Tempus delicti, yaitu berdasarkan waktu,
untuk menentukan apakah suatu undang-undang dapat diterapkan terhadap suatu
tindak pidana. Moeljatno (1987:78) mengenai penentuan soal waktu (tempus delicti) dalam undang-undang
hukum pidana tidak dijelaskan secara rinci serta tidak ada ketentuan khusus
yang mengaturnya, padahal keberadaan tempus
delicti perlu, demi untuk:
1.
Menentukan berlakunya hukum pidana sebagaimana
yang diatur dalam
Pasal 1 ayat 1 KUHP, yakni “tidak ada
perbuatan yang dapat dihukum selain atas kekuatan peraturan pidana dalam
undang-undang yang diadakan pada waktu sebelumnya”. Dalam hal apakah perbuatan
itu adalah perbuatan yang berkaitan pada waktu itu sudah dilarang dan dipidana.
Jika undang-undang dirubah sesudah perbuatan itu tejadi, maka dipakailah aturan
yang paling ringan bagi terdakwa.
2.
Menentukan saat berlakunya verjarings termijn (daluwarsa) sehingga perlu diketahui saat yang
dianggap sebagai waktu permulaan
terjadinya kejahatan.
3.
Menentukan hal yang berkaitan dengan Pasal 45
KUHP. Menurut pasal ini hakim dapat menjalankan tiga jenis hukuman terhadap
tersangka yang belum genap berumur 16 tahun, yakni: (a) mengembalikan kepada
orang tuanya, (b) menyerahkan kepada pemerintah dengan tidak menjatuhkan
hukuman, dan (c) menjatuhkan hukuman yang diancamkan terhadap kejahatan yang
dilakukan oleh terdakwa.
Berlakunya hukum pidana menurut waktu (tempus)
Pasal 1 ayat (1) dan (2) KUHP:
1. Didalam
Pasal 1 ayat (1) KUHP terkandung tiga asas antara lain, Adami Chazawi
(2005:173-181):
a.
Asas Legalitas (Nullum delictum, nulla poena, sine praevia lege poenali)
Tiada hukuman tanpa suatu peraturan yang
terlebih dahulu menyebut perbuatan yang bersangkutan sebagai suatu delik dan
yang memuat suatu hukuman yang dapat dijatuhkan atas delik itu.
b. Asas
Larangan Berlaku Surut
Larangan memberlakukan UU yang baru
lahir terhadap suatu tindakan pidana yang sebelumnya belum diatur dalam UU.
Jadi sifat undangundang pidana adalah berjalan ke depan dan tidak ke belakang.
c. Asas
Larangan Penggunaan Analogi
Analogi terjadi apabila suatu peraturan
hukum menyebut dengan tegas suatu kejadian yang diatur, tetapi peraturan itu
dipergunakan juga bagi kejadian lain yang terang tidak disebut dalam peraturan
itu, tetapi banyak terjadi dengan kejadian-kejadian lainnya.
2. Didalam
Pasal 2 ayat (2) dibahas mengenai: ( Adami Chazawi, 2005:183-
186)
a) Perubahan undang-undang, ada tiga macam
teori yakni:
(1) Teori
Formil : Menurut Hoge Raad Raad dalam keputusannya tanggal 3 Desember 1906 apabila
ada perubahan redaksional UU, misalnya UU Perdata yang berhubungan dengan UU
Pidana maka perubahan itu juga
dikategorikan sebagai perubahan UU sebagaimana menurut pasal 1 ayat (2) KUHP
walaupun perubahan itu sendiri tidak disebut dalam redaksi suatu pasal dalam UU
Pidana itu sendiri.
(2) Teori
Materiil Terbatas: yakni tiap perubahan dalam perundangundangan yang sesuai
dengan perubahan perasaan (keyakinan) hukum pada pembuat UU. Jadi tidak boleh
diperhatikan suatu perubahan keadaan karena waktu. (Van Geuns)
(3) Teori
Materiil yang tidak terbatas: yakni tiap perubahan UU baik dalam perasaan hukum
dari pembuat UU maupun dalam keadaan karena waktu boleh diterima sebagai suatu
perubahan dalam UU menurut arti kata Pasal 2 ayat (1) (Hoge Raad)
b)
Undang-undang mana yang akan dipakai untuk menjerat tersangka apabila
terjadi perubahan undang-undang.
Apabila terjadi perubahan UU ketika
tersangka sedang dalam proses penyidikan atau peradilan, maka UU yang dipilih
adalah UU yang paling menguntungkan si tersangka, baik dari segi hukuman maupun
segala sesuatu yang mempunyai pengaruh atas penilaian suatu delik. Semakin
banyak unsur biasanya akan semakin menguntungkan terdakwa karena jaksa akan
semakin kesulitan untuk melakukan pembuktian.
Tempus
delicti penting diketahui dalam hal-hal:
a.
Kaitannya dengan Pasal 1 KUHP (telah dijelaskan
di atas)
b.
Kaitannya degan aturan tentang Daluwarsa
Daluwarsa diatur dalam Pasal 79 KUHP yakni
mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan.
Teori-teori
tempus delicti yang di kemukakan oleh
Satochid
Kartanegara (2000:158):
a)
Teori perbuatan fisik (de leer van de lichamelijke daad)
Ialah teori yang menjelaskan kapan
suatu delik dilakukan oleh
tersangka.
b)
Teori bekerjanya alat yang digunakan (de leer van het instrumen) Menjelaskan
mengenai kapan suatu alat yang digunakan untuk melakukan suatu delik itu
diaktifkan dan berakhir hingga memberikan akibat bagi korbannya, misalnya:
racun, bom dan sebagainya.
c)
Teori akibat (de leer van het gevolg)
Menjelaskan mengenai kapan akibat mulai
timbul ketika terjadi suatu
delik.
d)
Teori waktu yang jamak (de leer van de meervoudige tijd)
No comments:
Post a Comment