Era
perdagangan bebas melahirkan fenomena baru dalam struktur perekonomian global,
dimana perkembangan dalam bidang ekonomi membawa dampak perubahan yang cukup
signifikan terhadap pengelolaan suatu bisnis dan penentuan strategi bersaing.
Kemampuan bersaing tidak hanya terletak pada kepemilikan aset berwujud, tetapi
lebih pada inovasi, sistem informasi, pengelolaan organisasi dan sumber daya
manusia yang dimiliki. Oleh karena itu, hal-hal tersebut telah menyebabkan
pergeseran paradigma dalam dimensi kehidupan manusia, yaitu dari paradigma lama
yang menitikberatkan pada kekayaan fisik (physical capital) menjadi
paradigma baru yang memfokuskan pada nilai kekayaan intelektual (intellectual
capital).
Menurut
Organisation for Economic and Development (OECD)(2008), banyak
perusahaan saat ini berinvestasi dalam pelatihan karyawan, penelitian dan
pengembangan (Research and Development / R&D), hubungan konsumen,
sistem komputerisasi dan administrasi, dan lain-lain. Investasi ini sering
disebut sebagai Intellectual Capital (selanjutnya disingkat IC) yang
berkembang dan bersaing dengan investasi modal keuangan dan fisik di beberapa
negara. Beberapa penulis seperti Stewart (1997) dan Zeghal (2000) menganggap
perubahan struktur investasi sebagai munculnya sebuah pengetahuan baru berbasis
ekonomi (new economy). New economy yang secara prinsip didorong
oleh perkembangan teknologi informasi dan ilmu pengetahuan, juga telah memicu
tumbuhnya minat dalam pengungkapan intellectual capital (Petty dan
Guthrie, 2000; Bontis, 2001) dalam Ulum (2008). Penulis lainnya seperti
Edvinsson (1997) dan Lynn (1998) menenkankan pentingnya IC yang mereka anggap
menjadi sumber utama penciptaan nilai dalam perekonomian baru. Namun demikian,
keberadaan IC dalam laporan keuangan perusahaan masih belum jelas. Pengukuran
yang tepat terhadap modal intelektual perusahaan belum dapat ditetapkan.
Menurut
Ze’ghal dan Maaloul (2010) sulit untuk mengukur modal intelektual karena modal
intelektual bersifat tidak berwujud dan non-fisik. Model akuntansi tradisional
yang dikandung untuk operasi perusahaan dalam industri ekonomi tetap difokuskan
pada aset keuangan dan fisik dan mengabaikan IC sebagai aset. Menariknya,
bahkan International Accounting Standards/International Financial Reporting
Standards (IAS/IFRS) termasuk yang baru-baru ini dibuat oleh International
Accounting Standards Board, tidak berkontribusi untuk mendefinisikan
kembali banyak konsep, prinsip-prinsip dan metode penilaian aset IC. Kurang
relatifnya pengakuan akuntansi IC dan peran tumbuhnya dalam proses penciptaan
nilai, berarti bahwa laporan keuangan telah kehilangan beberapa nilai untuk
kepentingan pemegang saham dan pengguna lainnya (Canibano et al.,2000;
OECD, 2006, 2007).
Adanya
kesulitan dalam mengukur IC secara langsung tersebut, kemudian Pulic (1998,
2000) dalam Tan et al. (2007) mengembangkan “Value Added Intellectual
Coefficient” (VAIC™) untuk mengukur IC perusahaan. Metode VAIC™ dirancang
untuk menyediakan informasi mengenai efisiensi penciptaan nilai dari aset
berwujud dan tidak berwujud yang dimiliki sebuah perusahaan. Komponen utama
dari VAIC™ dapat dilihat dari sumber daya perusahaan, yaitu physical capital
(Value Added Capital Employed - VACA), human capital (Value
Added Human Capital - VAHU), dan structural capital (Structural
Capital Value Added - STVA). Lebih lanjut Pulic (1998) menyatakan bahwa intellectual
ability (yang kemudian disebut dengan VAIC™) menunjukkan bagaimana kedua
sumber daya tersebut (physical capital dan intellectual potential)
telah secara efisien dimanfaatkan oleh perusahaan.
