Pendirian BMT didesain untuk bermitra dengan usaha-usaha mikro yang
tidak bisa dijamah oleh perbankan, baik konvensional maupun syariah. Selama ini
perbankan masih kesulitan untuk mengalirkan dananya ke usaha mikro, hal ini
karena jenis usaha ini dinilai kurang ekonomis untuk mendapatkan pembiayaan
dari bank. Belum lagi karena berbagai kendala seperti masalah agunan, serta
kondisi administrasi keuangan yang dinilai kurang memenuhi syarat.
Kegiatan utama BMT adalah menghimpun dana dan mendistribusikan
kembali kepada anggota dengan imbalan bagi hasil atau mark up/margin sesuai
syariah.
Dasar-dasar pengelolaan BMT dengan sistim syari’ah tidak menggunakan
bunga sebab bunga adalah riba. Komitmen ini berdasarkan pada pengertian
mengenai Q.S. 2 :278-279, 2 : 275-276, 3:130, 4:29, dan 30:39. Apalagi setelah
MUI, dalam Rakernas di Jakarta Desember 2004, menyatakan fatwanya bahwa bunga
bank haram hukumnya sebab bunga bank adalah riba. Seiring dengan gagasan
Islamisasi perbankan, maka BMT pun mempedomani prinsip bagi hasil sebagai
pengganti sistim bunga.[1]
Selama ini demi menjaga konsistensi lembaga keuangan yang
mengatasnamakan Islam di Indonesia terutama pada level BMT, saat ini lingkup
lembaga keuangan Islam sangat mendesak untuk mengembangkan pertukaran pandangan
mengenai kemampuan produk-produk keuangan mereka sebagai satu kesatuan dalam
kerangka pengganti sistim bunga, yang seharusnya lebih mampu membentuk keadilan
ekonomi. Upaya itu adalah kebutuhan dalam kerangka menghilangkan kelemahan
lembaga keuangan Islam karena tidak nyangkutnya teori dengan praktik atau
antara ilmu dengan kenyataan.[2]
Dalam pembiayaan, fungsi dan layanan BMT tidak berbeda dengan bank
syari’ah. BMT juga menjadi penyandang dana bagi pengusaha yang datang kepadanya untuk mengajukan permohonan
dana. Besar kecil dana dalam permohonan pengusaha itu pada akhirnya mendapatkan
ketetapannya dari pihak BMT.
Jenis-jenis layanan melalui produk BMT pun tidak berbeda dari jenis
layanan bank syari’ah, yang dapat dibagi menjadi 3 :
a. Sistim jual
beli
1) Ba’i Bitsaman
Ajil
Penjualan barang kepada anggota dengan mengambil keuntungan (margin)
yang diketahui dan disepakati bersama, pembayaran dilakukan dengan cara
mengangsur.
2) Murobahah
Penjualan barang kepada anggota dengan mengambil keuntungan (margin)
yang diketahui dan disepakati bersama, pembayaran dilakukan dengan cara jatuh
tempo/sekaligus.
3) Ba’i As-Salam
Penjualan hasil produksi (komoditi) yang terlebih dahulu dipesan
anggota dengan kriteria tertentu yang sudah umum. Anggota harus membayar uang
muka kemudian barang dikirim belakangan (setelah jadi).
4) Jual beli Istisna’
Penjualan hasil produksi (komoditi) pesanan yang didasarkan kriteria
tertentu (yang tidak umum) anggota boleh membayar pesanan ketika masih dalam
proses pembuatan/setelah barang itu jadi dengan cara sekaligus/mengangsur.
5) Ijaroh
Pembelian suatu barang yang dilakukan dengan cara sewa terlebih
dahulu setelah masa sewa habis maka anggota membeli barang sewa tersebut.[3]
b. Sistim Bagi
Hasil
1). Musyarokah
Kerjasama penyertaan modal dan masing-masing menentukan jumlahnya
sesuai kesepakatan bersama yang digunakan untuk mengelola suatu usaha/proyek
tertentu.
Pada prinsipnya dalam pembiayaan musyarokah
tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, Lembaga
Keuangan Syariah dapat meminta jaminan. Kerugian harus dibagi antara para
anggota secara proporsional menurut saham masing-masing dalam modal.
Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan
musyarokah akan tetapi kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang
mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari lainnya dalam hal ini ia boleh
menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya. Hal ini dapat dijadikan dasar
dalam penentuan nisbah dimana anggota BMT sebagai pengelola usaha mendapatkan
porsi yang lebih tinggi.
