Monday, October 10, 2016

Yuridiksi dan Pengaturan Competentie Relatief kejahatan Cyber Crime

 Dalam membicarakan masalah juridiksi di ruang maya (“mayantara” atau “cybercrime”). Jurisdiksi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Sucipto Suntoro, 2000:463) didefinisikan sebagai :  
1.   Kekuasaan mengadili lingkup kuasa kehakiman; peradilan;
2.   Lingkungan hak dan kewajiban serta tanggungjawab disuatu wilayah atau lingkungan tertentu ketentuan negara; 
 Para pengguna internet beranggapan bahwa cyberspace adalah dunia global yang lepas dari batas-batas wilayah teritorial negara manapun. Padahal berbagai bentuk cyber crime telah merajalela dan merugikan banyak pihak. Oleh karena itu diperlukan adanya ketentuan jurisdiksi diruang maya yang dapat menjangkau cyber crime. Masaki Hamano dalam tulisannya berjudul “Comparative Studyin the Approach to Jurisdiction in Cyberspace”147, yang dijelaskan oleh Barda Nawawi Arif (2003:246), mengemukakan adanya jurisdiksi yang didasarkan pada prinsip-prinsip tradisional. Menurutnya ada tiga kategori jurisdiksi tradisional, yaitu :  
1.        Jurisdiksi legislative (legislative jurisdictionataujurisdiction to prescribe), yaitu kewenangan pembuatan hukum substantif;
2.        Jurisdiksi judisial (judicial jurisdiction atau jurisdiction to adjudicate),yaitu kewenangan mengadili atau menerapkan hukum;
3.        Jurisdiksi eksekutif (executive jurisdictionatau jurisdiction to enforce),yaitu kewenangan melaksanakan atau memaksakan kepatuhan hukum yang dibuatnya.

 Berkaitan dengan jurisdiksi diruang maya, Masaki Hamano membedakan pengertian cyberjuris diction dari sudut pandang dunia cyber/virtual dan dari sudut hukum. Dari sudut dunia virtual, cyberjuris diction sering diartikan sebagai “kekuasaan sistem operator dan para pengguna (users) untuk menetapkan aturan dan melaksanakannya pada suatu masyarakat di ruang cyber/virtual”. Dari sudut hukum, cyberjuris diction atau “jurisdiction in cyber-space”adalah “kekuasaan fisik pemerintah dan kewenangan Pengadilan terhadap pengguna internet atau terhadap aktivitas mereka di ruang cyber(physical government’s power and court’s authority over Netusers ortheir activity in cyber-space). Adanya upaya untuk menetapkan jurisdiksi di dunia maya, berarti akan menetapkan siapa yang memiliki hak/wewenang untuk mengatur internet.(Nawawi Arief, 2003:248) Didalam KUHP memang mengatur tentang tempus dan locus delicti namun didalam UU ITE Nomor 8 Tahun 2008, tidak diatur lebih spesifik mengenai penentuan tempus dan locus delicti kejahatan mayantara . Pada hakekatnya juga KUHAP (Undang-Undang No. 8 Tahun 1981) juga tidak mengatur segala exspressis verbis tempus dan locus delicti, hal tersebut hanya mengatur mengenai hukum formil, akan tetapi menentukan komptensi relatif yakni wilayah hukum suatu Pengadilan Negara untuk mengadili suatu perkara pidana, kata lain Pengadilan Negara mana yang berwenang mengadili suatu peristiwa pidana sedangkan kompetensi absolut yakni kewenangan Pengadilan untuk mengadili perkara berdasarkan atas tingkatan Pengadilan lain. Sedangkan dalam Pasal 84 ayat (1) KUHAP hanya menyatakan, bahwa “Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya”. Namun, Pasal 84 ayat (2) memungkinkan juga Pengadilan Negeri yang bukan di daerahnya dilakukan tindak pidana mengadili terdakwa yang bersangkutan bertempat tinggal, berdiam terakhir, ditemukan atau ditahan di daerah hukum Pengadilan Negeri tersebut, dengan syarat bahwa sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat tempat tinggalnya daripada tempat kedudukan pengadilan itu dilakukan. Pasal 84 Ayat (2) tersebut memungkinkan tidak sesuainya teori locus delicti dengan tempat diadilinya perkara tersebut oleh
Pengadilan Negeri tersebut. 
Dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP tidak secara experessisverbis mengenai tempus dan locus delicti, tetapi menentukan competentie relative Pengadilan Negeri. Contoh dalam Pasal 84 ayat (1) dan (2), suatu ketentuan baru yang diatur dalam Pasal 85 KUHAP ialah dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu Pengadilan Negeri untuk mengadili suatu perkara, maka atas usul Ketua Pengadilan Negeri atau Kepala
Kejaksaan Negeri tersebut, Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk menetapkan Pengadilan Negeri lain dari pada yang tersebut pada Pasal 84 untuk mengadili perkara tersebut. Dalam penjelasan Pasal 85 itu dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan “keadaan daerah yang tidak mengizinkan” ialah antara lain tidak amannya daerah atau adanya bencana alam dan sebagainya. Ketentuan yang  terdapat pada Pasal 86 KUHAP  yang menyatakan bahwa KUHP menganut asas personalitas aktif dan asas personalitas pasif, yang membuka kemungkinan apabila seseorang melakukan tindak pidana diluar negeri yang dapat diadili menurut hukum di Republik Indonesia, dengan maksud perkara pidana tersebut dapat dengan mudah dan lancar maka ditunjuk Pengadian Negeri Jakarta Pusat yang berwenang mengadilinya.
                                    Batas berlakunya hukum pidana berdasarkan tempat dan orangnya 
penting diketahui dalam hal-hal: 
a)              Hukum pidana mana yang akan diberlakukan
b)              Kompetensi relatif suatu Pengadilan

No comments:

Post a Comment