Jensen dan Meckling (1976) menyatakan hubungan keagenan
adalah suatu kontrak di mana satau atau lebih orang (principal) melibatkan orang lain (agent)
untuk melakukan beberapa layanan atas nama mereka dan
kemudian mendelegasikan sebagian kewenangan pengambilan keputusan kepada agen
tersebut. Berdasarkan argumen tersebut dapat disimpulkan bahwa pemilik atau
pemegang saham perusahaan menunjuk manajemen untuk mengelola perusahaan. Masalah
yang timbul dari hubungan keagenan adalah konflik kepentingan antara principal (pemegang saham) dan agent (manajemen). Konflik kepentingan
ini nantinya dapat menimbulkan adanya biaya agensi.
Konflik kepentingan timbul karena kemungkinan agent tidak selalu berbuat sesuai dengan
kepentingan principal. Akuntan publik
sebagai pihak yang independen berperan untuk menengahi kedua pihak dengan
kepentingan berbeda tersebut dengan cara memberi penilaian dan opini terhadap
kewajaran laporan keuangan yang disajikan (Trisnawati dan Wijaya, 2009).
Eisenhardt (1989) dalam Nuratama (2011) berpendapat bahwa
teori keagenan (agency theory)
dilandasi oleh beberapa asumsi. Asumsi-asumsi tersebut dibedakan menjadi tiga
jenis, yaitu asumsi tentang sifat manusia, asumsi keorganisasian, dan asumsi
informasi. Asumsi sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat
mementingkan dirinya sendiri (self
interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded rationality) dan tidak menyukai risiko (risk aversion). Asumsi keorganisasian
menekankan bahwa adanya konflik antar anggota organisasi dan adanya asimetri
informasi antara principal dan agent, sedangkan asumsi informasi
menekankan bahwa informasi sebagai barang komoditi yang bisa diperjualbelikan.
Berdasarkan asumsi pertama mengenai sifat manusia yang
mementingkan dirinya sendiri dapat terlihat dari perilaku principal dan agent.
Prinsipal diasumsikan hanya tertarik pada pengembalian keuangan yang diperoleh
dari investasi mereka di perusahaan sedangkan agen diasumsikan akan menerima
kepuasan tidak hanya dari kompensasi keuangan tetapi juga dari keterlibatannya
dalam hubungan agensi, seperti memutuskan untuk melakukan auditor switching karena adanya ketidaksepakatan atas praktik
akuntansi tertentu dengan auditor (Andra, 2012).
Teori agensi dijadikan dasar dari hipotesis pertama. Adanya
persepsi bahwa investor lebih percaya pada data akuntansi yang diaudit oleh
auditor bereputasi baik menyebabkan manajemen tidak akan mengganti auditornya
jika perusahaan telah diaudit oleh KAP yang berafiliasi dengan KAP big 4 yang dianggap memiliki kualitas
dan reputasi yang baik (Lestari, 2012).
Penelitian ini juga menjadikan teori agensi sebagai dasar
hipotesis kedua. Menurut Watts dan Zimmerman (1986) dalam Nasser et al. (2006) perusahaan yang besar
berusaha untuk dapat mengurangi agency
cost karena kompleksitas usaha serta
adanya peningkatan pemisahan antara manajemen dan kepemilikan. Dengan demikian,
manajemen akan berusaha mempertahankan auditornya agar tidak terjadi
peningkatan agency cost.
Hipotesis ketiga penelitian ini juga didasarkan pada teori
agensi. Nasser et al. (2006)
menyatakan bahwa saat perusahaan mengalami pertumbuhan, perusahaan memerlukan
auditor yang independen dan berkualitas tinggi untuk mengurangi biaya agensi
sehingga perusahaan cenderung akan mempertahankan auditornya untuk menekan
biaya agensi.
Teori agensi juga dijadikan dasar hipotesis keempat bahwa
klien yang mengalami kesulitan keuangan cenderung akan mengganti auditornya.
Menurut Francis dan Wilson (1988) klien yang mengalami financial distress cenderung akan mengganti auditornya dengan
auditor yang lebih independen. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan
kepercayaan para pemegang saham dan kreditur terhadap laporan keuangan yang
diahsilkan manajemen.
Teori agensi kemudian juga digunakan sebagai dasar hipotesis
kelima bahwa klien yang tidak mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian
cenderung mengganti auditornya. Tandirerung (2006) dalam Damayanti dan Sudarma
(2008) menyatakan bahwa jika auditor tidak memberikan opini sesuai dengan
harapan manajer perusahaan maka kemungkinan manajer akan mengganti auditornya
dengan auditor lain yang dapat memberikan opni sesuai harapan manajer. Hal
tersebut dikarenakan opini dari auditor dapat mempengaruhi harga saham perusahaan
dan juga kompensasi yang akan diterima oleh manajer (Chow dan Rice, 1982).
No comments:
Post a Comment