penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah melalui Badan Arbitrase
Syari’ah Nasional (BASYARNAS )
Di Indonesia, lembaga perdamaian telah
diakui keberadaannya melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaaian Sengketa. Dalam Undang-Undang tersebut
dinyatakan bahwa negara memberi kebebasan kepada masyarakat untuk menyelesaikan
masalah sengketa bisnisnya di luar lembaga peradilan, baik melalui konsultasi,
mediasi, negosiasi, konsiliasi, atau penilaian para ahli.[1]
Sedangkan lembaga tahkim disini yang
dimaksud adalah penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah melalui Badan Arbitrase
Syari’ah Nasional (BASYARNAS ). Sebagai gambaran tentang peraturan dan prosedur
Badan Arbitrase Syari’ah Nasional
(BASYARNAS) adalah sebagai berikut:
1.
Penagajuan Permohonan
Proses arbitrase dimulai dengan didaftarkannya
surat
permohonan untuk mengadakan arbitrase
oleh Sekretaris dalam Register Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS). Dalam surat
permohonannya tersebut harus memuat sekurang-kurangnya nama lengkap dan tempat
tinggal atau tempat kedudukan kedua
belah pihak, suatu uraian singkat
tentang salinan naskah perjanjian Arbitrasenya dan suatu surat kuasa khusus jika diajukan oleh kuasa
hukum.
2.
Selanjutnya, surat permohonan itu akan diperiksa oleh
Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) ,
untuk menentukan apakah Badan Arbitrase Nasional (BASYARNAS) berwenang
memeriksa dan memutuskan sengketa arbitrase yang dimohonkan tadi. Dalam hal perjanjian atau klausula arbitrase
dianggap tidak cukup kuat dijadikan dasar kewenangan Badan Arbitrase Nasional
(BASYARNAS) untuk memeriksa sengketa yang diajukan, maka Badan Arbitrase Syari’ah Nasional
(BASYARNAS) akan meyatakan permohonan itu tidak dapat diterima (niet outvankelijk verklaard) yang dituangkan dalam sebuah penetapan yang
dikeluarkan oleh Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) sebelum pemeriksaan dimulai atau dapat pula
dilakukan oleh arbiter tunggal atau arbiter majelis yang ditunjuk dalam hal
pemeriksaan telah dimulai. Sebaliknya,
jika perjanjian atau klausula arbitrase dianggap telah mencukupi, maka Ketua Badan Arbitrase Syari’ah Nasional
(BASYARNAS) segera menetapkan dan menunjuk arbiter tunggal atau majelis yang
akan memeriksa dan memutus sengketa berdasarkan berat ringannya sengketa. Arbiter yang ditunjuk tersebut dapat dipilih
dari arbiter atau menunjuk seorang ahli dalam bidang khusus yang diperlukan
untuk menjadi arbiter, karena pemeriksaanya memerlukan suatu keahlian
khusus. Dengan demikian susunan arbiter
dapat pula dalam bentuk tunggal atau majelis.
3.
Arbiter yang ditunjuk
memerintahkan untuk menyampaikan salinan surat
permohonan kepada Termohon disertai perintah untuk menanggapi permohonan
tersebut dan memberikan jawabannya secara tertulis selambat-lambatnya dalam
waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya salinan surat
permohonan dan surat
panggilan. Segera setelah
diterimanya jawaban dari Termohon, atas perintah Arbiter tunggal atau
Ketua ArbiterMajelis, salinan dari
jawaban tersebut diserahkan kepada Pemohon dan bersamaan dengan itu
memerintahkan kepada para pihak untuk menghadap di muka sidang Arbitrase pada
tanggal yang ditetapkan, selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari
terhitung sejak tanggal dikeluarkannya perintah itu, dengan pemberitahuan bahwa mereka boleh
mewakilkan kepada kuasa hukumnya masing-masing dengan surat kuasa khusus.
4.
