Dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
khususnya teknologi informasi dan komunikasi telah berkembang dengan sedemikian
pesatnya. Hal ini tentunya membawa begitu banyak perubahan dalam kehidupan
bermasyarakat dan tentunya juga didalam kehidupan dunia usaha. Salah satu dunia
usaha yang sangat melekat erat dan tidak bisa terlepas dari perkembangan dari
ilmu dan teknologi ini adalah dunia Penyiaran atau dalam hal ini dunia
pertelevisian.
Perkembangan media informasi khususnya televisi,
membuat dunia semakin hari semakin dekat saja. Meskipun arus informasi yang
mengalir tersebut akan mempunyai dampak baik positif maupun negatif. Namun hal
tersebut tidak lah bisa di elakkan karena perubahan zaman yang sangat dinamis
saat ini.
Tahun 1962 menjadi tonggak pertelevisian nasional Indonesia
dengan berdiri dan beroperasinya TVRI. Pada perkembangannya TVRI menjadi alat
strategis pemerintah dalam banyak kegiatan, mulai dari kegiatan sosial hingga
kegiatan-kegiatan politik. Selama beberapa dekade TVRI memegang monopoli
penyiaran di Indonesia ,
dan menjadi “corong” pemerintah.
Tonggak kedua dunia pertelevisian adalah pada tahun
1987, yaitu ketika diterbitkannya Keputusan Menteri Penerangan RI
Nomor:190/A/Kep/Menpen/1987 tentang siaran saluran terbatas, yang membuka
peluang bagi televisi swasta untuk beroperasi. Seiring dengan keluarnya
Keputusan Menteri tersebut, pada tanggal 24 Agustus 1989 televisi swasta RCTI
resmi mengudara, dan tahun-tahun berikutnya bermunculan stasiun-stasiun
televisi swasta baru. Berturut-turut adalah SCTV (24/8/1990), TPI (23/1/1991),
Anteve (7/3/1993), Indosiar (11/1/1995), Metro TV (25/11/2000), Trans TV
(25/11/201), dan Lativi (17/1/2002). Selain itu, muncul pula TV Global, dan
TV7. Jumlah stasiun televisi swasta nasional tersebut belum mencakup stasiun
televisi lokal regional seperti TV Borobudur (Semarang , Jawa Tengah), JTV (Surabaya , Jawa Timur), Bali TV (Bali ), Pacific TV (Manado ,
Sulawesi Utara),dll.
Maraknya komunitas televisi swasta tentunya membawa
dampak dalam kehidupan masyarakat, baik positif maupun negatif. Kehadiran mereka pun sering
menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat. Pada satu sisi masyarakat
dipuaskan oleh kehadiran mereka yang menayangkan hiburan dan memberikan informasi,
namun disisi lain mereka pun tidak jarang menuai kecaman dari masyarakat karena
tayangan-tayangan yang kurang bisa diterima oleh masyarakat ataupun
individu-individu tertentu.
Bagaimanapun juga,
televisi telah menjadi sebuah fenomena dalam masyarakat dengan kemampuan televisi yang sangat
menakjubkan untuk menembus batas-batas yang sulit ditembus oleh media massa
lainnya. Televisi mampu menjangkau daerah-daerah yang jauh secara geografis, ia
juga hadir di ruang-ruang publik hingga ruang yang sangat pribadi. Televisi
merupakan gabungan dari media dengar dan gambar hidup yang bisa bersifat
politis, informatif, hiburan, pendidikan, atau bahkan gabungan dari kesemua
unsur tersebut yang dalam hal ini bisa dilakukan oleh televisi karena kemampuan
istimewanya dalam mengkombinasikan antara gambar, suara, gerakan dan warna.
Kemampuan televisi
yang luar biasa tersebut sangat bermanfaat bagi banyak pihak, baik dari
kalangan ekonomi, hingga politik. Bagi kalangan ekonomi, televisi sering kali
dimanfaatkan sebagai media iklan yang sangat efektif untuk memperkenalkan
produk kepada konsumen. Sementara bagi kalangan politik, televisi sering
digunakan sebagai media kampanye maupun sebagai media sosialisasi. Sehingga
tidak mengherankan apabila seiring dengan berjalannya waktu dunia pertelevisian
pun akhirnya menjadi suatu ladang bisnis yang sangat menguntungkan.
Berlomba-lomba setiap stasiun televisi berusaha untuk mengembangkan
kreativitasnya dalam melahirkan program-program acara televisi yang bermutu
guna menjaring iklan sebanyak-banyaknya yang notabene merupakan sumber utama
pemasukan bagi pengelola stasiun televisi.
