Tuesday, July 3, 2012

penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS )


penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS )
     Di Indonesia, lembaga perdamaian telah diakui keberadaannya melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaaian Sengketa. Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa negara memberi kebebasan kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalah sengketa bisnisnya di luar lembaga peradilan, baik melalui konsultasi, mediasi, negosiasi, konsiliasi, atau penilaian para ahli.[1]
     Sedangkan lembaga tahkim disini yang dimaksud adalah penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS ). Sebagai gambaran tentang peraturan dan prosedur Badan Arbitrase Syari’ah Nasional  (BASYARNAS) adalah sebagai berikut:
1.      Penagajuan  Permohonan
 Proses arbitrase dimulai dengan didaftarkannya surat permohonan  untuk mengadakan arbitrase oleh Sekretaris  dalam Register  Badan Arbitrase  Syari’ah Nasional (BASYARNAS).  Dalam surat permohonannya tersebut harus memuat sekurang-kurangnya nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan  kedua belah pihak,  suatu uraian singkat tentang salinan naskah perjanjian Arbitrasenya dan suatu surat kuasa khusus jika diajukan oleh kuasa hukum.
2.      Selanjutnya,  surat permohonan itu akan diperiksa oleh Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) ,  untuk menentukan apakah Badan Arbitrase Nasional (BASYARNAS) berwenang memeriksa dan memutuskan sengketa arbitrase yang dimohonkan tadi.  Dalam hal perjanjian atau klausula arbitrase dianggap tidak cukup kuat dijadikan dasar kewenangan Badan Arbitrase Nasional (BASYARNAS) untuk memeriksa sengketa yang diajukan,  maka Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) akan meyatakan permohonan itu tidak dapat diterima  (niet outvankelijk  verklaard)  yang dituangkan dalam sebuah penetapan yang dikeluarkan oleh Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS)  sebelum pemeriksaan dimulai atau dapat pula dilakukan oleh arbiter tunggal atau arbiter majelis yang ditunjuk dalam hal pemeriksaan telah dimulai.  Sebaliknya, jika perjanjian atau klausula arbitrase dianggap telah mencukupi,  maka Ketua Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) segera menetapkan dan menunjuk arbiter tunggal atau majelis yang akan memeriksa dan memutus sengketa berdasarkan berat ringannya sengketa.  Arbiter yang ditunjuk tersebut dapat dipilih dari arbiter atau menunjuk seorang ahli dalam bidang khusus yang diperlukan untuk menjadi arbiter, karena pemeriksaanya memerlukan suatu keahlian khusus.  Dengan demikian susunan arbiter dapat pula dalam bentuk tunggal atau majelis.
3.      Arbiter yang ditunjuk memerintahkan untuk menyampaikan salinan surat permohonan kepada Termohon disertai perintah untuk menanggapi permohonan tersebut dan memberikan jawabannya secara tertulis selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya salinan surat permohonan dan surat panggilan.  Segera setelah diterimanya  jawaban dari  Termohon, atas perintah Arbiter tunggal atau Ketua ArbiterMajelis,  salinan dari jawaban tersebut diserahkan kepada Pemohon dan bersamaan dengan itu memerintahkan kepada para pihak untuk menghadap di muka sidang Arbitrase pada tanggal yang ditetapkan, selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal dikeluarkannya perintah itu,  dengan pemberitahuan bahwa mereka boleh mewakilkan kepada kuasa hukumnya masing-masing dengan surat kuasa khusus.
