Monday, July 2, 2012

SKRIPSI MUDHARABAH


Perkembangan ekonomi Islam identik dengan berkembangnya lembaga keuangan syariah. Salah satu filosofi dasar ajaran Islam dalam kegiatan ekonomi dan bisnis, yaitu larangan untuk berbuat curang dan dzalim. Semua transaksi yang dilakukan oleh seorang muslim haruslah berdasarkan prinsip rela sama rela (an taraddin minkum), dan tidak boleh ada pihak yang menzalimi atau dizalimi. Prinsip dasar ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam bidang ekonomi dan bisnis, termasuk dalam praktek perbankan.
Salah satu kritik Islam terhadap praktek perbankan konvensional adalah dilanggarnya prinsip al kharaj bi al dhaman (hasil usaha muncul bersama biaya) dan prinsip al ghunmu bi al ghurmi (untung muncul bersama resiko). Dalam pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan dan giro, bank konvensional memberikan pinjaman dengan mensyaratkan pembayaran bunga yang besarnya tetap dan ditentukan terlebih dahulu di awal transaksi (fixed and predetermined rate). Sedangkan nasabah yang mendapatkan pinjaman tidak mendapatkan keuntungan yang  fixed and predetermined juga, karena dalam bisnis selalu ada kemungkinan rugi, impas atau untung yang besarnya tidak dapat ditentukan dari awal. [1]
Oleh karenanya mengenakan tingkat bunga untuk suatu pinjaman merupakan tindakan yang memastikan sesuatu yang tidak pasti, karena itu diharamkan. Disini bank konvensional menuntut mendapatkan untung yang fixed and predetermined tetapi menolak untuk menanggung resikonya (al ghunmu bi laa ghurmi / againing return without being responsible for any risk).  Bank konvensional mengharapkan hasil usaha, tetapi tidak bersedia menanggung biayanya (al kharaj bi laa dhaman / gaining income without being responsible for any expenses). Padahal prinsip-prinsip tersebut merupakan prinsip dasar dalam teori keuangan, yakni prinsip bahwa return selalu beriringan dengan resiko (return goes along with risk).[2]
Di Indonesia maupun di Dunia Islam terdapat dua aliran pemikiran sehubungan dengan sistem keuangan dan perbankan. Aliran pertama berpendapat bahwa bahwa bunga bank tidak tergolong riba, karena yang disebut riba adalah pembungaan uang oleh mindering yang bunganya sangat tinggi sehingga disebut “lintah darat”.
Tetapi aliran yang melahirkan ide bank Islam berpendapat bahwa bunga bank itu tetap riba. Akan tetapi keberadaan bank sebagai lembaga keuangan, tidak dilarang, bahkan diperlukan. Sehingga menjadi sebuah kewajaran, atau mungkin keharusan jika lembaga keuangan syariah yang muncul memberikan warna baru yang lebih menawarkan keadilan, baik kepada pemilik modal ataupun peminjam (pengusaha).
Sebagai sebuah alternatif, bank (lembaga keuangan) syariah telah memformulasikan sistem interaksi kerja yang dapat menghindari aspek-aspek negatif dari sistem kerja bank konvensional, yaitu dengan menerapkan beberapa sistem, dimana harus diciptakan bank (lembaga keuangan) syariah yang tidak bekerja atas dasar bunga melainkan atas sistem bagi hasil, antara lain yang dikenal dalam fiqh mu’amalah sebagai transaksi mudharabah atau qiradh.[3]
Secara umum para fuqaha mendefinisikan mudharabah sebagai penyerahan sejumlah modal tertentu dari seorang sahib al mal (penyandang dana) kepada mudarib (pengusaha) agar uang tersebut dapat dikelola dan jika ada keuntungan dibagi secara bersama-sama berdasarkan kesepakatan dan jika terjadi kerugian maka ditanggung uang modal itu oleh sahib al- mal dengan syarat-syarat tertentu.[4]
