Showing posts with label Akuntansi Syariah. Show all posts
Showing posts with label Akuntansi Syariah. Show all posts

Monday, July 2, 2012

Pengertian BMT (Baitul māl wattamwil)



BMT  singkatan dari Baitul māl wattamwil. BMT terdiri dari dua istilah yaitu  baitul māl  dan baitul tamwil.  Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti rumah uang dan rumah pembiayaan. Baitul māl lebih mengarah pada usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang non profit, seperti zakat, infaq, dan shodaqoh serta menjalankan sesuai dengan peraturan dan amanahnya.[1] Sedangkan baitul tamwil sebagai usaha pengumpulan dan penyaluran dana komersial.[2]  
Menurut Makhalul ‘Ilmi, secara istilah pengertian baitul māl adalah lembaga keuangan berorientasi sosial keagamaan yang kegiatan utamanya menampung serta menyalurkan harta masyarakat berupa zakat, infak, shodaqoh (ZIS) berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan Al Qur’an dan sunnah Rasul Nya, dan pengertian dari baitul tamwil adalah lembaga keuangan yang kegiatannya  menghimpun dana masyarakat dalam bentuk tabungan (simpanan) maupun deposito dan menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah melalui mekanisme yang lazim dalam dunia perbankan.[3]
Sedangkan menurut Muhammad, pengertian baitul māl adalah suatu badan yang bertugas mengumpulkan, mengelola serta menyalurkan zakat, infak, dan shodaqoh yang bersifat social oriented, dan baitut tamwil adalah suatu lembaga yang bertugas menghimpun, mengelola serta menyalurkan dana untuk suatu tujuan profit oriented (keuntungan) dengan bagi hasil (qiradh/mudharabah, syirkah/musyarakah), jual beli (bai’u  bitsaman ajil/angsur, murabahah /tunda) maupun sewa (al-al-ijarah).[4]
Dengan demikian BMT sesungguhnya merupakan lembaga yang bersifat sosial keagamaan sekaligus komersial. BMT menjalankan tugas sosialnya dengan cara menghimpun dan membagikan dana masyarakat dalam bentuk  zakat, infaq, dan shodaqoh (ZIS) tanpa mengambil keuntungan. Disisi lain ia mencari dan memperoleh keuntungan melalui kegiatan kemitraan dengan nasabah baik dalam bentuk penghimpunan, pembiayaan, maupun layanan-layanan pelengkapnya sebagai suatu lembaga keuangan Islam.
Dilihat dari bangunan suatu kelompok, maka BMT tidak berbeda dari ormas Islam lainnya kecuali pada bidang geraknya secara ekonomis dan bisnis keuangan. Mulai dari tujuan, asas dan landasan, visi dan misi BMT, semuanya terlihat sebagai organisasi keuangan orang Islam pada umumnya. Visi BMT adalah semakin meningkatnya kualitas ibadah anggota BMT sehingga mampu berperan  sebagai wakil pengabdi Allah memakmurkan kehidupan anggota pada khususnya dan umat manusia pada umumnya. Misi BMT adalah membangun dan mengembangkan tatanan perekonomian dan struktur masyarakat madani yang adil dan makmur berlandaskan syariah dan ridho Allah SWT. [5]Disini BMT menempati fungsi lembaga usaha ekonomi kerakyatan yang dapat dan mampu melayani nasabah usaha mikro dan kecil-bawah.
Pada awal konsepnya, BMT mempertegas ciri utamanya sebagai lembaga yang berorientasi bisnis dan bukan lembaga sosial. Akan tetapi ia bergerak juga untuk penyaluran dan penggunaan zakat, infaq, dan sadaqoh; ditumbuhkan dari bawah berlandaskan peran serta masyarakat disekitarnya, milik bersama masyarakat kecil-bawah dan kecil dari lingkungan BMT itu sendiri, bukan milik seseorang atau orang dari luar masyarakat itu. Ciri khasnya meliputi etos kerja bertindak proaktif (service excellence) dan menjemput bola kepada calon anggota dan anggota; pengajian rutin secara berkala tentang keagamaan dan kemudian tentang bisnis.[6]  
Secara kelembagaan BMT didampingi atau didukung Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK). PINBUK sebagai lembaga primer karena mengemban misi yang lebih luas, yakni menetaskan usaha kecil. [7] Dalam prakteknya  PINBUK menetaskan BMT dan pada gilirannya BMT menetaskan usaha kecil. Keberadaan BMT merupakan representasi dari kehidupan masyarakat dimana BMT itu berada, dengan jalan ini BMT mampu mengakomodir kepentingan ekonomi masyarakat.
Peran umum BMT yang dilakukan adalah melakukan pembinaan dan pendanaan yang berdasarkan sistem syari’ah. Peran ini menegaskan arti penting prinsip-prinsip syari’ah dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Sebagai lembaga keuangan syariah yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat kecil yang serba kekurangan baik di bidang ilmu pengetahuan atau materi, maka BMT mempunyai tugas penting dalam mengemban misi keislaman dalam segala aspek kehidupan masyarakat.


