Untuk melakukan pengaturan kejahatan dunia
maya (cyber crime) menurut Mardjono
Reksodiputro (2001:24), yang mengutip pendapat Sinrod, kita dapat melakukan dua
pendekatan yaitu:
a.
Menganggapnya
sebagai kejahatan biasa (ordonary crime)
yang dilakukan dengan komputer teknologi tinggi (high-rech)dapat dipergunakan untuk menanggulanginya (tentu dengan
peambahan).
b.
Menganggapnya
sebagai kejahatan baru (new category of
crime) yang membutuhkan suatu kerangka hukum yang baru dan komprehensif
untuk mengatasi sifat khusus tehnologi yang sedang berkembang dan tantangan
baru yang tidak ada kejahatan biasa (misalnya masalah yuridiksi), dank arena itu
perlu diatur secara tersendiri diluar KUHP.
Mardjono Reksodiputro (2001:25), menyatakan
bahwa ada dua pendekatan yang digunakan secara bersama-sama, misalnya dengan
menghadiri Security Act 1933 (UU Pasar Modal) mengundangkan komputer Fraud and Abuse Act.
Dalam konsep rancangan KUHP 2012, kebijakan
sementara yang diambil mengantisipasi cyber
crime dengan menggunakan pendekatan pertama dari yang dikemukakan Sinrod,
yaitu menganggapnya sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) yang dilakukan dengan komputer teknologi tinggi (high tech), dan KUHP dipergunakan untuk
menanggulanginya ataupun perubahan semestinya. Dengan demikian pemerintah masih
mempergunakan KUHP terhadap tindakan cyber
crime.
Kehadiran rancangan KUHP nantinya tidak
memiliki arti sama sekali bagi upaya penanggulangan cyber crime di Indonesia, namun demikian yang dimaksud adalah bahwa
kehadiran KUHP Nasional itu memiliki
keterbatasan dalam upaya penanggulangan
kejahatan. Berkaitan dengan hal ini, Nawawi Arief (2006:15-16), mengemukakan
bahwa kebijakan sementara yang harus ditempuh didalam rancangan KUHP 2012 dalam
rangka penanggulangan cyber crime
memang dimungkinkan karena terdapat ketentuan-ketentuan dalam Buku I (Ketentuan
Umum) Rancangan KUHP
2012, sebagai berikut:
Pasal 170 RUU KUHP
“Data komputer adalah suatu representasi fakta-fakta,
informasi atau konsep-konsep dalam suatu bentuk yang sesuai untuk prosesing di
dalam suatu sistem komputer, termasuk suatu program yang sesuai untuk
memungkinkan suatu sistem komputer untuk melakukan suatu fungsi”. Pasal 173 RUU
KUHP
Informasi elektronik
adalah satu atau sekumpulan data elektronik diantaranya meliputi teks, simbol,
gambar, tanda-tanda, isyarat, tulisan, suara, bunyi, dan bentuk-bentuk lainnya
yang telah diolah sehingga mempunyai arti.
Pasal 174 RUU KUHP
Jaringan telepon
adalah termasuk jaringan komputer atau sistem komunikasi komputer.
Pasal 180 RUU KUHP
Kode akses adalah
angka, huruf, simbol lainnya atau kombinasi diantaranya yang merupakan kunci
untuk dapat mengakses komputer, jaringan komputer, internet, atau media
elektronik lainnya.
Pasal 181 RUU KUHP
Komputer adalah alat
pemroses data elektronik, magnetik, optikal, atau sistem yang melaksanakan
fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan.
Pasal 204 RUU KUHP
Ruang adalah
termasuk bentangan atau terminal komputer yang dapat diakses dengan cara-cara
tertentu.
Pasal 206 RUU KUHP
Sistem komputer
adalah suatu alat, perlengkapan, atau suatu perangkat perlengkapan yang saling
berhubungan atau terkait satu sama lain, satu atau lebih yang mengikuti suatu
program, melakukan prosesing data secara otomatik.
Pasal 207 RUU KUHP
Surat adalah surat
yang tertulis di atas kertas, termasuk juga surat atau data yang tertulis atau
tersimpan dalam disket, pita magnetik, atau media penyimpan komputer atau media
penyimpan data elektronik lain”.
Dalam ketentuan umum rancangan KUHP 2012 di
atas, belum membuat delik khusus tentang kejahatan cyber crime. Namun dengan adanya perluasan pengertian dalam Buku I
di atas, diharapkan dapat menjaring kasus-kasus cyber crime dengan tetap menggunakan perumusan delik atau menambah
delik-delik baru yang berkaitan dengan kemajuan teknologi, dengan harapan dapat
juga menjaring kasus-kasus Cybercrime,
antara lain: ( Nawawi Arief: 2006:16)
Menyadap pembicaraan
di ruangan tertutup dengan alat bantu teknis (Pasal 263 KUHP)
Memasang alat bantu
teknis untuk tujuan mendengar/merekam pembicaraan (Pasal 264 KUHP)
Merekam
(memiliki/menyiarkan) gambar dengan alat bantu teknis diruang tidak untuk umum (Pasal 266 KUHP)
Merusak/membuat
tidak dapat dipakai bangunan untuk sarana/prasarana pelayanan umum (Pasal 546
KUHP)
Pencucian uang (Money Laundering)- Pasal 641-642 KUHP
Kebijakan
penanggulangan cyber crime dengan
hukum pidana
termasuk bidang penal policy yang merupakan bagian dari criminal policy (kebijakan penanggulangan kejahatan). Dilihat dari
sudut criminal policy, upaya
penanggulangan kejahatan (termasuk penanggulangan cyber crime) tidak dapat dilakukan semata-mata secara parsial
dengan hukum pidana (secara penal), tetapi harus ditempuh pula dengan
pendekatan
integral/sistemik.
Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu
kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana
(tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana).
Jadi, pada hakikatnya, kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan
formulasi. Dalam upaya penanggulangan
cyber crime dengan hukum
pidana,
lokakarya/wokshop mengenai compoter related crime yang
diselenggarakan dalam konggres PBB X (April 2000) menyatakan bahwa
negara-negara anggota harus berusaha melakukan harmonisasi ketentuan-ketentuan
yang berhubungan dengan kriminalisasi, pembuktian, dan prosedur (States should seek harmonization of the
relevant provisions on criminalization, evidence and procedure). (Nawawi
Arief, 2003:240-241)
Jadi masalahnya bukan sekedar bagaimana
membuat kebijakan hukum pidana (kebijakan/formulasi/legislasi) di bidang
penanggulangan cyber crime, tetapi
bagaimana ada harmonisasi kebijakan penal di berbagai
Negara. Jadi diperlukan harmonisasi
eksternal yakni peraturan yang ada di Indonesia harus satu visi dan misi dengan
peraturan negara lain (payung lembaga hukumnya adalah konfrensi PBB tentang cyber crime). Namun demikian, bahwa
kebijakan formulasi harus juga memperhatikan harmonisasi internal dengan sistem
hukum pidana atau aturan pemidanaan umum yang sedang berlaku saat ini (payung
hukumnya adalah KUHP). Oleh karena itu, dalam kondisi saat ini, kebijakan
formulasi hukum pidana di bidang cyber
crime harus tetap berada dalam sistem hukum pidana (materiel) yang saat ini
berlaku di Indonesia.
No comments:
Post a Comment