Monday, July 2, 2012

Pengertian Al-Mudharabah dan Perhitungan Al-Mudharabah



1. Pengertian Mudharabah
Kata Mudharabah secara etimologi berasal dari kata darb. Dalam bahasa Arab, kata ini termasuk diantara kata yang mempunyai banyak arti. Diantaranya memukul, berdetak, mengalir, berenang, bergabung, menghindar berubah, mencampur, berjalan, dan lain sebagainya.[1] Perubahan makna tersebut bergantung pada kata yang mengikutinya dan konteks yang membentuknya.
Menurut terminologis, mudharabah diungkap secara bermacam-macam oleh para ulama madzhab. Diantaranya menurut madzhab Hanafi, “ suatu perjanjian untuk berkongsi didalam keuntungan dengan modal dari salah satu pihak dan kerja (usaha) dari pihak lain.”[2] Sedangkan madzhab Maliki menamainya sebagai penyerahan uang dimuka oleh pemilik modal dalam jumlah uang yang ditentukan kepada seorang yang akan menjalankan usaha dengan uang itu dengan imbalan sebagian dari keuntungannya.[3]
Madzhab Syafi’i mendefinisikan bahwa pemilik modal menyerahkan sejumlah uang kepada pengusaha untuk dijalankan dalam suatu usaha dagang dengan keuntungan menjadi milik bersama antara keduanya.[4] Sedangkan madzhab Hambali menyatakan sebagai penyerahan suatu barang atau sejenisnya dalam jumlah yang jelas dan tertentu kepada orang yang mengusahakannya dengan mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya.[5]
Mudharabah adalah akad antara pihak pemilik modal (shahibul mal) dengan pengelola (mudharib) untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan. Pendapatan atau keuntungan  tersebut dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati di awal akad. [6]
Mudharabah adalah akad yang telah dikenal oleh umat muslim sejak zaman Nabi, bahkan telah dipraktekkan oleh bangsa Arab sebelum turunnya Islam. Ketika Nabi Muhammad SAW berprofesi sebagai pedagang,[7] ia melakukan akad mudharabah dengan Khadijah. Dengan demikian, ditinjau dari segi hukum Islam, maka praktek mudharabah ini dibolehkan baik menurut Al Qur’an, Sunnah maupun Ijma’.  [8] 
Dalam praktek mudharabah antara Khadijah dengan Nabi, saat itu Khadijah mempercayakan barang dagangannya untuk dijual ke Nabi Muhammad saw ke luar negeri. Dalam kasus ini Khadijah berperan sebagai pemilik modal (shahib al-māl) sedangkan Nabi Muhammad saw berperan sebagai pelaksana usaha (mudharib).  [9]
Al Qur’an membolehkan Mudharabah ini dengan mengambil dasar QS. Al Muzammil  ayat 20 : “ …..dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT “.[10] Dalam ayat tersebut terdapat kata yadribun yang asal katanya sama dengan mudharabah, yakni dharaba yang berarti mencari pekerjaan atau menjalankan usaha.
Juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Mutholib jika memberikan dana kepada mitranya secara mudharabah ia mensyaratkan supaya dananya tidak dibawa untuk mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi aturan tersebut, yang berhutang bertanggungjawab atas dana tersebut. Disampaikannya syarat-syarat tersebut kepada Rasullah SAW dan Rasulullah SAW dan Rasulullah pun membolehkannya. (HR. Tabrani).[11]
Dari Shalih bin Shuhaib, r.a. bahwa r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan, yaitu : jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), serta mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah tangga dan bukan untuk dijual” (HR. Ibnu Majjah no. 2280, kitab at-Tijarah). [12] 
Menurut Antonio, mudharabah berasal dari kata dharib, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam perjalanan usahanya, secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan 100 % modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola, seandainya kerugian tersebut akibat kecurangan atau kelalaian pengelola, maka pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut.[13]
Sudarsono[14] mengatakan juga bahwa mudharabah berasal dari kata adhdharbu fi asdhi, yaitu bepergian untuk urusan dagang. Disebut juga qiradh yang berasal dari kata al-qardhu yang berarti alqoth’u (potongan), karena pemilik memotong   sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungan. Secara teknis mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal, selama kerugian itu akibat si pengelola, si pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut.

