Sesuatu yang revolusioner yang dilakukan oleh Rasulullah saw adalah
pembentukan lembaga penyimpanan yang disebut
baitul māl. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah tersebut merupakan proses
penerimaan pendapatan (revenue collection)
dan pembelanjaan (expenditure) yang
transparan dan bertujuan seperti apa yang sekarang disebut dengan welfare oriented. [1]Hal
ini dirasakan asing pada masa itu, karena pajak yang dikumpulkan oleh penguasa
di kerajaan-kerajaan tetangga di jazirah Arabia seperti Romawi dan Persia,
dikumpulkan oleh menteri dan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan kaisar dan
raja. [2]
Baitul māl yang didirikan oleh Rasulullah SAW
tidak mempunyai bentuk yang formal sehingga memberikan fleksibilitas
yang tinggi dan nyaris tanpa birokrasi. Keadaan ini bertahan sampai pada masa
pemerintahan khalifah Abu Bakar ra, dimana dapat dikatakan tidak ada perubahan
yang signifikan dalam pengelolaan baitul māl.
Baru pada masa pemerintahan Umar Ibn Khattab ra, sejalan dengan bertambah
luasnya wilayah pemerintahan Islam, volume dana yang dikelola dan keragaman
kegiatan baitul māl juga bertambah
besar dan bertambah kompleks. Keadaan ini mendorong khalifah untuk membuat
sistem administrasi dan pembukuan yang mampu menangani perkembangan ini.[3]
Sejak jaman Rasulullah saw baitul
māl bukanlah sekedar lembaga sejenis BAZIS yang dikenal sekarang ini. Baitul māl merupakan lembaga pengelola
keuangan negara, maka baitul māl memainkan
fungsi kebijakan fiskal sebagaimana yang dikenal dalam ekonomi sekarang.
Kebijakan fiskal yang dilakukan oleh baitul
māl sejak jaman rasulullah saw memberikan dampak langsung pada tingkat
investasi dan secara tidak langsung memberikan dampak pada tingkat inflasi dan
pertumbuhan ekonomi.[4]
Dalam hal kebijakan moneter, sampai dengan masa pemerintahan Umar
Ibn Khattab ra, boleh dikatakan pemerintahan Islam belum memiliki sejenis bank
sentral yang mengatur kebijakan moneter, karena pada masa itu belum ada dinar
Islam yang dicetak oleh pemerintah Islam. Ketika itu dinar Romawi dan dirham Persia yang
digunakan sebagai alat bayar. Barulah di masa pemerintahan Khalifah Ali ra, dicetak dinar Islam dalam bentuk yang
khas pemerintahan Islam. Namun karena keadaan politik saat itu mengakibatkan
peredarannya sangat terbatas. Jadi dapat dikatakan bahwa baitul māl di jaman Rasulullah saw dan Khulafaur Rasyidin ra tidak
menjalankan fungsi kebijakan moneter dalam arti mengelola jumlah uang yang
beredar. [5]
Penjajahan yang terjadi di negara-negara Islam membawa perubahan
dalam sistem pemerintahan, politik dan ekonomi. Meskipun akhirnya banyak negara
Islam yang berhasil mendapatkan kemerdekaannya, namun kenyataannya mereka hanya
merdeka secara politik, karena sisa-sisa
penjajahan masih dirasakan terutama dalam bidang ekonomi dan sosial
kemasyarakatan. Sistem ekonomi pada umumnya tidak bisa lepas dari sistim
politik. Penjajahan telah membentuk watak negara Islam menjadi individualis dan
sekuler, yang secara tidak langsung mempengaruhi pola pikir dan bahkan akidah
dari para pemimpinnya. Warisan ekonomi penjajahan membawa masalah seperti
pengangguran, inflasi serta terpisahnya agama dan ekonomi serta politik, yang
mengakibatkan ketidakberhasilan dalam
pembangunan ekonomi. [7]
Hal ini menimbulkan pemikiran di kalangan negara Islam, bahwa perlu
dicari terobosan baru sebagai solusi untuk mengatasi masalah ekonomi. Yang
menarik adalah bahwa solusi tersebut dikembalikan dan dikaitkan dengan
ideologi. Konsep ini berangkat dari kesadaran para pemimpin negara Islam bahwa
sistem ekonomi penjajah tidak dapat mengatasi masalah. Dalam masalah keuangan,
ditemukan terminologi baru bahwa sistem bunga yang ribawi yang dikenalkan oleh
penjajah telah menghilangkan baitul māl
dalam khasanah kenegaraan, maka kesadaran ini telah mengarahkan pada sistem
keuangan yang bebas riba.[8]
