DalamKUHPtentang
Penipuan terdapat dalam BAB XXV Buku II. Pada bab tersebut, termuat berbagai
bentuk penipuan yang dirumuskan dalam 20 pasal, masing-masing pasal mempunyai
nama khusus. Keseluruhan pasal pada BAB XXV ini dikenal dengan sebutan bedrogatau perbuatan orang. Bentuk pokok
dari bedrogatau perbuatan orang
adalah Pasal 378 KUHP tentangPenipuan. Berdasarkan rumusan tersebut, maka
tindak pidana penipuan memiliki unsur-unsur pokok, yaitu :
a. Dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum.
Dengan maksud harus diartikan sebagai tujuan terdekat dari pelaku, yakni
pelaku hendak mendapatkan keuntungan. Keuntungan ini adalah tujuan utama pelaku
dengan jalan melawan hukum, pelaku masih membutuhkan tindakan lain, maka maksud
belum dapat terpenuhi. Dengan demikian, maksud tersebut harus ditujukan untuk
menguntungkan dan melawan hukumsehingga pelaku harus mengetahui bahwa
keuntungan yang menjadi tujuannya harus bersifat melawan hukum.
b. Dengan menggunakan salah satu atau lebih
alat penggerak penipuan (nama palsu, martabat palsu atau keadaan palsu, tipu
muslihat dan rangkaian kebohongan).
Sifat dari penipuan sebagai tindak pidana ditentukan oleh caracara pelaku
menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang. Alat-alat penggerak yang
digunakan untuk menggerakkan orang lain adalah sebagai berikut:
1) Nama Palsu
Nama palsu
dalam hal ini adalah nama yang berlainan dengan nama yang sebenarnya, meskipun
perbedaan tersebut sangat kecil. Apabila penipu menggunakan nama orang lain
yang sama dengan nama dan dengan dia sendiri, maka penipu dapat dipersalahkan
melakukan tipu muslihat atau susunan belit dusta.
2) Tipu Muslihat
Tipu muslihat
adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan sedemikian rupasehingga perbuatan
tersebut menimbulkan kepercayaan atau keyakinan atas kebenaran dari sesuatu
kepada orang lain. Tipu muslihat ini bukanlah ucapan melainkan perbuatan atau
tindakan.
3) Martabatatau Keadaan Palsu
Pemakaian
martabat atau keadaan palsu adalah bilamana seseorang memberikan pernyataan
bahwa dia berada dalam suatu keadaan tertentu dan keadaan itu memberikan
hak-hak kepada orang yang ada dalam keadaan tersebut.
4) Rangkaian Kebohongan
Beberapa kata
bohong dianggap tidak cukup sebagai alat penggerak. Hal ini dipertegas oleh Hoge Raad dalam Arrest 8 Maret 1926, bahwa :[1]
“Terdapat suatu rangkaian
kebohongan jika antara berbagai kebohongan itu terdapat suatu hubungan yang
sedemikian rupa dan kebohongan yang satu melengkapi kebohongan yang lain
sehingga mereka secara timbal balik menimbulkan suatu gambaran palsu
seolah-olah merupakan suatu kebenaran.”
Rangkaian
kebohongan itu harus diucapkan secara tersusun sehingga merupakan suatu cerita
yang dapat diterima secara logis dan benar. Dengan demikian, kata yang satu
memperkuat atau membenarkan kata orang lain.
5) Menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan sesuatu barang, atau memberi utang, atau menghapus utang. Dalam perbuatan menggunakan orang lain untuk
menyerahkan barang diisyaratkan adanya
hubungan kausal antara alat penggerak dan penyerahan barang. Hal ini dipertegas
oleh Hoge Raad dalam Arrest 25 Agustus 1923, bahwa :[2]
“Harus terdapat suatu hubungan
sebab manusia antara upaya yang digunakan dengan penyerahan yang dimaksud dari
itu. Penyerahan suatu barang yang terjadi sebagai akibat penggunaan alat-alat
penggerak dipandang belum cukup terbukti tanpa menguraikan pengaruh yang
ditimbulkan karena dipergunakannya alat-alat tersebut menciptakan suatu situasi
yang tepat untuk menyesatkan seseorang yang normalsehingga orang tersebut
terpedaya karenanya, alat-alat penggerak itu harus menimbulkan dorongan dalam
jiwa seseorang sehingga orang tersebut menyerahkan sesuatu barang.”
No comments:
Post a Comment