Pemeriksaan persidangan
Arbitrase dialakukan di tempat kedudukan Badan Arbitrase Syari’ah Nasional
(BASYARNAS), kecuali ada persetujuan
dari kedua belah pihak, pemeriksaan dapat
dilakukan di tempat lain. Arbiter
Tunggal atau Majelis dapat melakukan
sidang ditempat untuk memeriksa saksi,
barang, atau benda dokumen yang mempunyai hubungan dengan para pihak
yang bersengketa. Putusan harus diambil
dan dijatuhkan di tempat kedudukan Badan Arbitrase Syari’ah Nasional
(BASYARNAS).
5.
Selama proses dan pada setiap
tahap pemeriksaan berlangsung Arbiter tunggaal atau majelis harus memberi
perlakuan dan kesempatan yang sama sepenuhnya terhadap para pihak (equality
before the law) untuk membela dan
mempertahankan kepentingan yang disengketekannya. Arbiter tunggal atau Majelis , baik atas pendapat sendiri atau para pihak
dapat melakukan pemeriksaan dengan mendengar keterangan saksi, termasuk saksi ahli
dan pemeriksaan secara lisan di antara para pihak, setiap bukti atau dokumen yang disampaikan
salah satu pihak kepada Arbiter Tunggal atau Majelis salinannya harus
disampaikan kepada pihak lawan. Namun,
pemeriksaan dibolehkan secara lisan (oral hearing). Tahap pemeriksaan dimulai dari
jawab-menjawab (replik-duplik),
pembuktian dan putusan dilakukan berdasarkan kebijakan Arbiter Tunggaal
atau Majelis.
6.
Dalam jawabannya, atau paling
lambat pada sidang pertama pemeriksaan,
Termohon dapat mengajukan suatu tuntutan balasan (reconventie). Terhadap bantahan yang diajukan Termohon,
Pemohon dapat mengajukan jawaban (replik) yang dibarengi dengan tambahan
tuntutan (Additional Claim) asal
hal itu mempunyai hubungan yang sangat erat langsung dengan pokok yang
disengketekan serta termasuk dalam Yurisdiksi Badaan Arbitrase Syari’ah
Nasional (BASYARNAS), baik tuntutan
konvensi, rekonvensi maupun addional Claim akan diperiksa dan diputus
oleh Arbiter atau maajelis terlebih dulu akan mengusahakan tercapainya
perdamaian. Apabila usaha tersebut
berhasil, maka Arbiter Tunggal akan membuat akta perdamaian dan mewajibkan
kedua belah pihak untuk memenuhi dan mentaati perdamaian tersebut
masing-masing. Sebaliknya, apabila
perdamaian tidak berhasil, maka Arbiter Tunggal atau Majelis akan meneruskan
pemeriksaan sengketa yang dimohon. Dalam hal yang diteruskan para pihak
dipersilakan untuk memberikan argumentasi dan pendirian masing-masing serta
mengajukan bukti-bukti yang dianggap perlu untuk mengatakannya. Seluruh pemeriksaan dilakukan secara tertutup
sesuai dengan saran arbitrase yang tertutup.
7.
Arbiter tunggal atau Majelis akan menutup pemeriksaan sengketa arbitrase dan
menetapkan suatu hari sidang untuk mengucapkan putusan yang diambil, bila menganggap pemeriksaan telah cukup,
dengan tidak menutup kemungkinan dapat membuka sekali lagi pemeriksaan (to
open) sebelum putusan dijatuhkan bila dianggap perlu.
8.
Putusan diambil dan diputuskan
dalam suatu sidang yang dihadiri kedua belah pihak. Bila para pihak telah dipanggil secara patut,
tetapi jika tidak ada yang hadir, maka putusan tetap diucapkan. Seluruh proses pemeriksaan sampai
diucapkannya putusan oleh Arbiter Tunggal atau Majelis akan diselesaikan
selambat-lambatnya sebelum jangka waktu 6 (enam) bulan habis, terhitung sejak dipanggilnya pertama kali
para pihak untuk menghadiri sidang pertama pemeriksaan.
9.