Untuk mengembangkan
kreativitasnya pihak pengelola stasiun televisi tentunya memiliki cara atau
tekniknya masing-masing. Dan tentunya dalam hal ini pihak internal dalam suatu
stasiun televisi yang bertanggung jawab akan keberhasilan suatu acara dalam
menjaring minat penonton dan menjaring pemasukan bagi pengelola stasiun adalah
Produser acara televisi.
Keberhasilan suatu
acara menjaring penonton dan terlebih khusus menjaring iklan tentunya merupakan
suatu tantangan yang harus dihadapi oleh seorang Produser acara televisi.
Disini tidak hanya kemampuan dalam memainkan intuisi saja yang harus dimiliki
oleh seorang Produser tapi juga kemampuan teknis dan manajerial haruslah mutlak
perlu untuk dikuasai pula. Karena tanpa adanya kemampuan teknis dan manajerial
yang cukup dan memadai dari seorang Produser acara televisi, sebuah acara
televisi yang bermutu dan kiranya mampu menyedot perhatian khalayak agaknya susah
untuk dikembangkan.
Tolok ukur
keberhasilan suatu acara televisi dalam menjaring penonton selama ini dapat
dilihat dari posisi rating acara yang ditempati oleh acara tersebut. Semakin
tinggi jumlah penonton yang mengikuti suatu acara maka semakin tinggi pula
rating acara yang diduduki atau ditempati oleh acara tersebut. Semakin
populernya suatu acara tentunya meningkatkan rating yang dimiliki oleh acara
tersebut dan hal ini tentunya menjadi daya tarik bagi pemasang iklan. Rating
sendiri merupakan suatu sistem yang diterapkan untuk mengetahui seberapa banyak
penonton yang menonton atau menyaksikan suatu acara atau program televisi.
Pihak penyelenggara Rating sendiri bisa berasal dari stasiun televisi itu
sendiri atau juga dari lembaga independen semisal AMR (AC Nielsen Media Research).
Rating dalam hal ini
bukan saja merupakan tolok ukur yang diambil untuk mengatahui kepopuleran suatu
acara, namun di sisi lain dengan rating juga biasanya kinerja seorang Produser
itu dinilai. Biasanya semakin tinggi rating suatu acara, maka semakin baik pula
penilaian kinerja yang dimiliki oleh produser acara yang bersangkutan. Hal ini
terjadi karena ini pada dasarnya sejauh ini belum ada tolok ukur baku yang bisa
digunakan untuk mengetahui kinerja dari seorang produser acara televisi.
Sehingga sampai dengan saat ini bisa dikatakan bahwa sistem rating lah yang
menjadi tolok ukur dari penilaian kinerja sorang produser acara televisi.
Ada beberapa hal
yang menyebabkan sistem rating tidaklah dapat digunakan sebagai panduan dalam menilai
kinerja seorang produser acara televisi. yang pertama adalah, bahwa pada dasarnya sistem rating dibuat untuk
menilai kesuksesan suatu acara. Yang menjadi obyek penelitian dalam sistem
rating adalah penonton dari suatu acara dan bukan produser yang membuat acara
tersebut. Yang kedua adalah, selera
penonton dalam menonton suatu acara adalah berbeda-beda dan cenderung berubah
sehingga tidak lah dapat dijadikan tolok ukur yang konstan dalam hal penilaian
kinerja seorang produser. Sedangkan yang ketiga
adalah survey yang dilakukan oleh lembaga rating dalam hal ini AC Nielsen
paling tidak hanya dilakukan di enam kota besar di Indonesia yaitu Jakarta,
Surabaya, Medan, Bandung, Semarang dan Makassar. Hal ini tentunya tidak bisa
mewakili keseluruhan selera penonton di Indonesia. Selain itu, sistem rating
hanya bisa mengikutsertakan stasiun-stasiun televisi besar yang jangkauan
siarannya luas dan notabene berada di area tempat pelaksanaan survey sehingga
stasiun-stasiun tv lokal yang daerah jangkauan siarannya tidak sampai ke tempat
dimana survey rating dilaksanakan tidak mendapat bagian penilaian.
Dari konsep
pemikiran diatas maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa sampai sejauh ini belum
ada standar pengukuran yang pasti untuk menilai kinerja seorang produser acara
televisi. sementara dunia pertelevisian dewasa ini menuntut
sumberdaya-sumberdaya manusia yang handal yang mampu untuk menciptakan
acara-acara televisi yang kreatif dan berbobot dan yang disukai oleh penonton
dan tentunya juga dapat diukur kinerjanya secara pasti dan jelas.
Berangkat dari
pokok-pokok pikiran diatas maka penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan
ini dalam penulisan proposal skripsi dengan judul: ”
No comments:
Post a Comment