Buku II dan Buku
IIIKUHPberisi tentang rumusan tindak pidana tertentu. Terkait cara pembentuk
undang-undang dalam merumuskan tindak pidana pada kenyataannya memang tidak
seragam. Dalam hal ini akan dilihat dari 3 (tiga) dasar pembedaan cara dalam
merumuskan tindak pidana dalamKUHP.[1]
a. Cara Pencantuman Unsur-unsur dan
Kualifikasi Tindak Pidana.
Dapat dilihat bahwa setidak-tidaknya ada 3 (tiga) cara perumusan, yaitu:
a. Dengan
mencantumkan semua unsur pokok, kualifikasi, dan ancaman pidana. Cara yang
pertama ini merupakan cara yang paling sempurna, terutama dalam hal merumuskan
tindak pidana dalam bentuk pokok atau standar dengan mencantumkan unsur-unsur
objektif maupun unsur-unsur subjektif, misalnya Pasal 378 KUHP (Penipuan).
Unsur pokok atau unsur esensial adalah unsur yang membentuk pengertian yuridis
dari tindak pidana tertentu. Unsur-unsur ini dapat dirinci secara jelas dan
untuk menyatakan seseorang bersalah melakukan tindak pidana tersebut dan
menjatuhkan pidana, semua unsur itu harus dibuktikan dalam persidangan.
b. Dengan
mencantumkan semua unsur pokok tanpa
kualifikasi dan
mencantumkan ancaman pidana. Cara ini merupakan cara yang paling banyak
digunakan dalam merumuskan tindak pidana dalam KUHP. Tindak pidana yang
menyebutkan unsur-unsur pokok tanpa menyebutkan kualifikasi dalam praktik
kadang-kadang terhadap suatu rumusan tindak pidana diberi kualifikasi tertentu.
c. Hanya
mencantumkan kualifikasinya tanpa unsur-unsur dan mencantumkan ancaman pidana.
Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara ini merupakan yang paling sedikit.
Terdapat pada pasal-pasal tertentu, seperti Pasal
351 (1) KUHPtentang Penganiayaan.
b. Dari Sudut Titik Beratnya Larangan.
Dari sudut titik beratnya larangan, dapat dibedakan antara merumuskan
dengan cara formil dan dengan cara materil.
1) Dengan Cara Formil
Disebut dengan cara formil karena dalam rumusan dicantumkan secara tegas
perihal larangan melakukan perbuatan tertentu. Jadi, yang menjadi pokok
larangan dalam rumusan ini adalah melakukan perbuatan tertentu. Dalam
hubungannya dengan selesai tindak pidana, jika perbuatan yang menjadi larangan
itu selesai dilakukan, tindak pidana itu selesai pula tanpa bergantung pada
akibat yang timbul dari perbuatan.
2) Dengan Cara Materil
Perumusan dengan cara materil ialah yang
menjadi pokok larangan tindak pidana yang dirumuskan adalah menimbulkan akibat
tertentudisebut dengan akibat yang dilarang atau akibat konstitutif. Titik
berat larangannya adalah menimbulkan akibat, sedangkan wujud perbuatan apa yang
menimbulkan akibat itu tidak menjadi persoalan. Dalam hubungannya dengan
selesainya tindak pidana, maka untuk selesainya tindak pidana bukan bergantung
pada selesainya wujud perbuatan, tetapi bergantung pada wujud perbuatan itu
akibat yang dilarang telah timbul atau belum. Jika wujud perbuatan itu telah
selesai, namun akibat belum timbul tindak pidana itu belum selesai, maka yang
terjadi adalah percobaan.
c. Dari Sudut Pembedaan Tindak Pidana Antara Bentuk
Pokok, Bentuk yang
Lebih Berat, dan yang Lebih Ringan.
1) Perumusan dalam Bentuk Pokok
Jika dilihat dari sudut
sistem pengelompokan atau pembedaan tindak pidana antara bentuk standar (bentuk
pokok) dengan bentuk yang diperberat dan bentuk yang lebih ringan. Cara
merumuskan dapat dibedakan antara merumuskan tindak pidana dalam bentuk pokok
dan dalam bentuk yang diperberat dan atau yang lebih ringan. Bentuk pokok
pembentuk Undang-Undang selalu merumuskan secara sempurna dengan mencantumkan
semua unsur-
unsur secara lengkap.
2) Perumusan dalam
Bentuk yang Diperingan dan yang Diperberat
Rumusan dalam bentuk yang lebih berat dan atau lebih ringan dari tindak
pidana yang bersangkutan, unsur-unsur bentuk pokoknya tidak diulang kembali
atau dirumuskan kembali, melainkan menyebut saja pasal dalam bentuk pokok
(Pasal 364, 373, 379) atau kualifikasi bentuk pokok (Pasal 339, 363, 365) dan
menyebutkan unsur-unsur yang menyebabkan diperingan atau diperberatnya tindak
pidana
itu.
No comments:
Post a Comment