Tidak banyak ditemukan dalam literatur berbahasa
Indonesia termasuk peraturan perundang-undangan yang di dalamnya mengatur penggunaan
bukti digital pada acara pembuktian menjelaskan definisi dari bukti digital.
Untuk itu perlu mencari literatur beserta doktrin dari negara lain yang telah
lama menerapkan bukti digital dalam proses hukum. Kelompok kerja yang bernama “The
Scientific Working Group on Digital Evidence” (SWGDE) yang berdiri sejak
Pebruari 1998 bekerjasama dengan Laboratorium Kriminal Federal di Amerika
Serikat (US Federal Crime Laboratory) dan supervisi dari International
Organization on Computer Evidence (IOEC) dalam kajian multidisipliner
memberikan pedoman dan standardisasi terhadap upaya perolehan kembali,
penyajian kembali dan pengujian terhadap bukti digital,
termasuk peralatan audio, pencitraan dan
gambar yang menggunakan elektronik.
Hasil dari kelompok kerja tersebut salah
satunya adalah definisi dari bukti digital (digital evidence).
Definisinya yang diberikan kelompok kerja tersebut adalah “Information of
probative value stored or transmitted in digital form.”194 Definisi tersebut jika diterjemahkan secara bebas sebagai berikut.
Bukti digital adalah segala informasi yang bersifat membuktikan terhadap nilai
yang tersimpan atau ditransmisikan dalam bentuk digital.195 Berdasarkan definisi tersebut, bukti digital tidak hanya meliputi
bukti yang dihasilkan atau ditransmisikan melalui jaringan komputer saja, akan
tetapi juga termasuk perangkat audio, video bahkan telepon selular.
Debra Littlejohn Shinder
mengklasifikasikan digital menjadi dua bagian, yaitu:
Digital evidence can be classified as
original digital evidence (that is, the physical items and data objects
associated with those items at the time the evidence was seized) and duplicate
digital evidence (referring to an accurate digital reproduction of all the data
objects contained on an original physical item).197
Klasifikasi yang diberikan oleh Debra
Littlejohn Shinder terkait dengan bentuk dan sifat dari bukti digital itu
sendiri. Klasifikasi pertama menjelaskan bukti digital yang orisinal, yaitu
bukti digital secara fisik dan data yang terasosiasi dengan perangkat fisik
tersebut ketika bukti digital disita oleh kepolisian.198 Sedangkan klasifikasi kedua merujuk pada bukti digital yang
merupakan hasil duplikasi atau hasil reproduksi dari bukti digital orisinal, di
dalamnya terkadung data sebagaimana yang terdapat pada bukti digital orisinal.
Lebih lanjut Debra Littlejohn juga
menejelaskan, bukti digital secara prinsip memang berbeda dengan bukti
konvensional, tetapi secara sifat memiliki beberapa persamaan. Contohnya adalah
proses pengambilan sidik jari (fingerprints) pada kejahatan konvensional
yang pada satu saat dapat terlihat (visible) dengan mudah, begitu pula
bukti digital yang secara fisik terlihat (contohnya: computer hard disk).
Tetapi disisi lain, sidik jari tidak terlihat begitu saja, melainkan harus
melalui suatu proses tertentu hingga sidik jari tersebut dapat terlihat,
demikian halnya pada bukti digital yang dalam proses untuk mendapatkannya
membutuhkan perangkat keras maupun perangkat lunak tertentu.
No comments:
Post a Comment