a.
Pengertian
Bank Islam atau bank
syari’ah secara teknis mempunyai persamaan pengertian. Para Pakar pebankan Islam memberikan beberapa definisi.
Menurut
Karnaen A. Perwaatmadja, bank syari’ah adalah bank yang beroperasi sesuai
dengan prinsip-prinsip Islam, yakni bank dengan tata cara dan operasinya
mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam. Salah satu unsur yang harus dijauhi
dalam muamalah Islam adalah praktik-praktik yang mengandung unsur riba.[1]
Sedangkan
Warkum Sumitro mengatakan bahwa bank Islam berarti bank yang tata cara
operasinya didasarkan pada tata cara bermuamalah secara Islami, yakni mengacu
kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan hadits. Dalam operasionalisasinya,
bank Islam harus mengikuti atau berpedoman kepada praktik-praktik usaha yang
dilakukan pada zaman Rasulullah SAW, bentuk-bentuk yang sudah ada sebelumnya
tetapi tidak dilarang oleh Rasulullah bentuk-bentuk usaha baru sebagai hasil
ijtihad para ulama atau cendekiawan muslim yang tidak menyimpang dari ketentuan
Al-Qur’an dan hadits.[2]
Senada
dengan pengertian di atas, Amin Azis juga berpendapat bahwa bank Islam adalah
lembaga perbankan yang menggunakan sistem dan operasi berdasarkan syariah
Islam. Hal ini berarti, operasional bank syari ’ah harus sesuai dengan tuntunan
Al-Qur’an maupun hadits, yaitu menggunakan sistem bagi hasil dan imbalan
lainnya sesuai dengan syari’ah Islam.[3]
Dari beberapa
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan bank Islam
adalah sebuah lembaga keuangan yang berfungsi sebagai penghimpun dana dan
menyalurkannya kepada masyarakat. Di mana sistem, tata cara, dan mekanisme
kegiatan usahanya berdasarkan pada syariat Islam, yaitu Al-Qur’an dan hadits.
Dalam Al-Qur’an, istilah bank tidak pernah disebutkan
secara eksplisit, tetapi menurut Arifin, jika yang dimaksud merujuk pada
sesuatu yang memiliki unsur-unsur seperti struktur, manajemen, fungsi, hak dan
kewajiban, maka semua itu disebutkan dengan jelas seperti zakat, shodaqoh,
ghanimah, bai’, dan sebagainya., atau segala sesuatu yang memiliki fungsi atau
peran tertentu yang dilaksanakan dalam kegiatan ekonomi.[4]
Sedangkan dilihat dari sisi ahlak, Al-Qu’an juga
menyebutkan sebuah konsep yang secara eksplisit disebutkan dalam bentuk kisah
maupun perintah. Konsep accountability merupakan contoh kongkrit yang tertera
dalam beberapa ayat, misalnya QS al-Baqarah(2):282-283,
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) LäêZt#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 =çGõ3uø9ur öNä3uZ÷/ 7=Ï?$2 ÉAôyèø9$$Î/ 4 wur z>ù't ë=Ï?%x. br& |=çFõ3t $yJ2 çmyJ¯=tã ª!$# 4 ó=çGò6uù=sù È@Î=ôJãø9ur Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u wur ó§yö7t çm÷ZÏB $\«øx© 4 bÎ*sù tb%x. Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# $·gÏÿy ÷rr& $¸ÿÏè|Ê ÷rr& w ßìÏÜtGó¡o br& ¨@ÏJã uqèd ö@Î=ôJãù=sù ¼çmÏ9ur ÉAôyèø9$$Î/ 4 (#rßÎhô±tFó$#ur ÈûøïyÍky `ÏB öNà6Ï9%y`Íh ( bÎ*sù öN©9 $tRqä3t Èû÷ün=ã_u ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB tböq|Êös? z`ÏB Ïä!#ypk¶9$# br& ¨@ÅÒs? $yJßg1y÷nÎ) tÅe2xçFsù $yJßg1y÷nÎ) 3t÷zW{$# 4 wur z>ù't âä!#ypk¶9$# #sÎ) $tB (#qããß 4 wur (#þqßJt«ó¡s? br& çnqç7çFõ3s? #·Éó|¹ ÷rr& #·Î72 #n<Î) ¾Ï&Î#y_r& 4 öNä3Ï9ºs äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# ãPuqø%r&ur Íoy»pk¤¶=Ï9 #oT÷r&ur wr& (#þqç/$s?ös? ( HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»yfÏ? ZouÅÑ%tn $ygtRrãÏè? öNà6oY÷t/ }§øn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ wr& $ydqç7çFõ3s? 3 (#ÿrßÎgô©r&ur #sÎ) óOçF÷èt$t6s? 4 wur §!$Òã Ò=Ï?%x. wur ÓÎgx© 4 bÎ)ur (#qè=yèøÿs? ¼çm¯RÎ*sù 8-qÝ¡èù öNà6Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ãNà6ßJÏk=yèãur ª!$# 3 ª!$#ur Èe@à6Î/ >äóÓx« ÒOÎ=tæ ÇËÑËÈ
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ Ïjxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u 3 wur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6t ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOÎ=tæ ÇËÑÌÈ
Artinya :“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu’amalah[5]
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa
yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu
orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika
tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan
dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang
mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila
mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun
besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi
Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah
itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa
bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika
kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.
. Jika
kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang [6]
(oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para
saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka
Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan.”(Q.S. Surat Al-Baqarah: 282-283)
Konsep trust (amanah) dalam QS al-Baqarah (2):
283, dan masih banyak ayat lain yang berkaitan dengan konsep keadilan, amar ma’ruf nahi mungkar, menegakkan kebenaran, dan
berlaku sabar dalam rangka menjaga stabilitas lembaga tersebut.[7]
b.Prinsip-Prinsip Prilaku Bisnis Syari’ah
Untuk menyesuaikan dengan aturan dan norma-norma Islam, sudah
semestinya diterapkan dalam perilaku bisnis termasuk dalam hal ini praktek
perbankan Islam, lima
prinsip sebagai berikut :
1). Tidak ada transaksi keuangan berbasis bunga
(riba);
2). Pengenalan pajak religius atau pemberian sedekah,
zakat;
3). Pelarangan produksi barang dan jasa yang
bertentangan dengan sistem nilai Islam (haram);
4). Penghindaran aktivitas ekonomi yang melibatkan maisir
(judi) dan gharar (ketidakpastian);
5). Penyediaan Takaful (asuransi Islam).[8]
No comments:
Post a Comment