Saturday, October 8, 2016

Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Upaya Penegakan Hukum Lingkungan

Setelah diketahui pihak yang melakukan pencemaran, selanjutnya adalah bagaimana langkah pembuktian yang harus diambil agar pihak pencemar mau bertanggungjawab terhadap perbuatannya tersebut. Dalam Pasal 88
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, disebutkan bahwa masalah pembuktian bersifat mutlak dibebankan pada perusak atau pencemar. Pencemar disini bertanggungjawab secara mutlak atau strict liability, yakni unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti
rugi.  
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 terdapat dalam beberapa pasal. Beberapa pasal mengatur tentang penyelesaian lingkungan hidup, baik melalui pengadilan maupun diselesaikan di luar pengadilan berdasar pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak menghasilkan kesepakatan, maka dapat ditempuh gugatan melalui
pengadilan.
Penyelesaian kasus sengketa lingkungan melalui pengadilan, dapat ditempuh melalui proses perdata, administrasi, maupun pidana. Apabila dilakukan menggunakan proses perdata, maka sanksi yang diterapkan dapat berupa :
a.             Pembayaran ganti rugi terhadap penderita
b.            Pembayaran biaya pemulihan lingkungan hidup yang telah
tercemar.
Penyelesaian sengketa lingkungan dari proses perdata, dalam hubungannya dengan penyelesaian ganti kerugian, ketentuan yang lazim dipakai adalah sebagaimana tertera dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUHPer) , yaitu Pasal 1243 dan 1365. Pasal 1243 menyatakan,
”penggantian biaya rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”. 
Sedang Pasal 1365 KUHPer, berbunyi, “tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seseorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,mengganti kerugian
tersebut”.

Apabila penyelesaian melalui jalur administratif, sanksi yang dapat dijatuhkan menurut pasal 76 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, berupa teguran tertulis, kemudian paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan atau pencabutan izin lingkungan. Penyelesaian sengketa lingkungan melalui proses pidana merupakan ultimum remidium atau jalan terakhir dalam penyelesaian suatu perkara. Penerapan sanksi pidana dalam masalah sengketa lingkungan diterapkan apabila sudah tidak ada upaya hukum yang lain yang dapat ditempuh.  

No comments:

Post a Comment