Zat pengatur tumbuh tanaman merupakan susunan organik, berbeda
dengan nutrient, dimana hormon dihasilkan oleh tanaman dalam konsentrasi yang
bisa mengatur proses fisiologi tanaman. Salah satu bahan sintetis yang
mempengaruhi proses fisiologi tanaman adalah zat pengatur tumbuh. Hartmann
dan Kester (1983) menyatakan bahwa hormon adalah pengatur pertumbuhan,
tetapi tidak semua zat pengatur tumbuh adalah hormon. Menurut Heddy (1989)
hormon adalah molekul-molekul yang kegiatannya mengatur reaksi-reaksi
metabolik penting. Molekul-molekul tersebut dibentuk di dalam organisme
dengan proses metabolik dan tidak berfungsi dalam nutrisi.
Istilah zat mencakup hormon tumbuhan (alami) dan senyawa-senyawa
buatan yang dapat mengubah tanaman dan perkembangan tumbuhan (Heddy,
1989). Departemen Kehutanan (1987) menyebutkan hormon tumbuh adalah zat
organik yang dihasilkan oleh tanaman yang dalam konsentrasi rendah dapat
mengatur proses fisiologis.
Berbagai uji coba yang dilakukan Departemen Kehutanan (1987),
menunjukkan hasil bahwa penggunaan hormon tumbuh akar dapat mempertinggi
persen tumbuh bibit di lapangan dan meningkatkan pertumbuhan sistem
perakaran, tinggi dan diameter tanaman sehingga setelah bibit ditanam lebih
mampu dan cepat beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Menurut Zaerr dan
Mapes (1982), beberapa hormon yang bisa digunakan dalam mengatur
pertumbuhan tanaman adalah auksin, sitokinin dan gibberelin.
Departemen Kehutanan (1987) menyebutkan zat pengatur tumbuh adalah
senyawa-senyawa organik selain nutrisi tanaman yang dalam jumlah sedikit dapat
mendorong, menghambat atau mempengaruhi setiap proses fisiologi dalam
tanaman. Salah satu hormon tumbuh yang tidak terlepas dari proses pertumbuhan
dan perkembangan tanaman adalah auksin. Auksin selain terdapat dalam tanaman,
dapat juga dibuat secara sintetik dan dapat digunakan untuk berbagai keperluan,
antara lain untuk memacu pembentukan dan pertumbuhan akar.
Zat pengatur tumbuh yang sering digunakan untuk merangsang
pertumbuhan adalah indolebutyric acid (IBA), indoleacetic acid (IAA) dan
napthaleneacetic acid (NAA). IBA dan NAA lebih efektif daripada IAA, sebab
keduanya lebih stabil digunakan dalam penyetekan. IBA dan NAA lebih stabil
terhadap oksidase dan cahaya (Zaerr dan Mapes, 1982). Menurut Salisbury dan
Ross (1992), NAA lebih efektif dari IAA karena NAA tidak dapat dirusak oleh
IAA oksidase atau enzim lainnya, sehingga bertahan lebih lama. Sedangkan IBA
lazim digunakan untuk memacu perakaran dibandingkan dengan NAA atau auksin
lainnya. IBA bersifat aktif.
No comments:
Post a Comment