Gerakan lembaga keuangan yang bebas riba dengan sistem modern
didirikan pada tahun 1969 oleh Abdul Hamid An Maghar di desa Mith Gramer, tepi
sungai Nil di Mesir. Meskipun akhirnya ditutup karena masalah manajemen, akan
tetapi kelahiran Bank ini telah mengilhami diadakannya Konferensi Ekonomi Islam
yang pertama pada tahun 1975 di Mekah. Dua tahun kemudian lahirlah Bank
Pembangunan Islam (Islamic Development
Bank/IDB).[9]
Kelahiran IDB merupakan hasil serangkaian kajian yang mendalam dari
pakar ekonomi dan keuangan juga dari para ahli hukum Islam. Negara yang
tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam menjadi motor penggerak berdirinya
IDB. Mesirlah yang pertama kali mengusulkan pendiriannya. Pada sidang Menteri
Luar Negeri negara anggota OKI di Karachi Pakistan tahun 1970, Mesir
mengusulkan perlunya pendirian Bank Islam Dunia. Usulan tersebut ditulis dalam
bentuk proposal yang berisi tentang studi pendirian Bank Islam Internasional
untuk Perdagangan dan pembangunan serta pendirian Federasi Bank Islam.[10]
.
Tujuan utama IDB adalah untuk memupuk dan meningkatkan perkembangan
ekonomi dan social negara-negara anggota dan masyarakat muslim secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama sesuai dengan prinsip syariat Islam. Fungsi
utama bank ini berperan serta dalam modal usaha dan bantuan cuma-cuma untuk
proyek produksi dan perusahaan disamping memberikan bantuan keuangan bagi
negara-negara anggota dalam bentuk lain untuk perkembangan ekonomi dan sosial.[11]
Keberadaan IDB sangat berpengaruh dalam memberikan inspirasi pada
pendirian dan perkembangan bank syariah di berbagai negara Islam.Komite ahli
IDB kemudian menyusun berbagai peraturan dan perangkat pengawasan, untuk
mengakomodasi rencana pendirian bank Syariah tersebut. Secara garis besar, bank Syariah tersebut
dibagi menjadi dua, yakni Bank Islam Komersial (Islamic Commercial Bank ) dan Lembaga Investasi dalam bentuk International Holding Companies. Pada
periode tahun 1970 -an negara Islam telah banyak yang mendirikan lembaga
keuangan syariah, seperti Mesir, Sudan, Dubai, Pakistan, Iran, Turki,
Bangladesh, Malaysia, dan termasuk Indonesia pada dekade 1990- an.[12]
Di Indonesia pada tahun 1990 mulai ada prakarsa mengenai bank
syariah, diawali adanya Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan yang diselenggarakan
pada tanggal 18-20 Agustus 1990 oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Hasil
lokakarya tersebut dilanjutkan dan dibahas dalam Musyawarah Nasional IV (MUNAS
IV) MUI tanggal 22-25 Agustus 1990 di Hotel Sahid Jaya Jakarta. Hasil Munas
membentuk Tim Perbankan MUI yang bertugas mensosialisasikan rencana pendirian
bank syariah di Indonesia .
Selanjutnya pada tanggal 1 Nopember 1991, tim ini berhasil mendirikan Bank
Muamalat Indonesia (BMI) yang mulai
beroperasi sejak September 1992. Pada awalnya kehadiran BMI belum mendapat
perhatian baik dari pemerintah maupun industri perbankan. Namun dalam
perkembangannya, ketika BMI dapat tetap eksis ketika terjadi krisis ekonomi
tahun 1997, telah mengilhami pemerintah untuk memberikan perhatian dan mengatur
secara luas dalam undang-undang, serta memacu segera berdirinya bank-bank
syariah lain baik dalam bentuk Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) maupun Windows Syariah untuk bank umum.[13]
Kehadiran BMI pada awalnya diharapkan mampu untuk membangun kembali
sistem keuangan yang dapat menyentuh kalangan bawah (grass rooth). Akan tetapi pada prakteknya terhambat, karena BMI
sebagai bank umum terikat dengan prosedur perbankan yang telah dibakukan oleh
undang-undang. Sehingga akhirnya dibentuklah Bank Perkreditan Rakyat Syariah
(BPRS) yang diharapkan dapat memberikan pelayanan yang lebih luas kepada
masyarakat bawah. Namun dalam realitasnya, sistem bisnis BPRS terjebak pada
pemusatan kekayaan hanya pada segelintir orang, yakni para pemilik modal.