[1] Republika Online tanggal 14 Desember 2001;
[2] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, Cet. 2, Yogyakarta Ekonisia, 2004,  hal 96
[3] Makhalul Ilmi, Teori dan Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syariah, Cet.1,Yogyakarta, UII Press,2002 hal 64.
[4] Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul  Maal Watamwil, Yogyakarta, UII Press, 2004, hal 16.
[5] PINBUK, Pedoman Cara Pembentukan BMT, (Jakarta, PT. Bina Usaha Indonesia, tt) hal 2-3.
[6] Ibid, hal. 4-5
[7] M. Dawam Raharjo, Perspektif Dkelarasi Makkah, Menuju Ekonomi Islam, Mizan, Bandung, 1989, hal.431

SKRIPSI MUDHARABAH


Perkembangan ekonomi Islam identik dengan berkembangnya lembaga keuangan syariah. Salah satu filosofi dasar ajaran Islam dalam kegiatan ekonomi dan bisnis, yaitu larangan untuk berbuat curang dan dzalim. Semua transaksi yang dilakukan oleh seorang muslim haruslah berdasarkan prinsip rela sama rela (an taraddin minkum), dan tidak boleh ada pihak yang menzalimi atau dizalimi. Prinsip dasar ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam bidang ekonomi dan bisnis, termasuk dalam praktek perbankan.
Salah satu kritik Islam terhadap praktek perbankan konvensional adalah dilanggarnya prinsip al kharaj bi al dhaman (hasil usaha muncul bersama biaya) dan prinsip al ghunmu bi al ghurmi (untung muncul bersama resiko). Dalam pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan dan giro, bank konvensional memberikan pinjaman dengan mensyaratkan pembayaran bunga yang besarnya tetap dan ditentukan terlebih dahulu di awal transaksi (fixed and predetermined rate). Sedangkan nasabah yang mendapatkan pinjaman tidak mendapatkan keuntungan yang  fixed and predetermined juga, karena dalam bisnis selalu ada kemungkinan rugi, impas atau untung yang besarnya tidak dapat ditentukan dari awal. [1]
Oleh karenanya mengenakan tingkat bunga untuk suatu pinjaman merupakan tindakan yang memastikan sesuatu yang tidak pasti, karena itu diharamkan. Disini bank konvensional menuntut mendapatkan untung yang fixed and predetermined tetapi menolak untuk menanggung resikonya (al ghunmu bi laa ghurmi / againing return without being responsible for any risk).  Bank konvensional mengharapkan hasil usaha, tetapi tidak bersedia menanggung biayanya (al kharaj bi laa dhaman / gaining income without being responsible for any expenses). Padahal prinsip-prinsip tersebut merupakan prinsip dasar dalam teori keuangan, yakni prinsip bahwa return selalu beriringan dengan resiko (return goes along with risk).[2]
Di Indonesia maupun di Dunia Islam terdapat dua aliran pemikiran sehubungan dengan sistem keuangan dan perbankan. Aliran pertama berpendapat bahwa bahwa bunga bank tidak tergolong riba, karena yang disebut riba adalah pembungaan uang oleh mindering yang bunganya sangat tinggi sehingga disebut “lintah darat”.
Tetapi aliran yang melahirkan ide bank Islam berpendapat bahwa bunga bank itu tetap riba. Akan tetapi keberadaan bank sebagai lembaga keuangan, tidak dilarang, bahkan diperlukan. Sehingga menjadi sebuah kewajaran, atau mungkin keharusan jika lembaga keuangan syariah yang muncul memberikan warna baru yang lebih menawarkan keadilan, baik kepada pemilik modal ataupun peminjam (pengusaha).
Sebagai sebuah alternatif, bank (lembaga keuangan) syariah telah memformulasikan sistem interaksi kerja yang dapat menghindari aspek-aspek negatif dari sistem kerja bank konvensional, yaitu dengan menerapkan beberapa sistem, dimana harus diciptakan bank (lembaga keuangan) syariah yang tidak bekerja atas dasar bunga melainkan atas sistem bagi hasil, antara lain yang dikenal dalam fiqh mu’amalah sebagai transaksi mudharabah atau qiradh.[3]
