Saturday, October 8, 2016

Pengaturan dan Kebijakan Cyber Crime Dalam Hukum Pidana



 Untuk melakukan pengaturan kejahatan dunia maya (cyber crime) menurut Mardjono Reksodiputro (2001:24), yang mengutip pendapat Sinrod, kita dapat melakukan dua pendekatan yaitu:
a.         Menganggapnya sebagai kejahatan biasa (ordonary crime) yang dilakukan dengan komputer teknologi tinggi (high-rech)dapat dipergunakan untuk menanggulanginya (tentu dengan peambahan).
b.         Menganggapnya sebagai kejahatan baru (new category of crime) yang membutuhkan suatu kerangka hukum yang baru dan komprehensif untuk mengatasi sifat khusus tehnologi yang sedang berkembang dan tantangan baru yang tidak ada kejahatan biasa (misalnya masalah yuridiksi), dank arena itu perlu diatur secara tersendiri diluar KUHP.

 Mardjono Reksodiputro (2001:25), menyatakan bahwa ada dua pendekatan yang digunakan secara bersama-sama, misalnya dengan menghadiri  Security Act 1933 (UU Pasar Modal) mengundangkan komputer Fraud and Abuse Act.
 Dalam konsep rancangan KUHP 2012, kebijakan sementara yang diambil mengantisipasi cyber crime dengan menggunakan pendekatan pertama dari yang dikemukakan Sinrod, yaitu menganggapnya sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) yang dilakukan dengan komputer teknologi tinggi (high tech), dan KUHP dipergunakan untuk menanggulanginya ataupun perubahan semestinya. Dengan demikian pemerintah masih mempergunakan KUHP terhadap tindakan cyber crime.
 Kehadiran rancangan KUHP nantinya tidak memiliki arti sama sekali bagi upaya penanggulangan cyber crime di Indonesia, namun demikian yang dimaksud adalah bahwa kehadiran KUHP Nasional itu memiliki
keterbatasan dalam upaya penanggulangan kejahatan. Berkaitan dengan hal ini, Nawawi Arief (2006:15-16), mengemukakan bahwa kebijakan sementara yang harus ditempuh didalam rancangan KUHP 2012 dalam rangka penanggulangan cyber crime memang dimungkinkan karena terdapat ketentuan-ketentuan dalam Buku I (Ketentuan Umum) Rancangan KUHP
2012, sebagai berikut:
Pasal 170 RUU KUHP
“Data komputer  adalah suatu representasi fakta-fakta, informasi atau konsep-konsep dalam suatu bentuk yang sesuai untuk prosesing di dalam suatu sistem komputer, termasuk suatu program yang sesuai untuk memungkinkan suatu sistem komputer untuk melakukan suatu fungsi”. Pasal 173 RUU KUHP
Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik diantaranya meliputi teks, simbol, gambar, tanda-tanda, isyarat, tulisan, suara, bunyi, dan bentuk-bentuk lainnya yang telah diolah sehingga mempunyai arti.

Pasal 174 RUU KUHP
Jaringan telepon adalah termasuk jaringan komputer atau sistem komunikasi komputer.
Pasal 180 RUU KUHP
Kode akses adalah angka, huruf, simbol lainnya atau kombinasi diantaranya yang merupakan kunci untuk dapat mengakses komputer, jaringan komputer, internet, atau media elektronik lainnya.
Pasal 181 RUU KUHP
Komputer adalah alat pemroses data elektronik, magnetik, optikal, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan.
Pasal 204 RUU KUHP
Ruang adalah termasuk bentangan atau terminal komputer yang dapat diakses dengan cara-cara tertentu.
Pasal 206 RUU KUHP
Sistem komputer adalah suatu alat, perlengkapan, atau suatu perangkat perlengkapan yang saling berhubungan atau terkait satu sama lain, satu atau lebih yang mengikuti suatu program, melakukan prosesing data secara otomatik.
Pasal 207 RUU KUHP
Surat adalah surat yang tertulis di atas kertas, termasuk juga surat atau data yang tertulis atau tersimpan dalam disket, pita magnetik, atau media penyimpan komputer atau media penyimpan data elektronik lain”.

 Dalam ketentuan umum rancangan KUHP 2012 di atas, belum membuat delik khusus tentang kejahatan cyber crime. Namun dengan adanya perluasan pengertian dalam Buku I di atas, diharapkan dapat menjaring kasus-kasus cyber crime dengan tetap menggunakan perumusan delik atau menambah delik-delik baru yang berkaitan dengan kemajuan teknologi, dengan harapan dapat juga menjaring kasus-kasus Cybercrime, antara lain: ( Nawawi Arief: 2006:16)
Menyadap pembicaraan di ruangan tertutup dengan alat bantu teknis (Pasal 263 KUHP)
Memasang alat bantu teknis untuk tujuan mendengar/merekam pembicaraan (Pasal 264 KUHP)
Merekam (memiliki/menyiarkan) gambar dengan alat bantu teknis diruang tidak untuk   umum (Pasal 266 KUHP)
Merusak/membuat tidak dapat dipakai bangunan untuk sarana/prasarana pelayanan umum (Pasal 546 KUHP)
Pencucian uang (Money Laundering)- Pasal 641-642 KUHP
                                           Kebijakan penanggulangan cyber crime dengan hukum pidana
termasuk bidang penal policy yang merupakan bagian dari criminal policy (kebijakan penanggulangan kejahatan). Dilihat dari sudut criminal policy, upaya penanggulangan kejahatan (termasuk penanggulangan cyber crime) tidak dapat dilakukan semata-mata secara parsial dengan hukum pidana (secara penal), tetapi harus ditempuh pula dengan pendekatan
integral/sistemik.  
 Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Jadi, pada hakikatnya, kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan formulasi. Dalam upaya            penanggulangan          cyber   crime   dengan             hukum             pidana,
lokakarya/wokshop mengenai compoter related crime yang diselenggarakan dalam konggres PBB X (April 2000) menyatakan bahwa negara-negara anggota harus berusaha melakukan harmonisasi ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan kriminalisasi, pembuktian, dan prosedur (States should seek harmonization of the relevant provisions on criminalization, evidence and procedure). (Nawawi Arief, 2003:240-241)
 Jadi masalahnya bukan sekedar bagaimana membuat kebijakan hukum pidana (kebijakan/formulasi/legislasi) di bidang penanggulangan cyber crime, tetapi bagaimana ada harmonisasi kebijakan penal di berbagai

Negara. Jadi diperlukan harmonisasi eksternal yakni peraturan yang ada di Indonesia harus satu visi dan misi dengan peraturan negara lain (payung lembaga hukumnya adalah konfrensi PBB tentang cyber crime). Namun demikian, bahwa kebijakan formulasi harus juga memperhatikan harmonisasi internal dengan sistem hukum pidana atau aturan pemidanaan umum yang sedang berlaku saat ini (payung hukumnya adalah KUHP). Oleh karena itu, dalam kondisi saat ini, kebijakan formulasi hukum pidana di bidang cyber crime harus tetap berada dalam sistem hukum pidana (materiel) yang saat ini berlaku di Indonesia. 

No comments:

Post a Comment