Saturday, October 8, 2016

Pengertian Tempus Delicti

 Tempus delicti, yaitu berdasarkan waktu, untuk menentukan apakah suatu undang-undang dapat diterapkan terhadap suatu tindak pidana. Moeljatno (1987:78) mengenai penentuan soal waktu (tempus delicti) dalam undang-undang hukum pidana tidak dijelaskan secara rinci serta tidak ada ketentuan khusus yang mengaturnya, padahal keberadaan tempus delicti perlu, demi untuk: 
1.             Menentukan berlakunya hukum pidana sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 1 ayat 1 KUHP, yakni “tidak ada perbuatan yang dapat dihukum selain atas kekuatan peraturan pidana dalam undang-undang yang diadakan pada waktu sebelumnya”. Dalam hal apakah perbuatan itu adalah perbuatan yang berkaitan pada waktu itu sudah dilarang dan dipidana. Jika undang-undang dirubah sesudah perbuatan itu tejadi, maka dipakailah aturan yang paling ringan bagi terdakwa. 
2.             Menentukan saat berlakunya verjarings termijn (daluwarsa) sehingga perlu diketahui saat yang dianggap sebagai waktu permulaan
terjadinya kejahatan. 
3.             Menentukan hal yang berkaitan dengan Pasal 45 KUHP. Menurut pasal ini hakim dapat menjalankan tiga jenis hukuman terhadap tersangka yang belum genap berumur 16 tahun, yakni: (a) mengembalikan kepada orang tuanya, (b) menyerahkan kepada pemerintah dengan tidak menjatuhkan hukuman, dan (c) menjatuhkan hukuman yang diancamkan terhadap kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa.
 Berlakunya hukum pidana menurut waktu (tempus)  Pasal 1 ayat (1) dan (2) KUHP:
1.    Didalam Pasal 1 ayat (1) KUHP terkandung tiga asas antara lain, Adami Chazawi (2005:173-181): 
a.    Asas Legalitas (Nullum delictum, nulla poena, sine praevia lege poenali)  
Tiada hukuman tanpa suatu peraturan yang terlebih dahulu menyebut perbuatan yang bersangkutan sebagai suatu delik dan yang memuat suatu hukuman yang dapat dijatuhkan atas delik itu.  
b.    Asas Larangan Berlaku Surut
Larangan memberlakukan UU yang baru lahir terhadap suatu tindakan pidana yang sebelumnya belum diatur dalam UU. Jadi sifat undangundang pidana adalah berjalan ke depan dan tidak ke belakang.  
c.    Asas Larangan Penggunaan Analogi
Analogi terjadi apabila suatu peraturan hukum menyebut dengan tegas suatu kejadian yang diatur, tetapi peraturan itu dipergunakan juga bagi kejadian lain yang terang tidak disebut dalam peraturan itu, tetapi banyak terjadi dengan kejadian-kejadian lainnya.
2.    Didalam Pasal 2 ayat (2) dibahas mengenai: ( Adami Chazawi, 2005:183-
186) 
                   a)       Perubahan undang-undang, ada tiga macam teori yakni: 
(1)     Teori Formil :  Menurut Hoge Raad Raad dalam keputusannya tanggal 3 Desember 1906 apabila ada perubahan redaksional UU, misalnya UU Perdata yang berhubungan dengan UU Pidana maka perubahan itu  juga dikategorikan sebagai perubahan UU sebagaimana menurut pasal 1 ayat (2) KUHP walaupun perubahan itu sendiri tidak disebut dalam redaksi suatu pasal dalam UU Pidana itu sendiri.
(2)     Teori Materiil Terbatas: yakni tiap perubahan dalam perundangundangan yang sesuai dengan perubahan perasaan (keyakinan) hukum pada pembuat UU. Jadi tidak boleh diperhatikan suatu perubahan keadaan karena waktu. (Van Geuns)
(3)     Teori Materiil yang tidak terbatas: yakni tiap perubahan UU baik dalam perasaan hukum dari pembuat UU maupun dalam keadaan karena waktu boleh diterima sebagai suatu perubahan dalam UU menurut arti kata Pasal 2 ayat (1) (Hoge Raad)
b)   Undang-undang mana yang akan dipakai untuk menjerat tersangka apabila terjadi perubahan undang-undang. 
Apabila terjadi perubahan UU ketika tersangka sedang dalam proses penyidikan atau peradilan, maka UU yang dipilih adalah UU yang paling menguntungkan si tersangka, baik dari segi hukuman maupun segala sesuatu yang mempunyai pengaruh atas penilaian suatu delik. Semakin banyak unsur biasanya akan semakin menguntungkan terdakwa karena jaksa akan semakin kesulitan untuk melakukan pembuktian. 
Tempus delicti penting diketahui dalam hal-hal: 
a.               Kaitannya dengan Pasal 1 KUHP (telah dijelaskan di atas)
b.              Kaitannya degan aturan tentang Daluwarsa
 Daluwarsa diatur dalam Pasal 79 KUHP yakni mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan. 
                                               Teori-teori tempus delicti yang di kemukakan oleh Satochid
Kartanegara (2000:158):
a)                        Teori perbuatan fisik (de leer van de lichamelijke daad)
Ialah teori yang menjelaskan kapan suatu delik dilakukan oleh
tersangka. 
b)                       Teori bekerjanya alat yang digunakan (de leer van het instrumen) Menjelaskan mengenai kapan suatu alat yang digunakan untuk melakukan suatu delik itu diaktifkan dan berakhir hingga memberikan akibat bagi korbannya, misalnya: racun, bom dan sebagainya. 
c)                        Teori akibat (de leer van het gevolg)
Menjelaskan mengenai kapan akibat mulai timbul ketika terjadi suatu
delik. 

d)                       Teori waktu yang jamak (de leer van de meervoudige tijd

No comments:

Post a Comment