4.      Pemeriksaan persidangan Arbitrase dialakukan di tempat kedudukan Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS),  kecuali ada persetujuan dari kedua belah pihak,  pemeriksaan dapat dilakukan di tempat lain.  Arbiter Tunggal  atau Majelis dapat melakukan sidang ditempat untuk memeriksa saksi,  barang, atau benda dokumen yang mempunyai hubungan dengan para pihak yang bersengketa.  Putusan harus diambil dan dijatuhkan di tempat kedudukan Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS).
5.      Selama proses dan pada setiap tahap pemeriksaan berlangsung Arbiter tunggaal atau majelis harus memberi perlakuan dan kesempatan yang sama sepenuhnya terhadap para pihak (equality before the law)  untuk membela dan mempertahankan kepentingan yang disengketekannya.  Arbiter tunggal atau Majelis ,  baik atas pendapat sendiri atau para pihak dapat melakukan pemeriksaan dengan mendengar keterangan saksi,  termasuk saksi  ahli  dan pemeriksaan secara lisan di antara para pihak,  setiap bukti atau dokumen yang disampaikan salah satu pihak kepada Arbiter Tunggal atau Majelis salinannya harus disampaikan kepada pihak lawan.  Namun, pemeriksaan dibolehkan secara lisan (oral hearing).   Tahap pemeriksaan dimulai dari jawab-menjawab (replik-duplik),  pembuktian dan putusan dilakukan berdasarkan kebijakan Arbiter Tunggaal atau Majelis.
6.      Dalam jawabannya, atau paling lambat pada sidang pertama pemeriksaan,  Termohon dapat mengajukan suatu tuntutan balasan (reconventie).   Terhadap bantahan yang diajukan Termohon, Pemohon dapat mengajukan jawaban (replik) yang dibarengi dengan tambahan tuntutan (Additional Claim)  asal hal itu mempunyai hubungan yang sangat erat langsung dengan pokok yang disengketekan serta termasuk dalam Yurisdiksi Badaan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS),  baik tuntutan konvensi, rekonvensi maupun addional Claim akan diperiksa dan diputus oleh Arbiter atau maajelis terlebih dulu akan mengusahakan tercapainya perdamaian.   Apabila usaha tersebut berhasil,  maka Arbiter Tunggal  akan membuat akta perdamaian dan mewajibkan kedua belah pihak untuk memenuhi dan mentaati perdamaian tersebut masing-masing.  Sebaliknya, apabila perdamaian tidak berhasil, maka Arbiter Tunggal atau Majelis akan meneruskan pemeriksaan sengketa  yang dimohon.   Dalam hal yang diteruskan para pihak dipersilakan untuk memberikan argumentasi dan pendirian masing-masing serta mengajukan bukti-bukti yang dianggap perlu untuk mengatakannya.  Seluruh pemeriksaan dilakukan secara tertutup sesuai dengan saran arbitrase yang tertutup.
7.      Arbiter tunggal atau Majelis  akan menutup pemeriksaan sengketa arbitrase dan menetapkan suatu hari sidang untuk mengucapkan putusan yang diambil,  bila menganggap pemeriksaan telah cukup, dengan tidak menutup kemungkinan dapat membuka sekali lagi pemeriksaan (to open) sebelum putusan dijatuhkan bila dianggap perlu.
8.      Putusan diambil dan diputuskan dalam suatu sidang yang dihadiri kedua belah pihak.  Bila para pihak telah dipanggil secara patut, tetapi jika tidak ada yang hadir, maka putusan tetap diucapkan.   Seluruh proses pemeriksaan sampai diucapkannya putusan oleh Arbiter Tunggal atau Majelis akan diselesaikan selambat-lambatnya sebelum jangka waktu 6 (enam) bulan habis,  terhitung sejak dipanggilnya pertama kali para pihak untuk menghadiri sidang pertama pemeriksaan.
9.      Putusan Arbitrase tersebut harus memuat alasan-alasan,  kecuali para pihak menyetujui putusan tidak perlu membuat alasan.  Arbiter Tunggal atau Majelis harus memutus berdasar kepatutan dan keahlian sesuai dengan ketentuaan hukum yang berlaku bagi perjanjiaan yang menimbulkan sengketa dan disepakati para pihak.   Putusannya bersifat final dan mengikat para pihak yang bersengketa dan para pihak wajib mentaati seta memenuhi secara suka rela seperti yang disebut di atas. Apabila putusan tidak dipenuhi secara suka rela,  maka putusan  dijalankan menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 637 RV  dan Pasal 639 RV. [2]  
