihatkan perubahan nilai tukar di lima negara Asean periode 1996 – 2003. Gambar 1.1 memperlihatkan pergerakan pada indeks harga saham di lima negara Asean periode 1995 – Januari 2004. Sedangkan tabel 1.2 memperlihatkan perubahan tingkat suku bunga deposito 3 bulanan dalam rata-rata tiap tahun 5 negara  Asean periode 1996 – 2003.

Tabel 1.1
Nilai Tukar Nominal Domestik Terhadap Dollar (USD)
di Lima Negara Anggota Asean
Periode 1996 – 2003
Tahun
Indonesia
Malaysia
Filipina
Singapura
Thailand
1996
2,342
2.52
26.22
1.41
25.32
1997
2,909
2.81
29.47
1.48
31.32
1998
10,014
3.92
40.89
1.67
41.31
1999
7,855
3.80
39.09
1.69
37.79
2000
8,422
3.80
44.19
1.72
40.11
2001
10,250
3.80
50.99
1.79
44.43
2002
9,318
3.80
51.77
1.79
42.96
2003
8,575
3.80
54.20
1.74
41.51
Sumber: ASEAN Finance and Macroeconomic Surveillance Unit
Grafik 1.1
Indeks Harga Saham Gabungan di Lima Negara Asean
Periode 1995 – Januari 2004
Sumber : Statistik Pasar Modal – Biro PIR Bapepam
Keterangan :

Indonesia : IHSG
Singapura : STI
Malaysia   : KLSE
Thailand    :SETI
Filipina      : PSE

Tabel 1.2
Tingkat Suku Bunga Rata-Rata Deposito 3 Bulanan
di Lima Negara Asean Periode 1996 – 2003
Negara
1996
1997
1999
2000
2001
2002
2003
Indonesia
17.03
23.92
12.95
13.24
17.24
13.63
7.14
Malaysia
7.21
9.06
3.33
3.47
3.21
3.20
3.00
Filipina
9.73
12.50
7.18
12.09
8.83
3.80
5.34
Singapura
3.41
4.10
1.68
1.70
1.10
0.78
0.42
Thailand
9.75
11.5
3.75
3.00
2.25
1.75
1.00
Sumber: ASEAN Finance and Macroeconomic Surveillance Unit
Setelah mengamati kondisi perekonomian di kawasan negara anggota Asean sebelum, selama dan setelah krisis, maka fluktuasi nilai tukar domestik, suku bunga dan harga saham merupakan salah satu hal yang menarik untuk dicermati. Krisis moneter di kawasan Asia diperlihatkan oleh fluktuasi yang tinggi pada ketiga indikator moneter tersebut. Maka timbul pertanyaan apakah pergerakan pada salah satu variabel diatas memiliki pengaruh pada masing-masing variabel lainnya.
Terdapat banyak argumen berkaitan dengan pandangan diatas. Bahkan Granger (2000) menyatakan, hubungan antara variabel bisa dua arah[4]. Misalnya Granger menyatakan, fluktuasi pada nilai tukar akan dapat mengarah pada pergerakan harga saham, hal ini disebut juga pendekatan tradisional (traditional approach). Sebaliknya pergerakan bursa saham dapat menyebabkan aliran modal yang berakhir pada fluktuasi nilai tukar. Ini dikenal dengan pendekatan portfolio (portfolio approach).
Disamping itu variabel suku bunga juga ikut mempengaruhi fluktuasi harga saham dan nilai tukar. Suku bunga deposito menjadi salah satu tolak ukur masyarakat dalam menanamkan modalnya. Pemilik modal akan mengalokasikan kekayaannya pada aset berdasarkan tingkat return dan resiko yang ada pada suatu aset. Suku bunga deposito menjadi hal yang penting dalam pertumbuhan dan perkembangan perekonomian khususnya sektor riil serta aliran modal di suatu negara.
Maka berdasarkan uraian di atas dan perkembangan perekonomian di lima negara anggota Asean dari sejak awal krisis hingga saat ini, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul :


[1] Soedradjad Djiwandono. 11 Agustus 1998. The Rupiah – One Year After The Float. Pointers for an address to be delivered at a luncheon organized by The Indonesian Australian Business Council.
[2] Bank Negara Malaysia. Juni 1998. Krisis Asia Timur – Penyebab, Kebijakan Penanggulangan, Pelajaran dan Wawasan., Kertas Kerja Pertemuan G-15.
[3]   Sabirin, Syahril. 2000. Upaya Pemulihan Ekonomi Melalui Strategi Kebijakan Moneter-Perbankan dan Independensi Bank Indonesia. Publikasi Bank Indonesia

[4]  Hooi-Hooi et all. 2003. Bivariate Causality Between Exchange Rate and Stock Price On Major Asian Countries. Departement Of Economics National University Of Singapore.

No comments:

Post a Comment