2. Pembiayaan Mudharabah
Dalam pembiayaan Bank Syariah dan BMT, mudharabah merupakan suatu bentuk kerjasama usaha yang terjadi dengan satu pihak sebagai penyedia modal sepenuhnya dan pihak lainnya sebagai pengelola agar keduanya berbagi keuntungan menurut kesepakatan bersama dengan kesanggupan untuk menanggung resiko. [15] Bagian keuntungan yang disepakati itu harus berbentuk prosentase (nisbah) dan yang berasal dari kesepakatan kedua belah pihak. Akan tetapi jika terjadi kerugian yang ditimbulkan dari resiko bisnis dan bukan gara-gara kelalaian pengusaha, maka pemilik modal akan menanggung kerugian modal itu seluruhnya (100 %) dan pengusaha terkena kerugian dari kehilangan seluruh tenaga dan waktunya atau 0 % modal.[16] Pembagian kerugian ini didasarkan pada kemampuan menangung kerugian masing-masing yang tidak sama.
Pada konsepnya, mudharabah menggunakan prinsip bagi untung rugi yang dianggap merupakan konsekuensi dari adanya ketidakpastian dalam kontrak investasi. Akan tetapi, menurut Abdullah Saeed, pada kenyataannya bank Islam (bank Syariah, istilah yang digunakan di Indonesia) hampir menghilangkan karakter ketidaktentuan hasil usaha dalam kontrak mudharabah, melalui berbagai pertimbangan.[17]
Praktek kontrak mudharabah hampir sama dengan bisnis beresiko rendah atau bisnis yang tidak beresiko. Oleh karenanya penerapan transaksi mudharabah dalam perbankan Islam dinilai oleh Timur Kuran terdorong untuk menggunakan “bunga yang disamarkan (thinly disguised interest)”[18] atau dengan kata lain bisa disebut dengan bunga yang direkayasa.
Perhitungan nisbah bagi hasil sangat dipengaruhi oleh tingkat resiko yang mungkin terjadi. Semakin tinggi tingkat resikonya, akan semakin besar nisbah bagi hasil dan sebaliknya. Oleh karenanya pengelola BMT harus selektif dalam memilih usaha yang akan dibiayai. Biasanya pembiayaan Mudharabah dapat dijalankan untuk proyek-proyek yang sudah pasti.
3. Jenis-jenis mudharabah
             Secara umum, mudharabah dibagi menjadi dua yaitu mudharabah mutlaqah (Unrestricted Investment Account) dan mudharabah muqoyyadhah (Restricted Investment Account).[19]

a. Mudharabah Mutlaqah (bebas)
             Mudharabah Mutlaqah atau disebut dengan (Unrestricted Investment Account) adalah akad kerja antara dua orang atau lebih, atau antara shahibul maal selaku investor dengan mudharib selaku pengusaha yang berlaku secara luas. Atau dengan kata lain pengelola (mudharib) mendapatkan hak keleluasaan (disrectionary right) dalam pengelolaan dana, jenis usaha, daerah bisnis, waktu usaha,  maupun yang lain.
b. Mudharabah Muqoyyadah (terikat)
             Disebut juga dengan istilah (Restricted Investment Account) yaitu kerjasama dua orang atau lebih atau antara shahibul maal selaku investor dengan pengusaha atau mudharib, investor memberikan batasan tertentu baik dalam hal jenis usaha yang akan dibiayai, jenis instrumen, resiko, maupun pembatasan lain yang serupa.[20]


[1] Al-Mu’jām al-Wasit, Al-juz’ al-awwal, Cet III, (Kairo, Majma’ al-lughah al-Arabiyah), 1972.

[2] Ibn. Abidin, Radd al-Mukhtār ‘ala al-Durr al Mukhtār, juz IV, (Beirut: Dar Ihya al-Turas,1987) hal 483.
[3] Al-Dasuqi, Hasiyah al-Dasuqi’ala al-Sarh al-Kabir, Juz III, (Beirut : Dar al-Fikr,1989),hal 63.
[4]  Al-Nawawi, Riyad al-Salihin, Vol.IV, (Beirut : Dar al-Fikr,tt), hal 289.
[5] Al-Bahuti, Kasysyaf  al-Qina,Vol.II, (Beirut : Dar al-Fikr,tt), hal.509.
[6] Wirdyaningsih, Bank dan asuransi Islam di Indonesia, Ed.I.Cet. 1, Jakarta, Kencana, 2005,hal.130
[7] Kala itu Nabi Muhammad SAW  berusia kira-kira 20-25 tahun, dan belum menjadi Nabi (Adiwarman A Karim, 2004, Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan Edisi 2, PT Raja Grafindo, Jakarta) hal. 180;
[8] M. Anwar Ibrahim, “Konsep Profit dan Loss Sharing System Menurut Empat Madzhab”. Makalah tidak diterbitkan, hal 1-2. Menurut Al Qur’an, lihat misalnya dalam QS (73:20). Menurut Sunnah, diantaranya hadits Ibnu Abbas ra, bahwa Nabi mengakui syarat-syarat mudharabah yang ditetapkan Al Abbas bin Abdul Muthalib kepada mudharib. Menurut ijma’, karena sistem ini sudah dikenal sejak zaman Nabi dan zaman sesudahnya. Para sahabat banyak yang mempraktekkannya dan tidak ada yang mengingkarinya. 
[9]  Sayyid Sabbiq, Fiqus Sunnah (Terjemahan), Bandung, Al Maarif
[10] Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al Qur’an Depag RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Toha Putra,1989), hal 990.

[11]  M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Teori dan Praktek, (Jakarta, Gema Insani Press dengan Tazkia Cendikia, 2001)  hal 96.
[12]  Ibid.
[13] Ibid, hal. 95.

[14] Sudarsono, Bank, hal.54-55.
[15] Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah (Jakarta, Djambatan,2001). Hal 164-167.

[16] Ibid, hal 168.
[17] Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, Penerjemah. M. Ufuqul Mubin, Nurul Huda dan Ahmad Sahidah (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003) hal. 105.
[18] http:// www.pupress.princeton.edu mengenai karya Timur Kuran, Islam and Mammon : The Economic Predicaments of Islamism (Princeton : Princeton University,2004), bab I.
[19] Adiwarman, Bank, hal. 188

No comments:

Post a Comment