Nisbah keuntungan harus dibagi untuk kedua pihak. Salah satu pihak tidak diperkenankan mengambil seluruh keuntungan tanpa membagi kepada pihak yang lain. Selain itu proporsi keuntungan masing-masing pihak harus diketahui pada waktu berkontrak, dan proporsi tersebut harus dari keuntungan.
Dalam kajian hukum muamallah, masalah akad (‘aqd) atau perjanjian menempati posisi sentral, karena ia merupakan cara paling penting yang digunakan untuk memperoleh suatu maksud, terutama yang berkenaan dengan harta atau manfaat sesuatu secara sah.[5]
Didalam akad atau perjanjian terdapat pernyataan atas suatu keinginan positif dari salah satu pihak yang terlibat dan diterima oleh pihak lainnya, yang menimbulkan akibat hukum pada obyek perjanjian.
Kesepakatan atau akad adalah salah satu bentuk perbuatan hukum atau disebut dengan tasharruf. Mustafa Al Zarqa mendefinisikan tasharruf adalah “segala sesuatu (perbuatan) yang bersumber dari kehendak seseorang dan syara’ menetapkan atasnya sejumlah akibat hukum (hak dan kewajiban)”.[6]
Suatu tindakan  dapat disebut sebagai akad atau perjanjian jika memenuhi beberapa rukun dan syarat. Rukun akad adalah unsur mutlak yang harus ada dan merupakan esensi dalam setiap akad. Jika salah satu rukun tidak ada secara syariah akad dipandang tidak pernah ada. Sedangkan syarat adalah suatu sifat yang mesti ada pada setiap rukun, tetapi bukan merupakan esensi akad. 
BMT Bina Ihsanul Fikri adalah salah satu BMT di Yogyakarta, yang sebagaimana BMT pada umumnya berorientasi pada upaya peningkatan kesejahteraan anggota dan masyarakat. Selama ini BMT Bina Ihsanul Fikri dalam kaitannya dengan nasabah, telah melakukan dua kegiatan, yaitu menabung atau menitip dan meminjamkan dana (uang).
BMT Bina Ihsanul fikri telah memberikan bantuan pembiayaan  dalam bentuk fasilitas pembiayaan mudharabah (bagi hasil), yang sedapat mungkin diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan nasabahnya.
Dalam menjalin beberapa ketentuan transaksi antara BMT dan nasabah, sistem mudharabah telah mengatur beberapa hal yang berkaitan dengan mekanisme kesepakatan (akad) pembiayaan mudharabah dan mekanisme pelaksanaan bagi hasil. Aturan mengenai hal itu tentu saja secara teoritis berkiblat pada perspektif literatur fiqh klasik muamallah tentang mudharabah yang kemudian direaktualisasikan oleh para praktisi dan akademisi perbankan syariah kontemporer.
Karena dalam masyarakat banyak muncul asumsi bahwa BMT dan lembaga keuangan syariah lainnya sama saja dengan lembaga keuangan konvensional lainnya, maka penelitian ini dibuat guna mencari solusi alternatif bagi permasalahan tersebut, serta untuk mengetahui apakah para nasabah memahami konsep pembiayaan mudharabah baik dari segi pemahaman arti akad maupun sistem nisbah bagi hasilnya, sekaligus dalam rangka membangun sistem transaksi ekonomi yang Islami (berkeadilan) dalam sebuah lembaga keuangan.


[1] Adiwarman Karim, Bank Islam : Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta, IIIT  Indonesia, 2003) Ed.I Cet I, hal. 40.
[2] Ibid, hal 43
[3] Mudharabah disebut juga qiradh atau muqaradah. Makna keduanya sama. Mudharabah adalah istilah yang digunakan di Irak, sedangkan istilah qiradh digunakan oleh masyarakat Hijaz. (Adiwarman A Karim, 2004, Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi 2, PT Raja Grafindo, Jakarta).
[4] Al Jaziri, Kitab al- fiqh ‘ala mazahib al- Arba’ah, Juz III, (Beirut : Dar al-Fikr, 1990), hal.34
[5] Musthafa Ahmad Az Zarqa, al fiqh fi Tsubih al Jadi (Beirut, Dar-al Fikr,1989)  juz I hal. 55.
[6] Ghufron A Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, cet.1, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,2002), hal. 77.

No comments:

Post a Comment