Saturday, July 6, 2013

ANALISIS VALUE ADDED SEBAGAI INDIKATOR INTELLECTUAL CAPITAL DAN KONSEKUENSINYA TERHADAP KINERJA PERBANKAN

Era perdagangan bebas melahirkan fenomena baru dalam struktur perekonomian global, dimana perkembangan dalam bidang ekonomi membawa dampak perubahan yang cukup signifikan terhadap pengelolaan suatu bisnis dan penentuan strategi bersaing. Kemampuan bersaing tidak hanya terletak pada kepemilikan aset berwujud, tetapi lebih pada inovasi, sistem informasi, pengelolaan organisasi dan sumber daya manusia yang dimiliki. Oleh karena itu, hal-hal tersebut telah menyebabkan pergeseran paradigma dalam dimensi kehidupan manusia, yaitu dari paradigma lama yang menitikberatkan pada kekayaan fisik (physical capital) menjadi paradigma baru yang memfokuskan pada nilai kekayaan intelektual (intellectual capital).
Menurut Organisation for Economic and Development (OECD)(2008), banyak perusahaan saat ini berinvestasi dalam pelatihan karyawan, penelitian dan pengembangan (Research and Development / R&D), hubungan konsumen, sistem komputerisasi dan administrasi, dan lain-lain. Investasi ini sering disebut sebagai Intellectual Capital (selanjutnya disingkat IC) yang berkembang dan bersaing dengan investasi modal keuangan dan fisik di beberapa negara. Beberapa penulis seperti Stewart (1997) dan Zeghal (2000) menganggap perubahan struktur investasi sebagai munculnya sebuah pengetahuan baru berbasis ekonomi (new economy). New economy yang secara prinsip didorong oleh perkembangan teknologi informasi dan ilmu pengetahuan, juga telah memicu tumbuhnya minat dalam pengungkapan intellectual capital (Petty dan Guthrie, 2000; Bontis, 2001) dalam Ulum (2008). Penulis lainnya seperti Edvinsson (1997) dan Lynn (1998) menenkankan pentingnya IC yang mereka anggap menjadi sumber utama penciptaan nilai dalam perekonomian baru. Namun demikian, keberadaan IC dalam laporan keuangan perusahaan masih belum jelas. Pengukuran yang tepat terhadap modal intelektual perusahaan belum dapat ditetapkan.
Menurut Ze’ghal dan Maaloul (2010) sulit untuk mengukur modal intelektual karena modal intelektual bersifat tidak berwujud dan non-fisik. Model akuntansi tradisional yang dikandung untuk operasi perusahaan dalam industri ekonomi tetap difokuskan pada aset keuangan dan fisik dan mengabaikan IC sebagai aset. Menariknya, bahkan International Accounting Standards/International Financial Reporting Standards (IAS/IFRS) termasuk yang baru-baru ini dibuat oleh International Accounting Standards Board, tidak berkontribusi untuk mendefinisikan kembali banyak konsep, prinsip-prinsip dan metode penilaian aset IC. Kurang relatifnya pengakuan akuntansi IC dan peran tumbuhnya dalam proses penciptaan nilai, berarti bahwa laporan keuangan telah kehilangan beberapa nilai untuk kepentingan pemegang saham dan pengguna lainnya (Canibano et al.,2000; OECD, 2006, 2007).