Banyak
penelitian sering dilakukan dalam kerangka Resource-Based Theory (RBT)
untuk mencoba menganalisis masalah akuntansi untuk IC. Penelitian pertama
dimulai dengan mengidentifikasi, merepresentasi, dan mengklasifikasikan
komponen IC (Edvinsson dan Malone, 1997; Zéghal, 2000; Guthrie et al,
2004). Penelitian lainnya, lebih tertarik pada praktek-praktek pelaporan IC
dalam laporan tahunan perusahaan (Williams, 2001; Abdolmohammadi, 2005;
Kristandl dan Bontis, 2007). Beberapa penelitian juga difokuskan pada masalah
pengukuran IC yang tidak dicatat dalam laporan keuangan (Stewart, 1997; Pulic,
1998, 2004; Gu dan Lev, 2003; Chen et al, 2004). Terakhir, sejumlah
studi yang terkait dengan validasi IC dalam konteks pengambilan keputusan,
terutama kegunaannya kepada investor pada pasar modal (Lev dan Sougiannis,
1996; Cazavan-Jeny, 2004; Casta et al, 2005;. Lev et al, 2007). Di Indonesia, fenomena IC mulai berkembang
terutama setelah munculnya PSAK No. 19 (revisi 2000) tentang aktiva tidak
berwujud. Meskipun tidak
dinyatakan secara eksplisit sebagai IC, namun kurang
lebih IC telah mendapat perhatian. Menurut PSAK No. 19, aktiva tidak berwujud
adalah aktiva non- moneter yang dapat diidentifikasi tanpa wujud fisik serta
dimiliki untuk digunakan dalam menghasilkan atau menyerahkan barang atau jasa,
disewakan kepada pihak lainnya, atau untuk tujuan administratif (IAI, 2009).
Paragraf
09 dari pernyataan tersebut menyebutkan beberapa contoh dari aktiva tidak
berwujud antara lain ilmu pengetahuan dan teknologi, desain dan implementasi
sistem atau proses baru, lisensi, hak kekayaan intelektual, pengetahuan
mengenai pasar dan merek dagang (termasuk merek produk/brand names).
Selain itu juga ditambahkan piranti lunak komputer, hak paten, hak cipta, film
gambar hidup, daftar pelanggan, hak pengusahaan hutan, kuota impor, waralaba,
hubungan dengan pemasok atau pelanggan, kesetiaan pelanggan, hak pemasaran, dan
pangsa pasar.
Bank
adalah suatu lembaga yang berperan sebagai perantara keuangan (financial
intermedietery) antara pihak-pihak yang memiliki dana (surplus unit) dengan
pihak-pihak yang memerlukan dana (deficit unit) serta sebagai lembaga
yang berfungsi memperlancar arus lalu lintas pembayaran (Prager, 1992).
Definisi bank menurut Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang
telah diubah dengan Undang-Undang No.10 tahun 1998, bank adalah badan usaha
yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Fungsi
bank mencakup tiga hal pokok, yaitu: (1) sebagai pengumpul dana, (2) sebagai
penjamin kredit antara debitur dan kreditur, (3) sebagai penanggung rasio (interest
rate) tranformasi dana dari tingkat suku bunga rendah ke tingkat suku bunga
tinggi. Falsafah yang mendasari usaha bank adalah kepercayaan masyarakat. Oleh
karena itu faktor manusia yang didalamnya tersirat modal intelektual menjadi
semakin kental pada bisnis perbankan. Bank dapat dikategorikan sebagai industri
yang berbasis pada intelektualitas yang berinovasi dalam produk dan jasa, serta
pengetahuan dan fleksibilitas merupakan aspek kritis yang menentukan kesuksesan
bisnis.
Penelitian
ini mengacu pada penelitian yang pernah dilakukan Daniel Zeghal dan Anis
Maaloul (2010) tentang analisis nilai tambah (value added) sebagai indikator
modal intelektual (intellectual capital) dan konsekuensinya terhadap
kinerja perusahaan di Inggris, dengan melakukan beberapa modifikasi dan
penyesuaian di Indonesia dengan menggunakan sektor perusahaan perbankan sebagai
sampel penelitian. Penelitian ini menganalisis nilai tambah (value added) sebagai
indikator IC dengan tiga kinerja perbankan, antara lain kinerja keuangan (Return
On Assets-ROA), kinerja ekonomi yang ditunjukkan dalam laba operasi /
penjualan (OIS) dan kinerja nilai pasar yang ditunjukkan oleh Market to Book
Value (MB). Penelitian ini meneliti perusahaan perbankan yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2009 sampai tahun 2011. Dari sumber
tersebut diperoleh data kuantitatif berupa data laporan keuangan yang telah
diterbitkan oleh perusahan perbankan yang telah go public di BEI.
Pemilihan sektor perbankan sebagai sampel untuk tujuan homogenitas sampel
sehingga hasil yang bias bisa dihindarkan dan juga didalamnya tersirat modal
intelektual yang kental pada bisnis perbankan. Alat analisis yang digunakan
dalam penelitian ini sama dengan penelitiaan Zeghal dan Anis Maaloul (2010),
dimana dalam penelitian tersebut menggunakan alat analisis regresi berganda
sehingga pengujian harus dilaksanakan berulang untuk setiap indikator pembentuk
variabel dependennya, dimana akan dianalisis untuk setiap model penelitian.
Tujuan dari studi ini adalah untuk memperluas upaya yang
telah dilakukan oleh para peneliti dan praktisi untuk menemukan ukuran yang
tepat dari IC. Sehingga diusulkan konsep Value Added (nilai tambah)
sebagai indikator pengukuran IC dalam perusahaan perbankan. Pemikiran ini
didasarkan pada “Value Added Intellectual Coefficient -VAIC™”metode yang
dikembangkan oleh Pulic (1998,2004). ”.
No comments:
Post a Comment