Secara umum para fuqaha mendefinisikan mudharabah sebagai penyerahan sejumlah modal tertentu dari seorang sahib al mal (penyandang dana) kepada mudarib (pengusaha) agar uang tersebut dapat dikelola dan jika ada keuntungan dibagi secara bersama-sama berdasarkan kesepakatan dan jika terjadi kerugian maka ditanggung uang modal itu oleh sahib al- mal dengan syarat-syarat tertentu.[4]
Nisbah keuntungan harus dibagi untuk kedua pihak. Salah satu pihak tidak diperkenankan mengambil seluruh keuntungan tanpa membagi kepada pihak yang lain. Selain itu proporsi keuntungan masing-masing pihak harus diketahui pada waktu berkontrak, dan proporsi tersebut harus dari keuntungan.
Dalam kajian hukum muamallah, masalah akad (‘aqd) atau perjanjian menempati posisi sentral, karena ia merupakan cara paling penting yang digunakan untuk memperoleh suatu maksud, terutama yang berkenaan dengan harta atau manfaat sesuatu secara sah.[5]
Didalam akad atau perjanjian terdapat pernyataan atas suatu keinginan positif dari salah satu pihak yang terlibat dan diterima oleh pihak lainnya, yang menimbulkan akibat hukum pada obyek perjanjian.
Kesepakatan atau akad adalah salah satu bentuk perbuatan hukum atau disebut dengan tasharruf. Mustafa Al Zarqa mendefinisikan tasharruf adalah “segala sesuatu (perbuatan) yang bersumber dari kehendak seseorang dan syara’ menetapkan atasnya sejumlah akibat hukum (hak dan kewajiban)”.[6]
Suatu tindakan  dapat disebut sebagai akad atau perjanjian jika memenuhi beberapa rukun dan syarat. Rukun akad adalah unsur mutlak yang harus ada dan merupakan esensi dalam setiap akad. Jika salah satu rukun tidak ada secara syariah akad dipandang tidak pernah ada. Sedangkan syarat adalah suatu sifat yang mesti ada pada setiap rukun, tetapi bukan merupakan esensi akad. 
BMT Bina Ihsanul Fikri adalah salah satu BMT di Yogyakarta, yang sebagaimana BMT pada umumnya berorientasi pada upaya peningkatan kesejahteraan anggota dan masyarakat. Selama ini BMT Bina Ihsanul Fikri dalam kaitannya dengan nasabah, telah melakukan dua kegiatan, yaitu menabung atau menitip dan meminjamkan dana (uang).
BMT Bina Ihsanul fikri telah memberikan bantuan pembiayaan  dalam bentuk fasilitas pembiayaan mudharabah (bagi hasil), yang sedapat mungkin diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan nasabahnya.
Dalam menjalin beberapa ketentuan transaksi antara BMT dan nasabah, sistem mudharabah telah mengatur beberapa hal yang berkaitan dengan mekanisme kesepakatan (akad) pembiayaan mudharabah dan mekanisme pelaksanaan bagi hasil. Aturan mengenai hal itu tentu saja secara teoritis berkiblat pada perspektif literatur fiqh klasik muamallah tentang mudharabah yang kemudian direaktualisasikan oleh para praktisi dan akademisi perbankan syariah kontemporer.
Karena dalam masyarakat banyak muncul asumsi bahwa BMT dan lembaga keuangan syariah lainnya sama saja dengan lembaga keuangan konvensional lainnya, maka penelitian ini dibuat guna mencari solusi alternatif bagi permasalahan tersebut, serta untuk mengetahui apakah para nasabah memahami konsep pembiayaan mudharabah baik dari segi pemahaman arti akad maupun sistem nisbah bagi hasilnya, sekaligus dalam rangka membangun sistem transaksi ekonomi yang Islami (berkeadilan) dalam sebuah lembaga keuangan.


