1.
LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan merupakan suatu proses di dalam menemukan transformasi
baik dalam diri, maupun komunitas. Oleh sebab itu, proses pendidikan yang benar
adalah membebaskan seseorang dari berbagai kungkungan, intimidasi, dan
ekploitasi. Disinilah letak afinitas dari paidagogik, yaitu membebaskan manusia
secara konfrehensif dari ikatan-ikatan yang terdapat diluar dirinya atau
dikatakan sebagai sesuatu yang mengikat kebebasan seseorang.
Hal ini terjadi jika pendidikan dijadikan instrumen oleh sistem
penguasa yang ada hanya untuk mengungkung kebebasan individu. Secara memis
pendidikan yang ada di Indonesia adalah sebagian kecil yang terdesain dan
terorganisir oleh bingkai sistem. Gambaran sistem semacam itu merupakan bentuk
pemaksaan kehendak dan merampas kebebasan individu, kesadaran potensi, beserta
kreativitas bifurkasi. Maka pendidikan telah berubah menjadi instrumen
oppressive bagi perkembangan individu atau komunitas masyarakat (Tilaar, 2004:
58).
Maka dari pada itu, pendidikan adalah merupakan elemen yang sangat
signifikan dalam menjalani kehidupan. Karena dari sepanjang perjalanan manusia
pendidikan merupakan barometer untuk mencapai maturasi nilai-nilai kehidupan.
Ketika melihat dari salah satu aspek tujuan pendidikan nasional sebagai mana
yang tercantum dalam UU RI SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003, tentang membentuk
manusia yang berbudi pekerti luhur melalui proses pembentukan kepribadian,
kemandirian dan norma-norma tentang baik dan buruk. Sedangkan menurut Widagdho,
manusia sebagai makhluk pengemban etika yang telah dikaruniai akal dan budi.
Dengan demikian, adanya akal dan budi menyebabkan manusia memiliki cara dan
pola hidup yang multidimensi, yakni kehidupan yang bersifat material dan
bersifat spritual (2001: 8).
Begitu pentingnya pendidikan bagi setiap manusia, karena tanpa
adanya pendidikan sangat mustahil suatu komunitas manusia dapat hidup
berkembang sejalan dengan cita-citanya untuk maju, mengalami perubahan,
sejahtera dan bahagia sebagaimana pandangan hidup mereka. Semakin tinggi
cita-cita manusia semakin menuntut peningkatan mutu pendidikan sebagai sarana
pencapaiannya. Hal ini telah termaktub dalam al-Qur’an surat al-Mujadalah ayat
11:
يرفع الله الدين امنوا منكم والدين اوتواالعلم درجت
Artinya :
“Allah SWT akan mengangkat orang-orang yang
beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat” (Depag RI, 1974: 911).
Relevan dengan hal tersebut, maka penyelenggaraan pendidikan tidak
dapat dilepaskan dari tujuan yang hendak dicapai. Buktinya dengan
penyelenggaraan pendidikan yang kita alami di Indonesia. Tujuan pendidikan
mengalami perubahan yang terus menerus dari setiap pergantian roda
kepemimpinan. Maka dalam hal ini sistem pendidikan nasional masih belum mampu
secara maksimal untuk membentuk masyarakat yang benar-benar sadar akan
pendidikan.
Melihat fenomena yang terjadi pada saat sekarang ini banyak kalangan
yang mulai melihat sistem pendidikan pesantren sebagai salah satu solusi untuk
terwujudnya produk pendidikan yang tidak saja cerdik, pandai, lihai, tetapi
juga berhati mulia dan berakhlakul karimah. Hal tersebut dapat dimengerti
karena pesantren memiliki karakteristik yang memungkinkan tercapainya tujuan
yang dimaksud.
Karena itu, sejak lima dasawarsa terakhir diskursus diseputar pesantren
menunjukkan perkembangkan yang cukup pesat. Hal ini tercermin dari berbagai
focus wacana, kajian dan penelitian para ahli, terutama setelah kian diakuinya
kontribusi dan peran pesantren yang bukan saja sebagai “sub kultur” (untuk
menunjuk kepada lembaga yang bertipologi unik dan menyimpang dari dari pola
kehidupan umum di negeri ini) sebagaimana disinyalir Abdurrahman Wahid (1984 :
32) Tetapi juga sebagai “institusi kultural” (untuk menggambarkan sebuah
pendidikan yang punya karakter tersendiri sekaligus membuka diri terhadap
hegemoni eksternal). sebagaimana ditegaskan oleh Hadi Mulyo (1985 : 71).