2). Mudharabah
Pemberian modal kepada anggota yang mempunyai skill untuk mengelola
usaha/proyek yang dimilikinya. Pembagian bagi hasil usaha ditentukan
berdasarkan kesepakatan. Modal 100 % dari shohibul maal, tidak terdapat jadwal
angsuran, bagi hasil tidak ditetapkan dimuka dan sifatnya tidak tetap,
tergantung fluktuasi keuntungan yang diperoleh.
BMT sebagai penyandang dana menanggung semua kerugian akibat dari
mudharabah kecuali jika mudharib /anggota melakukan kesalahan yang disengaja,
lalai/menyalahi perjanjian. Dalam akad ini biaya operasional dibebankan kepada
mudharib.[4]
c. Sistim Jasa
1). Qord
Pemberian pinjaman untuk kebutuhan mendesak dan bukan bersifat
konsumtif. Pengembalian pinjaman sesuai dengan jumlah yang ditentukan dengan
cara angsur atau tunai. Contohnya untuk biaya rumah sakit, biaya pendidikan,
biaya tenaga kerja.
2). Al-Wakalah
Pemberian untuk melaksanakan urusan dengan batas kewenangan dan
waktu tertentu. Penerima kuasa mendapat imbalan yang ditentukan dan disepakati
bersama.
3).
Al-Hawalah
Penerimaan pengalihan utang/piutang dari pihak lain untuk kebutuhan
mendesak dan bukan bersifat konsumtif. BMT sebagai penerima pengalihan hutang
/piutang akan mendapatkan fee dari
pengaturan pengalihan (management fee).
4). Rahn
Pinjaman dengan cara menggadaikan barang sebagai jaminan utang
dengan membayar jatuh tempo. Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhum) ditanggung oleh penggadai (rahin). Barang jaminan adalah milik
sendiri (rahin), untuk itu hendaknya
rahin bersedia mengisi surat
pernyataan kepemilikan.
5).
Kafalah
Pemberian garansi kepada anggota yang akan mendapatkan pembiayaan
(pelaksanaan suatu usaha/proyek) dari pihak lain. BMT mendapatkan fee dari anggota sesuai dengan
kesepakatan bersama. [5]
Sejalan dengan sejarah kemunculan Bank Islam, disini diperlukan
suatu penegasan terhadap kedudukan produk-produk tersebut sebagai pengganti
bunga bank. Prinsip bagi hasil didalam BMT menjadi gagasan yang mengemuka dalam
upaya mencari pengganti bunga, dan penerapannya dilaksanakan dalam pembiayaan mudharabah dan musyarakah.
Didalam pembahasan selanjutnya hanya akan dibatasi pembahasan
mengenai pembiayaan mudharabah.
[1] Penegasan ini diketahui dari permulaan
pendirian bank syari’ah dan kemudian BMT. Hingga sekarang ini penilaian bahwa
bunga adalah riba mungkin cenderung berkembang kepada pandangan bahwa riba itu adalah bunga. “ Sistim bunga “
dinyatakan mempunyai dampak buruk berupa pertentangan dengan nilai akidah oleh
karena perolehan keuntungan yang ditetapkan dimuka tanpa mengindahkan untung
atau rugi dari usaha yang dibiayai dengan uang pinjaman; pertentangan dengan
nilai keadilan yang terjadi pada peminjaman baik produktif maupun konsumtif;
penyebab kejahatan moral berupa terbentuknya sifat rakus kehartaan, egoisme
atau individualisme, hilangnya persaudaraan sosial dan sifat saling mengasihi,
dan melemahnya etos kerja di sektor riil oleh karena pembungaan uang; penyebab
kebencian dan permusuhan sesama dan penyebab kejahatan ekonomi yaitu penciptaan
tingginya harga jual dan ekonomi biaya tinggi untuk pinjaman produktif dan
penurunan daya beli masyarakat gara-gara pinjaman konsumtif dengan sistim
bunga. Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul- Mal wa Tamwil (BMT), (Yogyakarta , UII Press, 2003), hal.33-34.
[2] Lihat pencermatan Kuntowijoyo, seputar perkembangan sejarah umat
dalam Muslim tanpaMasjid, (Bandung , Mizan,2001) hal
102 dan dalam keseuruhan gagasan ilmu sosial profetiknya. Disamping itu
kelemahan mendasar sistim perbankan Islam adalah tidak tahan kritik baik dalam
teori maupun praktik.
[3] Ibid, hal. 168-169
[4] Ibid, hal 170-171
[5] Ibid, hal 171-174
No comments:
Post a Comment