BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Tindak
pidana dewasa ini semakin marak terjadi di Indonesia. Hal tersebut berkaitan
erat dengan berbagai aspek, khususnya pada aspek ekonomi. Salah satu penyebab
maraknya tindak pidana yang terjadi karena kebutuhan ekonomi yang harus
terpenuhi secara mendesak,sedangkan lapangan pekerjaan yang tersedia tidak
dapat memenuhi semua masyarakat Indonesia untuk bekerja dan memperoleh
penghasilan yang tetap.
Jhon
Chipman Gray mengemukakan bahwa banyak defenisi hukum yang dibuat pada berbagai
waktu dan tempat yang berbeda-beda, namun beberapa diantaranya tidak bermakna
dan pada sebagian defenisi lain kebenarannya terdistorsi menjadi kabut retorika
belaka. Namun demikian, menurut Gray, ada 3 (tiga) teori yang mengacu pada para
pemikir yang akurat dan mempunyai potensi besar untuk dapat diterima
kebenarannya.[1]
Ketiga teori dimaksud menolak anggapan bahwa pengadilan adalah “the author” dari hukum, melainkan
pengadilan hanyalah juru bicara yang mengespresikan hukum. Teori pertama adalah
teori yang memandang hukum sebagai perintah-perintah dari pemegang kedaulatan,
teori defenisi hukum yang kedua adalah teori yang memandang sifat hukum sebagai
apa yang diputuskan oleh pengadilan dan merupakan suatu kebenaran yang
menerapkan kesadaran umum rakyat yang telah ada sebelumnya, teori pendefenisian
hukum ketiga adalah teori yang menganggap hukum hanyalah apa yang diputuskan
oleh hakim.
Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik
IndonesiaTahun 1945telah secara jelas
menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechstaat), tidak berdasarkan atas
kekuasaan belaka (machtstaat).Hukum
pada dasarnya adalah sesuatu yang abstraksehingga menimbulkan persepsi yang
berbeda-beda tentang defenisi hukum, tergantung dari sudut mana mereka
memandangnya.[2]
Menurut Achmad Ali, hukum adalah:
“Seperangkat kaidah atau ukuran yang tersusun dalam suatu
sistem yang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan manusia sebagai
warga negara dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum tersebut bersumber baik dari
masyarakat sendiri maupun dari sumber lain yang diakui berlakunya oleh otoritas
tertinggi dalam masyarakat tersebut, serta benar-benar diberlakukan oleh warga
masyarakat sebagai satu keseluruhan dalam kehidupannya.Apabila kaidah tersebut
dilanggar akan memberikan kewenangan bagi otoritas tertinggi untuk menjatuhkan
sanksi yang sifatnya eksternal.”3
Dari
berbagai fokus pembahasan ilmu hukum, salah satu dari kajian ilmu hukum yang
sangat penting adalah kajian ilmu hukum pidana. Hukum pidana adalah sejumlah
peraturan yang merupakan bagian dari hukum positif yang mengandung
larangan-larangan dan keharusan-keharusan yang ditentukan oleh negara atau
kekuasaan lain yang berwenang untuk menentukan peraturan pidana, larangan, atau
keharusan itu disertai ancaman pidana dan apabila hal ini dilanggar timbullah
hak negara untuk melakukan tuntutan, menjatuhkan pidana, melaksanakan pidana.[3]
Hukum
pidana dapat bermakna jamak karena dalam arti objektif sering disebut ius poenaledan dalam arti subjektif
disebut ius puniendi, yaitu peraturan
hukum yang menetapkan tentang penyidikan lanjutan, penuntutan, penjatuhan, dan
pelaksanaan pidana. Dalam arti objektif
meliputi :[4]
1. Perintah
dan larangan yang atas pelanggarannya atau pengabaiannya telah ditetapkan
sanksi terlebih dahulu oleh badan-badan negara yang berwenang;
peraturan-peraturan yang harus ditaati dan diindahkan oleh setiap orang.
2. Ketentuan-ketentuan
yang menetapkan dengan cara atau alat apa dapat diadakan reaksi terhadap
pelanggaran peraturanperaturan tersebut.
3. Kaidah-kaidah
yang menentukan ruang lingkup berlakunya peraturan-peraturan itu pada waktu dan
di wilayah negara
tertentu.
Dilihat
dalam garis-garis besarnya dengan berpijak pada kodifikasi sebagai sumber utama
atau sumber pokok hukum pidana, hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik
yang memuat atau berisi tentang ketentuan-ketentuan sebagai berikut :[5]
1. Aturan
umum hukum pidana dan yang berkaitan atau berhubungan dengan larangan melakukan
perbuatanperbuatan tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan
itu.
2. Syarat-syarat
tertentu yang harus dipenuhi atau harus ada bagi pelanggar untuk dapat
dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang
dilanggarnya.