Dikatakan unik, karena pesantren memiliki karakteristik tersendiri
yang khas yang hingga saat ini menunjukkan kemampuannya yang cemerlang melewati
berbagai episode zaman dengan kemajemukan masalah yang dihadapinya. Bahkan
dalam perjalanan sejarahnya, Ia telah memberikan andil yang sangat besar dalam
ikut serta mencerdaskan kehidupan Bangsa dan memberikan pencerahan terhadap
masyarakat.
Menurut Rahim (2001 : 28), pesantren merupakan sebuah lembaga
pendidikan tertua yang melekat dalam perjalanan kehidupan Indonesia sejak
ratusan tahun yang silam, ia adalah lembaga pendidikan yang dapat dikategorikan
sebagai lembaga unik dan punya karakteristik tersendiri yang khas, sehingga
saat ini menunjukkan kapabilitasnya yang cemerlang melewati berbagai episode
zaman dengan pluralitas polemik yang dihadapinya. Bahkan dalam perjalanan
sejarahnya, pesantren telah banyak memberikan andil dan kontribusi yang sangat
besar dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberikan pencerahan
terhadap masyarakat serta dapat menghasilkan komunitas intelektual yang setaraf
dengan sekolah gubernemen.
Oleh karena itu tak mengherankan bila pakar pendidikan sekalas Ki
Hajar Dewantoro dan Dr. Soetomo pernah mencita citakan model system pendidikan
pesantren sebagai model pendidikan Nasional. Bagi mereka model pendidikan
pesantren merupakan kreasi cerdas budaya Indonesia yang berkarakter dan patut
untuk terus dipertahan kembangkan.
Menurut Nur Cholis Madjid, Seandainya Indonesia tidak mengalami
penjajahan, maka pertumbuhan sistem pendidikan Indonesia akan mengikuti jalur
pesantren sebagaimana terjadi di Barat yang hampir semua universitas terkenal
cikal bakalnya adalah perguruan perguruan yang semula berorientasi keagamaan
semisal univ. Harvard. Sehingga yang ada bukan UI, ITB, UGM, UNAIR dan lain
sebagainya, tetapi mungkin Univ. Tremas, Univ. Krapyak, Tebuireng, Bangkalan
dan seterusnya.( 1997 : 22)
Yang menarik untuk ditelaah adalah mengapa Pesantren --baik sebagai
lembaga pendidikan maupun lembaga sosial-- masih tetap survive hingga saat ini
? Padahal sebelumnya banyak pihak yang memperkirakan pesantren tidak akan
bertahan lama ditengah perubahan dan tuntutan masyarakat yang kian plural dan
kompetitif, bahkan ada yang memastikan pesantren akan tergusur oleh ekspansi
sistem pendidikan umum dan modern.
Tak kurang dari Sutan Ali Syahbana yang mengatakan bahwa sistem
pendidikan pesantren harus ditinggalkan, menurutnya mempertahankan sistem pendidikan
pesantren sama artinya dengan mempertahankan keterbelakangan dan kejumuan kaum
muslimin (1997 : 11). Ada juga yang dengan sinis menyebutkan sistem pendidikan
pesantren hanyalah fosil masa lampau yang sangat jauh untuk memainkan peran di
tengah kehidupan global.
Penilaian psimis ini bila dilacak muncul dari ketidak akuratan
melihat profil Pesantren secara utuh, artinya memang melihat pesantren “hanya
sebagai lembaga tua dengan segala kelemahannya” tanpa mengenal lebih jauh watak
watak barunya yang terus berkembang dinamik, akan selalu menghasilkan penilaian
yang simplifikatif atau bahkan reduktif.
Dari sinilah peneliti tergelitik untuk melakukan penelitian terhadap
pendidikan pondok pesantren tradisional dalam perspektif pendidikan Islam
Indonesia dalam rangka mencari sesuatu yang belum tersentuh dan tidak
terfikirkan oleh sistem pendidikan Islam di Indonesia.
Penelitian ini bergulat dengan refleksi pendidikan Islam di Pondok
Pesantren tradisional dalam bentuk deskriptif. Salah satu tujuannya untuk menyadarkan
masyarakat akan pentingnya pendidikan Islam di dunia ini serta meciptakan
pemahaman pendidikan Islam yang lebih progresif konstekstual sehingga mampu
menjawab tantangan zaman.
No comments:
Post a Comment