Adanya kesulitan dalam mengukur IC secara langsung tersebut, kemudian Pulic (1998, 2000) dalam Tan et al. (2007) mengembangkan “Value Added Intellectual Coefficient” (VAIC™) untuk mengukur IC perusahaan. Metode VAIC™ dirancang untuk menyediakan informasi mengenai efisiensi penciptaan nilai dari aset berwujud dan tidak berwujud yang dimiliki sebuah perusahaan. Komponen utama dari VAIC™ dapat dilihat dari sumber daya perusahaan, yaitu physical capital (Value Added Capital Employed - VACA), human capital (Value Added Human Capital - VAHU), dan structural capital (Structural Capital Value Added - STVA). Lebih lanjut Pulic (1998) menyatakan bahwa intellectual ability (yang kemudian disebut dengan VAIC™) menunjukkan bagaimana kedua sumber daya tersebut (physical capital dan intellectual potential) telah secara efisien dimanfaatkan oleh perusahaan.
Banyak penelitian sering dilakukan dalam kerangka Resource-Based Theory (RBT) untuk mencoba menganalisis masalah akuntansi untuk IC. Penelitian pertama dimulai dengan mengidentifikasi, merepresentasi, dan mengklasifikasikan komponen IC (Edvinsson dan Malone, 1997; Zéghal, 2000; Guthrie et al, 2004). Penelitian lainnya, lebih tertarik pada praktek-praktek pelaporan IC dalam laporan tahunan perusahaan (Williams, 2001; Abdolmohammadi, 2005; Kristandl dan Bontis, 2007). Beberapa penelitian juga difokuskan pada masalah pengukuran IC yang tidak dicatat dalam laporan keuangan (Stewart, 1997; Pulic, 1998, 2004; Gu dan Lev, 2003; Chen et al, 2004). Terakhir, sejumlah studi yang terkait dengan validasi IC dalam konteks pengambilan keputusan, terutama kegunaannya kepada investor pada pasar modal (Lev dan Sougiannis, 1996; Cazavan-Jeny, 2004; Casta et al, 2005;. Lev et al, 2007).  Di Indonesia, fenomena IC mulai berkembang terutama setelah munculnya PSAK No. 19 (revisi 2000) tentang aktiva tidak berwujud. Meskipun tidak
dinyatakan secara eksplisit sebagai IC, namun kurang lebih IC telah mendapat perhatian. Menurut PSAK No. 19, aktiva tidak berwujud adalah aktiva non- moneter yang dapat diidentifikasi tanpa wujud fisik serta dimiliki untuk digunakan dalam menghasilkan atau menyerahkan barang atau jasa, disewakan kepada pihak lainnya, atau untuk tujuan administratif (IAI, 2009).
Paragraf 09 dari pernyataan tersebut menyebutkan beberapa contoh dari aktiva tidak berwujud antara lain ilmu pengetahuan dan teknologi, desain dan implementasi sistem atau proses baru, lisensi, hak kekayaan intelektual, pengetahuan mengenai pasar dan merek dagang (termasuk merek produk/brand names). Selain itu juga ditambahkan piranti lunak komputer, hak paten, hak cipta, film gambar hidup, daftar pelanggan, hak pengusahaan hutan, kuota impor, waralaba, hubungan dengan pemasok atau pelanggan, kesetiaan pelanggan, hak pemasaran, dan pangsa pasar.

Bank adalah suatu lembaga yang berperan sebagai perantara keuangan (financial intermedietery) antara pihak-pihak yang memiliki dana (surplus unit) dengan pihak-pihak yang memerlukan dana (deficit unit) serta sebagai lembaga yang berfungsi memperlancar arus lalu lintas pembayaran (Prager, 1992). Definisi bank menurut Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang telah diubah dengan Undang-Undang No.10 tahun 1998, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Fungsi bank mencakup tiga hal pokok, yaitu: (1) sebagai pengumpul dana, (2) sebagai penjamin kredit antara debitur dan kreditur, (3) sebagai penanggung rasio (interest rate) tranformasi dana dari tingkat suku bunga rendah ke tingkat suku bunga tinggi. Falsafah yang mendasari usaha bank adalah kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu faktor manusia yang didalamnya tersirat modal intelektual menjadi semakin kental pada bisnis perbankan. Bank dapat dikategorikan sebagai industri yang berbasis pada intelektualitas yang berinovasi dalam produk dan jasa, serta pengetahuan dan fleksibilitas merupakan aspek kritis yang menentukan kesuksesan bisnis.

Penelitian ini mengacu pada penelitian yang pernah dilakukan Daniel Zeghal dan Anis Maaloul (2010) tentang analisis nilai tambah (value added) sebagai indikator modal intelektual (intellectual capital) dan konsekuensinya terhadap kinerja perusahaan di Inggris, dengan melakukan beberapa modifikasi dan penyesuaian di Indonesia dengan menggunakan sektor perusahaan perbankan sebagai sampel penelitian. Penelitian ini menganalisis nilai tambah (value added) sebagai indikator IC dengan tiga kinerja perbankan, antara lain kinerja keuangan (Return On Assets-ROA), kinerja ekonomi yang ditunjukkan dalam laba operasi / penjualan (OIS) dan kinerja nilai pasar yang ditunjukkan oleh Market to Book Value (MB). Penelitian ini meneliti perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2009 sampai tahun 2011. Dari sumber tersebut diperoleh data kuantitatif berupa data laporan keuangan yang telah diterbitkan oleh perusahan perbankan yang telah go public di BEI. Pemilihan sektor perbankan sebagai sampel untuk tujuan homogenitas sampel sehingga hasil yang bias bisa dihindarkan dan juga didalamnya tersirat modal intelektual yang kental pada bisnis perbankan. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini sama dengan penelitiaan Zeghal dan Anis Maaloul (2010), dimana dalam penelitian tersebut menggunakan alat analisis regresi berganda sehingga pengujian harus dilaksanakan berulang untuk setiap indikator pembentuk variabel dependennya, dimana akan dianalisis untuk setiap model penelitian.

Tujuan dari studi ini adalah untuk memperluas upaya yang telah dilakukan oleh para peneliti dan praktisi untuk menemukan ukuran yang tepat dari IC. Sehingga diusulkan konsep Value Added (nilai tambah) sebagai indikator pengukuran IC dalam perusahaan perbankan. Pemikiran ini didasarkan pada “Value Added Intellectual Coefficient -VAIC™”metode yang dikembangkan oleh Pulic (1998,2004). .

No comments:

Post a Comment