Dalam
membicarakan masalah juridiksi di ruang maya (“mayantara” atau “cybercrime”).
Jurisdiksi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Sucipto Suntoro, 2000:463)
didefinisikan sebagai :
1.
Kekuasaan mengadili lingkup kuasa kehakiman;
peradilan;
2.
Lingkungan hak dan kewajiban serta tanggungjawab
disuatu wilayah atau lingkungan tertentu ketentuan negara;
Para pengguna internet beranggapan bahwa cyberspace adalah dunia global yang
lepas dari batas-batas wilayah teritorial negara manapun. Padahal berbagai
bentuk cyber crime telah merajalela
dan merugikan banyak pihak. Oleh karena itu diperlukan adanya ketentuan
jurisdiksi diruang maya yang dapat menjangkau cyber crime. Masaki Hamano dalam tulisannya berjudul “Comparative Studyin the Approach to
Jurisdiction in Cyberspace”147, yang dijelaskan oleh Barda Nawawi Arif
(2003:246), mengemukakan adanya jurisdiksi yang didasarkan pada prinsip-prinsip
tradisional. Menurutnya ada tiga kategori jurisdiksi tradisional, yaitu :
1.
Jurisdiksi legislative (legislative jurisdictionataujurisdiction
to prescribe), yaitu kewenangan pembuatan hukum substantif;
2.
Jurisdiksi judisial (judicial jurisdiction atau jurisdiction
to adjudicate),yaitu kewenangan mengadili atau menerapkan hukum;
3.
Jurisdiksi eksekutif (executive jurisdictionatau jurisdiction
to enforce),yaitu kewenangan melaksanakan atau memaksakan kepatuhan hukum
yang dibuatnya.
Berkaitan dengan jurisdiksi diruang maya,
Masaki Hamano membedakan pengertian cyberjuris
diction dari sudut pandang dunia cyber/virtual
dan dari sudut hukum. Dari sudut dunia virtual, cyberjuris diction sering diartikan sebagai “kekuasaan sistem
operator dan para pengguna (users) untuk
menetapkan aturan dan melaksanakannya pada suatu masyarakat di ruang cyber/virtual”. Dari sudut hukum, cyberjuris diction atau “jurisdiction in cyber-space”adalah
“kekuasaan fisik pemerintah dan kewenangan Pengadilan terhadap pengguna
internet atau terhadap aktivitas mereka di ruang cyber(physical government’s power and court’s authority over Netusers
ortheir activity in cyber-space). Adanya upaya untuk menetapkan jurisdiksi
di dunia maya, berarti akan menetapkan siapa yang memiliki hak/wewenang untuk
mengatur internet.(Nawawi Arief, 2003:248) Didalam KUHP memang mengatur tentang
tempus dan locus delicti namun didalam UU ITE Nomor 8 Tahun 2008, tidak diatur
lebih spesifik mengenai penentuan tempus
dan locus delicti kejahatan mayantara
. Pada hakekatnya juga KUHAP (Undang-Undang No. 8 Tahun 1981) juga tidak
mengatur segala exspressis verbis tempus
dan locus delicti, hal tersebut hanya
mengatur mengenai hukum formil, akan tetapi menentukan komptensi relatif yakni
wilayah hukum suatu Pengadilan Negara untuk mengadili suatu perkara pidana,
kata lain Pengadilan Negara mana yang berwenang mengadili suatu peristiwa
pidana sedangkan kompetensi absolut yakni kewenangan Pengadilan untuk mengadili
perkara berdasarkan atas tingkatan Pengadilan lain. Sedangkan dalam Pasal 84
ayat (1) KUHAP hanya menyatakan, bahwa “Pengadilan Negeri berwenang mengadili
segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya”.
Namun, Pasal 84 ayat (2) memungkinkan juga Pengadilan Negeri yang bukan di
daerahnya dilakukan tindak pidana mengadili terdakwa yang bersangkutan
bertempat tinggal, berdiam terakhir, ditemukan atau ditahan di daerah hukum
Pengadilan Negeri tersebut, dengan syarat bahwa sebagian besar saksi yang
dipanggil lebih dekat tempat tinggalnya daripada tempat kedudukan pengadilan
itu dilakukan. Pasal 84 Ayat (2) tersebut memungkinkan tidak sesuainya teori locus delicti dengan tempat diadilinya
perkara tersebut oleh
Pengadilan Negeri
tersebut.
Dalam
Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP tidak secara experessisverbis mengenai tempus
dan locus delicti, tetapi
menentukan competentie relative Pengadilan
Negeri. Contoh dalam Pasal 84 ayat (1) dan (2), suatu ketentuan baru yang
diatur dalam Pasal 85 KUHAP ialah dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan
suatu Pengadilan Negeri untuk mengadili suatu perkara, maka atas usul Ketua
Pengadilan Negeri atau Kepala
Kejaksaan Negeri
tersebut, Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk menetapkan
Pengadilan Negeri lain dari pada yang tersebut pada Pasal 84 untuk mengadili
perkara tersebut. Dalam penjelasan Pasal 85 itu dikemukakan bahwa yang dimaksud
dengan “keadaan daerah yang tidak mengizinkan” ialah antara lain tidak amannya
daerah atau adanya bencana alam dan sebagainya. Ketentuan yang terdapat pada Pasal 86 KUHAP yang menyatakan bahwa KUHP menganut asas
personalitas aktif dan asas personalitas pasif, yang membuka kemungkinan
apabila seseorang melakukan tindak pidana diluar negeri yang dapat diadili
menurut hukum di Republik Indonesia, dengan maksud perkara pidana tersebut
dapat dengan mudah dan lancar maka ditunjuk Pengadian Negeri Jakarta Pusat yang
berwenang mengadilinya.
Batas
berlakunya hukum pidana berdasarkan tempat dan orangnya
penting diketahui
dalam hal-hal:
a)
Hukum pidana mana yang akan diberlakukan
b)
Kompetensi relatif suatu Pengadilan
No comments:
Post a Comment