Putusan Arbitrase tersebut
harus memuat alasan-alasan, kecuali para
pihak menyetujui putusan tidak perlu membuat alasan. Arbiter Tunggal atau Majelis harus memutus
berdasar kepatutan dan keahlian sesuai dengan ketentuaan hukum yang berlaku
bagi perjanjiaan yang menimbulkan sengketa dan disepakati para pihak. Putusannya bersifat final dan mengikat para
pihak yang bersengketa dan para pihak wajib mentaati seta memenuhi secara suka
rela seperti yang disebut di atas. Apabila putusan tidak dipenuhi secara suka
rela, maka putusan dijalankan menurut ketentuan yang diatur
dalam Pasal 637 RV dan Pasal 639 RV. [2]
Walaupun putusan arbiter itu bersifat
final , namun Peraturan Prosedur Badan Arbitrase Syari’ah Nasional memberikan
kemungkinan kepada salah satu pihak untuk mengajukan secara tertulis,
permintaan pembatalan putusan (annulment of the award) arbitrase
tersebut yang disampaikan kepada sekretaris BASYARNAS dan tembusan kepada pihak
lawan sebagai pemberitahuan. Pengajuan pembatalan putusan paling lambat dalam waktu 60 (enam puluh)
hari dari tanggal putusan diterima, kecuali mengenai alasan penyelewengan dan
hal itu berlaku paling lama dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak putusan dijatuhkan.
Permintaan pembatalan putusan hanya dapat dilakukan berdasarkan salah satu
alasan sebagai berikut:
a.
Penunjukan Arbiter Tunggal atau
Majelis tidak sesuai dengan ketentuan,
b.
Putusan melampaui batas
kewenangan BASYARNAS,
c.
Putusan melebihi yang diminta
para pihak,
d.
Terdapat penyelewengan diantara
saalah salah seorang arbiter,
e.
Putusan jauh menyimpang dari
ketentuan pokok dan putusan tidak memuat alasan-alasan yang menjadi landasan
pengambilan putusan.[3]
Sementara itu dalam tulisan Dr. Rifyal
Ka’bah yang berjudul” Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Sebagai Sebuah
Kewenangan Baru Peradilan Agama” yang termuat dalam Majalah Hukum Varia
Peradilan tahun Ke XXI Nomor 245 April 2006, lebih banyak mambahas tentang
pengalaman BASYARNAS dalam menyelesaian sengketa ekonomi syari’ah yang diajukan
kepadanya, dimana didalam menyelesaiakan sengketa ekonomi syari’ah
BASYARNAS menggunakan dua hukum yang berbeda, yakni hukum Islam
seperti yang diformulasikan oleh DSN (Dewan Syari’ah Nasional) dan pasal-pasal
dalam KUHPerdata. Hal ini dilakukan karena ketiadaan peraturan perUndang-Undangan
tentang perbankan syari’ah secara khusus dan ekonomi syari’ah secara umum.[4]
Selain kedua referensi di atas terdapat
satu tesis MSI-UII Yogyakarta yang disusun oleh Yususf Buchori dengan judul “Litigasi
Sengketa Perbankan Syari’ah Dalam
Persektif Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (Study Kasus Putusan Pada
Pengadilan Agama Purbalingga)” , dalam
pembahasannya lebih terfokus kepada studi kasus pada sengketa perbankan
syari’ah yang diadili dan diselesaikan oleh pengadilan Agama Purbalinga, bukan
kepada penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah pada umumnya. Sebaagaimana dalam
salah satu kesimpulannya Yusuf Buchori menyatakan, bahwa dalam menyelesaikan
sengketa perbankan syari’ah terdapat dua lapangan hukum (two level playing
fields) , yaitu syari’ah level dan legal level. Hal ini
dikarenakan dalam praktek Bank Syari’ah
dalam mengadakan akad secara formal
berpedoman kepada KHUPerdata (BW) dan secara materiil atau substansinya
berdasarkan prinsip syari’ah.[5]
Dari
ketiga referensi di atas secara jelas belum ada yang membahas proses
penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah
dilingkungan Peradilan Agama. Oleh karena itu cukup alasan bagi diri
Penyusun untuk menyusun tesis ini dalam
rangka untuk menambah khazanah keilmuan
dalam hal penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah, khususnya bagi lembaga
Pengadilan Agama.
No comments:
Post a Comment