[1] Adiwarman Karim, Bank Islam : Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta, IIIT  Indonesia, 2003) Ed.I Cet I, hal. 40.
[2] Ibid, hal 43
[3] Mudharabah disebut juga qiradh atau muqaradah. Makna keduanya sama. Mudharabah adalah istilah yang digunakan di Irak, sedangkan istilah qiradh digunakan oleh masyarakat Hijaz. (Adiwarman A Karim, 2004, Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi 2, PT Raja Grafindo, Jakarta).
[4] Al Jaziri, Kitab al- fiqh ‘ala mazahib al- Arba’ah, Juz III, (Beirut : Dar al-Fikr, 1990), hal.34
[5] Musthafa Ahmad Az Zarqa, al fiqh fi Tsubih al Jadi (Beirut, Dar-al Fikr,1989)  juz I hal. 55.
[6] Ghufron A Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, cet.1, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,2002), hal. 77.

Thursday, February 2, 2012

Perbedaan Bank Syariah dengan Bank Konvensional



Antonio (2001) menjelaskan,”perbedaan mendasar antara bank syariah dengan perbankan konvensional adalah menyangkut aspek legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai dan lingkungan kerja serta tidak menerapkan sistem bunga karena adanya larangan bunga bagi perbankan syariah.”
Yang pertama tentang akad dan legalitas. Akad dan legalitas ini merupakan kunci utama yang membedakan antara bank syariah dan bank konvensional.”innamal a’malu bin niyah,” sesungguhnya setiap amal itu bergantung dari niatnya. Dan dalam hal ini bergantung dari aqadnya. Perbedaan untuk aqad-aqad yang berlangsung pada bank syariah ini hanya akad yang halal, seperti bagi hasil, jual beli atau sewa menyewa. Tidak ada unsur Riba dalam bank syariah ini.
Perbedaan yang kedua yaitu dalam hal struktur organissasi bank. Dalam bank syariah ada keharusan untuk memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam struktur organisasinya. DPS ini bertugas untuk mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah. DPS biasanya ditempatkan pada posisi setingkat dengan dewan komisaris. Seiring dengan pesatnya perkembangan bank syariah di Indonesia dan demi menjaga agar para DPS di setiap bank benar-benar tetap konsisten pada garis-garis syariah, maka MUI membentuk sebuah lembaga otonom untuk lebih fokus pada ekonomi syariah dengan membentuk Dewan Syariah Nasional.
Perbedaan yang ketiga antara bank syariah dan bank konvensional adalah pada usaha yang dibiayai. Ada aturan bahwa usaha-usaha yang didanai oleh bank syariah ini hanyalah usaha yang halal. Sedangkan untuk usaha yang haram, seperti usaha asusila, usaha yang merusak masyarakat atau sejenisnya itu tidak akan dibiayai oleh bank syariah.
Penerapan sistem bunga mengandung banyak kelemahan dan lebih memihak kepada pemberi dana (investor) serta dilarang, maka dalam perbankan syariah menerapkan sistem bagi hasil merupakan sistem yang paling tepat. Perbedaan utama antara sistem bunga dan bagi hasil, ditunjukkan dalam table 1 :




TABLE 1
PERBEDAAN SISTEM BUNGA DAN BAGI HASIL
NO
BUNGA
BAGI HASIL
1
Perkembangan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemugkinan untung dan rugi.
2
Berdasarkan modal prosentase berdasarkan jumlah uang atau modal yang dipinjamkan
Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
3
Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijanjikan oleh pihak nasabah untung dan rugi
Bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua pihak
4
Jumlah pembayaran bunga tidak mengikat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang booming
Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumalah keuntungan
5
Eksistensi bunga diragukan kalau tidak dikecam oleh semua agama termasuk agama islam
Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil
6
Besar kecilnya pendapatan (Bunga) yang diperoleh deposan tergantung pada tingkat bunga yang berlaku, nominal deposito jangka waktu deposito
Besar kecilnya bagi hasil yang diperoleh deposan tergantung pada : pendapatan bank, nisbah bagi hasil antara nasabah dan bank, nominal deposito, rata-rata deposito untuk jangka waktu deposito karena berpengaruh pada lamanya investasi
Sumber: Antonio, 2001, Bank Syariah dari Teori dan Praktik. Jakarta