3. Tindakan
dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat perlengkapannya
(misalnya: polisi, jaksa, hakim) terhadap yang disangka dan didakwa sebagai
pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan, menjatuhkan, dan
melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya
yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka atau terdakwa pelanggar hukum
tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan
negara dalam upaya negara menegakkan hukum pidana tersebut.
Hukumpidana
yang mengandung aspek pertama dan kedua disebuthukum pidana materil yang sumber
utamanya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang selanjutnya disebut
KUHP). Sementara itu, hukum pidana yang berisi mengenai aspek ketiga
disebuthukum pidana formil yang sumber pokoknya adalah UndangUndang No. 8 Tahun1981
tentangKitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (yang selanjutnya disebut KUHAP)
Hukum pidana dapat dibagi dan dibedakan atas berbagai dasar
atau cara berikut ini :[6]
1. Hukum
pidana berdasarkan materi yang diaturnya terdiri atas hukum pidana materil dan
hukum pidana formil. Hukum pidana materil adalah kumpulan aturan hukum yang
menentukan pelanggaran pidana, menetapkan syarat-syarat bagi pelanggar pidana
untuk dapat dihukum, menunjukkan orang dapat dihukum dan dapat menetapkan
hukuman atas pelanggaran pidana. Sementara itu, hukum pidana formil adalah
kumpulan aturan hukum yang mengatur cara mempertahankan hukum pidana materil
terhadap pelanggaran.
Doktrin yang juga
membedakan hukum pidana materil dan hukum pidana formil, dikemukakan olehSimons
menjelaskan kedua hal tersebut sebagai berikut :[7]
“Hukum pidana materil itu memuat
ketentuan-ketentuan dan rumusan-rumusan dari tindak pidana, peraturan-peraturan
mengenai syarat-syarat tentang bilamana seseorang itu menjadi dapat dihukum,
penunjukan dari orang-orang yang dapat dihukum dan ketentuan-ketentuan mengenai
hukumannya sendiri; jadi, ia menentukan tentang bilamana seseorang itu dapat
dihukum, siapa yang dapat dihukum, dan siapa yang dapat dihukum serta bilamana
hukuman tersebut dapat dijatuhkan. Hukum pidana formil mengatur
tentangbagaimana cara negara dengan perantaraan alat-alat kekuasaannya
menggunakan haknya untuk menghukum dan menjatuhkan hukuman, dengan demikian
memuat acara pidana.”
1. Atas
dasar pada siapa berlakunya hukum pidana, hukum pidana dapat dibedakan antara
hukum pidana umum dan hukum pidana khusus dengan penjelasan bahwa hukum pidana
umum adalah hukum pidana yang ditujukan dan berlaku untuk semua warga negara
(subjek hukum) dan tidak membeda-bedakan kualitas pribadi subjek hukum tertentu.
Sementara itu, hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang dibentuk oleh
negara yang hanya dikhususkan berlaku bagi subjek hukum tertentu (Contoh : Buku
II KUHP, kejahatan jabatan yang hanya berlaku bagi pegawai negeri).[1]
2. Atas
dasar sumbernya, hukum pidana dapat dibedakan antara hukum pidana umum dan
hukum pidana khusus yang berbeda pengertian dengan hukum pidana umum dan hukum
pidana khusus di atas. Hukum pidana umum dalam hal ini adalah semua ketentuan
hukum pidana yang terdapat atau bersumber pada kodifikasi [2]
sehinggadisebut dengan hukum pidana kodifikasi. Sementara itu, hukum
pidana khusus adalah hukum pidana yang bersumberpada peraturan
perundang-undangan di
luar kodifikasi.
3. Atas
dasar wilayah berlakunya hukum, hukum pidana dapat dibedakan antara hukum
pidana umum dan hukum pidana lokal. Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang
dibentuk oleh pemerintahan negara pusat yang berlaku bagi subjek hukum yang
berada dan berbuat melanggar larangan hukum pidana di seluruh wilayah hukum
negara. Sementara itu, hukum pidana lokal adalah hukum pidana yang dibuat oleh
pemerintah daerah yang berlaku bagi subjek hukum yang melakukan perbuatan yang
dilarang oleh hukum pidana di dalam wilayah hukum pemerintahan daerah tersebut.
4. Atas
dasar bentuk atau wadahnya, hukum pidana dapat dibedakan menjadi hukum pidana
tertulis dan hukum pidana tidak tertulis. Hukum pidana tertulis meliputi KUHP
dan KUHAP yang merupakan kodifikasi hukum pidana materil dan hukum pidana
formil, termasuk hukum pidana tertulis yang bersifat khusus dan hukum pidana
yang statusnya lebih rendah dari perundang-undangan pidana daerah (lokal).