     Walaupun putusan arbiter itu bersifat final , namun Peraturan Prosedur Badan Arbitrase Syari’ah Nasional memberikan kemungkinan kepada salah satu pihak untuk mengajukan secara tertulis, permintaan pembatalan putusan (annulment of the award) arbitrase tersebut yang disampaikan kepada sekretaris BASYARNAS dan tembusan kepada pihak lawan sebagai pemberitahuan. Pengajuan pembatalan putusan  paling lambat dalam waktu 60 (enam puluh) hari dari tanggal putusan diterima, kecuali mengenai alasan penyelewengan dan hal itu berlaku paling lama dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak putusan dijatuhkan. Permintaan pembatalan putusan hanya dapat dilakukan berdasarkan salah satu alasan sebagai berikut:
a.       Penunjukan Arbiter Tunggal atau Majelis tidak sesuai dengan ketentuan,
b.       Putusan melampaui batas kewenangan BASYARNAS,
c.       Putusan melebihi yang diminta para pihak,
d.      Terdapat penyelewengan diantara saalah salah seorang arbiter,
e.       Putusan jauh menyimpang dari ketentuan pokok dan putusan tidak memuat alasan-alasan yang menjadi landasan pengambilan putusan.[3]
     Sementara itu dalam tulisan Dr. Rifyal Ka’bah yang berjudul” Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Sebagai Sebuah Kewenangan Baru Peradilan Agama” yang termuat dalam Majalah Hukum Varia Peradilan tahun Ke XXI Nomor 245 April 2006, lebih banyak mambahas tentang pengalaman BASYARNAS dalam menyelesaian sengketa ekonomi syari’ah yang diajukan kepadanya, dimana didalam menyelesaiakan sengketa ekonomi syari’ah BASYARNAS  menggunakan  dua hukum yang berbeda, yakni hukum Islam seperti yang diformulasikan oleh DSN (Dewan Syari’ah Nasional) dan pasal-pasal dalam KUHPerdata. Hal ini dilakukan karena ketiadaan peraturan perUndang-Undangan tentang perbankan syari’ah secara khusus dan ekonomi syari’ah secara umum.[4]
     Selain kedua referensi di atas terdapat satu tesis MSI-UII Yogyakarta yang disusun oleh Yususf Buchori dengan judul “Litigasi Sengketa Perbankan Syari’ah  Dalam Persektif Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (Study Kasus Putusan Pada Pengadilan Agama Purbalingga)” ,  dalam pembahasannya lebih terfokus kepada studi kasus pada sengketa perbankan syari’ah yang diadili dan diselesaikan oleh pengadilan Agama Purbalinga, bukan kepada penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah pada umumnya. Sebaagaimana dalam salah satu kesimpulannya Yusuf Buchori menyatakan, bahwa dalam menyelesaikan sengketa perbankan syari’ah terdapat dua lapangan hukum (two level playing fields) , yaitu syari’ah level dan legal level. Hal ini dikarenakan  dalam praktek Bank Syari’ah dalam mengadakan akad  secara formal berpedoman kepada KHUPerdata (BW) dan secara materiil atau substansinya berdasarkan prinsip syari’ah.[5]
     Dari ketiga referensi di atas secara jelas belum ada yang membahas proses penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah  dilingkungan Peradilan Agama. Oleh karena itu cukup alasan bagi diri Penyusun  untuk menyusun tesis ini dalam rangka untuk menambah khazanah  keilmuan dalam hal penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah, khususnya bagi lembaga Pengadilan Agama.


     [1]Ibid.
     [2]Ibid, hal. 65.
     [3] Ibid.
     [4] Rifyal Ka'bah, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari'ah …,hal. 20.
     [5] Yusuf Buchori, Litigasi Sengketa Perbankan Syari’ah  Dalam Persektif Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (Study Kasus Putusan Pada Pengadilan Agama Purbalingga)” , Tesis MSI-UII Yogyakarta, 2007, hal. 148.  

No comments:

Post a Comment