Setelah diketahui
pihak yang melakukan pencemaran, selanjutnya adalah bagaimana langkah
pembuktian yang harus diambil agar pihak pencemar mau bertanggungjawab terhadap
perbuatannya tersebut. Dalam Pasal 88
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, disebutkan bahwa masalah
pembuktian bersifat mutlak dibebankan pada perusak atau pencemar. Pencemar
disini bertanggungjawab secara mutlak atau strict
liability, yakni unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak
penggugat sebagai dasar pembayaran ganti
rugi.
Penyelesaian sengketa
lingkungan hidup dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 terdapat dalam
beberapa pasal. Beberapa pasal mengatur tentang penyelesaian lingkungan hidup,
baik melalui pengadilan maupun diselesaikan di luar pengadilan berdasar pilihan
sukarela para pihak yang bersengketa. Apabila upaya penyelesaian sengketa di
luar pengadilan tidak menghasilkan kesepakatan, maka dapat ditempuh gugatan
melalui
pengadilan.
Penyelesaian kasus
sengketa lingkungan melalui pengadilan, dapat ditempuh melalui proses perdata,
administrasi, maupun pidana. Apabila dilakukan menggunakan proses perdata, maka
sanksi yang diterapkan dapat berupa :
a.
Pembayaran ganti rugi terhadap penderita
b.
Pembayaran biaya pemulihan lingkungan hidup yang
telah
tercemar.
Penyelesaian sengketa
lingkungan dari proses perdata, dalam hubungannya dengan penyelesaian ganti
kerugian, ketentuan yang lazim dipakai adalah sebagaimana tertera dalam Kitab
Undang-undang Hukum
Perdata (KUHPer) , yaitu Pasal 1243 dan
1365. Pasal 1243 menyatakan,
”penggantian biaya rugi dan
bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila
si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap
melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya hanya
dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah
dilampaukannya”.
Sedang Pasal 1365
KUHPer, berbunyi, “tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa
kerugian kepada seseorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu,mengganti kerugian
tersebut”.
Apabila
penyelesaian melalui jalur administratif, sanksi yang dapat dijatuhkan menurut
pasal 76 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, berupa teguran tertulis,
kemudian paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan atau pencabutan izin
lingkungan. Penyelesaian sengketa lingkungan melalui proses pidana merupakan ultimum remidium atau jalan terakhir
dalam penyelesaian suatu perkara. Penerapan sanksi pidana dalam masalah
sengketa lingkungan diterapkan apabila sudah tidak ada upaya hukum yang lain
yang dapat ditempuh.
No comments:
Post a Comment