Hukum pidana adat tidak tertulis adalah sebagian besar hukum adat pidana yang
berdasarkan Pasal 5 (3) Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun
1951.[3]
Salah
satu tindak pidana yang marak terjadi adalah tindak pidana penipuan. Hal ini
disebabkan karena tindak penipuan tidaklah sulit dalam melakukannya, hanya
dengan bermodalkan kemampuan seseorang
meyakinkan orang
lain melalui serangkaian kata-kata bohong atau fiktif, menjanjikan atau
memberikan iming-iming dalam bentuk apapun, baik terhadap sesuatu yang dapat
memberikan kekuatan (magis) maupun
pada harta kekayaan.
Tingkat
pengetahuan dan pemahaman masyarakat terkhusus aparat penegak hukum sebagai
pihak yang menjalankan peraturan perundang-undangan menyebabkan seringnya
terjadi kekeliruan dalam menafsirkan tindak pidana penipuan tersebut. Bukti
menunjukkan bahwa masyarakat atau aparat penegak hukum yang menjalankan tugas
apabila telah terjadi mengenai utang piutang menganggap bahwa hal tersebut
adalah sebuah penipuan, padahal jika hal tersebut dikaji lebih dalam ternyata
berkaitan dengan hukum perdata tentang ingkar dalam perjanjian yang lebih dikenal
dengan istilah wanprestasi. Seiring
dengan hal tersebut, aparat penegak hukum harus teliti dalam menangani dan
menentukan perbuatan tersebut tergolong dalam tindak pidana penipuan ataupun wanprestasi sehingga menghindariadanya
kesalahan penafsiran dalam penegakan hukum.
Adapun
contoh kasus terkait dengan tindak pidana penipuan sebagaimana yang hendak
Penulis teliti adalah terjadinya tindak pidana penipuan di lingkup masyarakat
Kota Makassar. Tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku dalam kasus ini adalah
tindak pidana penipuan dengan modus pelaku yakni dengan memberikan keyakinan
dan membujuk korban selaku Direktur PT. Rodamas Baja Inti untuk menyediakan
kebutuhan besi beton untuk pembangunan proyek Carrefour dan Hypermart
Panakukang yang merupakan perusahaan dari Perancis dan pasti akan menghasilkan
keuntungan yang besar sehingga pembayaran dan total jumlah pembelian akan
dibayar sesuai dengan waktu yang diperjanjikan. Selain itu, untuk lebih
meyakinkan David Gautama bahwa besi beton akan dibayar dengan tepat waktu,
pelaku juga menjanjikan dan mengiming-iming akan menyerahkan 7 (tujuh) bidang
tanah ukuran 7 x 270 m2type Paris yang berada di Golden Park
Panakukang Mas sebagai pemotongan 10 % dari pembayaran DP 30 % total pembelian.
Akan tetapi, pelaku sebenarnya mengetahui bahwa ketujuh bidang tanah tersebut
sedang dalam sengketa/berperkara dengan pihak lain mengenai kepemilikannya
sehingga pelaku menyadari bahwa sebenarnya dia tidak dapat berbuat bebas
terhadap ketujuh bidang tanah tersebut.Namun, pelaku dengan sengaja tidak
memberitahukan kepada David Gautama selaku Direktur PT. Rodamas Baja Inti bahwa
tanah tersebut sedang dalam perkara ditingkat kasasi sehingga korban menyetujui
penyerahan tanah sebagai kompensasi pembayaran DP pembelian besi tersebut.Akhirnya,
David Gautama tergerak hatinya dan menyetujui disusunnya kontrak penjualan besi
beton dan wiremesh beserta pengiriman
sesuai jadwal yang ditetapkan.
Ketentuan
tindak pidana penipuan termuat dalam Pasal 378KUHP yang rumusannya sebagai
berikut :
“Barangsiapa dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai
nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian
kebohongan, membujuk orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya,
atau supaya memberi utang atau menghapuskan piutang, diancam karena penipuan
dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
Klik Disini Untuk Download Skripsi Lengkap
[1] Andi Zainal Abidin, 2010, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta,
hal. 18.
[2] Kodifikasi adalah
pembukuan hukum undang-undang dalam bidang tertentu dengan sistem secara
lengkap oleh suatu Negara.
[3]
Andi Zainal Abidin, 2010, Hukum Pidana 1,
Sinar Grafika, Jakarta, hal. 22.
[1] Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal theory) dan Teori
Peradilan (Judicial Prudence) Volume 1, Kencana, Jakarta, hal 309-400.
[2] Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum, Ghalia Indonesia,
Bogor, hal 11. 3 Ibid, hal.30.
[3] Amir Ilyas, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana, Rangkang Education dan Pukap,Makassar, hal.
3.
[4] Andi Zainal Abidin, 2010, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta,
hal. 1.
[6] Adami Chazawi, 2001, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal. 8.
[7] P.A.F. Lamintang 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT
Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 11.
No comments:
Post a Comment