Sehingga komitmen untuk membantu derajat kehidupan masyarakat bawah mendapat
kendala baik dari sisi hokum maupun teknis. Dari segi hukum, prosedur
peminjaman bank umum dan dengan BPRS sama, begitu juga dari sisi teknis. [14]
Dari persoalan diatas, mendorong munculnya lembaga keuangan syariah
alternatif. Yakni sebuah lembaga yang tidak saja berorientasi bisnis tetapi
juga sosial. Juga lembaga yang tidak melakukan pemusatan kekayaan pada sebagian
kecil orang pemilik modal (pendiri) dengan penghisapan pada mayoritas orang,
tetapi lembaga yang kekayaannya terdistribusi secara merata dan adil. Lembaga
yang terlahir dari kesadaran umat dan ditakdirkan untuk menolong kaum
mayoritas, yakni pengusaha kecil /mikro. Lembaga yang tidak terjebak pada
permainan bisnis untuk keuntungan pribadi, tetapi membangun kebersamaan untuk
mencapai kemakmuran bersama. Lembaga yang tidak terjebak pada pikiran pragmatis
tetapi memiliki konsep idealis yang istiqomah. Lembaga tersebut adalah Baitul Māl Wa Tamwil (BMT).[15]
BMT merupakan organisasi bisnis yang juga berperan sosial. Sebagai
lembaga bisnis, BMT lebih mengembangkan usahanya pada sektor keuangan yakni
simpan pinjam. Usaha ini seperti usaha perbankan, yakni menghimpun dana anggota
dan calon anggota (nasabah) serta menyalurkannya pada sektor ekonomi yang halal
dan menguntungkan. Namun demikian, terbuka luas bagi BMT untuk mengembangkan
lahan bisnisnya pada sektor riil maupun sector keuangan lain yang dilarang
dilakukan oleh lembaga keuangan bank. Karena BMT bukan bank, maka ia tidak
tunduk pada aturan perbankan.[16]
BMT telah mampu menarik minat mereka yang berpendidikan. Dengan
mengetahui fungsi baitul māl di jaman
awal Islam, maka sebenarnya mereka yang telah terlibat dalam BMT diharapkan
dapat memberikan kontribusi pada pengembangan lembaga baitul māl. Menempatkan dominasi peran BMT sebagai lembaga
keuangan syariah dan atau sebagai lembaga ekonomi sektor riil, dapat menjadi
suatu ijtihad ummat sebagai reaksi terhadap berbagai persoalan ekonomi,
terutama marjinalisasi peran ekonomi, terutama marjinalisasi peran ekonomi
ummat di Indonesia .
[1] Muhammad, Manajemen Bank
Syariah , Yogyakarta , UPP AMP YKPN, 2003
hal. 23.
[2] Muhammad Ridwan, Manajemen,
hal 56.
[3] Ibid, hal. 59
[4] Ibid.
[5] Siti Maryam dkk, Sejarah
Peradaban Islam, Yogyakarta , Jurusan SPI
Fak. Adab IAIN Suka dan LESFI, 2002,hal. 57
[6] Muhammad Ridwan, Manajemen,, hal 56-57.
[7] Ibid, hal 66
[8] Ibid, hal 67
[9] Ibid, hal 67
[10] Muhammad Ridwan, Manajemen,
hal. 67
[11] M. Abdul Manan, Islamic
Economic Theory and Practice, Terjemahan M. Nastangin, Yogyakarta ,
Dana Bakti Wakaf, 1993, hal 191.
[12] Muhammad Ridwan, Manajemen, hal. 69
[13] Ibid, hal. 71-72.
[14] Ibid, hal. 72
[15] Ibid hal. 73
[16] Ibid, hal 126
No comments:
Post a Comment